POLITIK. Kata ini dulu terlalu malas saya
dengar, apalagi saya tulis. Meski pernah berprofesi sebagai jurnalis, saya
paling ogah disuruh meliput dunia politik. Buat saya dunia ini sama seperti
kubangan hitam, banyak orang-orang jahat dan berkepentingan duduk di sana. Seluruh
pelaku dunia politik seakan berlomba-lomba memanfaatkan media untuk merebut
simpati rakyat.
Saya mengenal dunia media sejak
masih berseragam abu-abu. Ya, masih duduk di kelas 1 SMU waktu itu. Saya “bekerja”
sebagai jurnalis junior di Harian Bernas Yogyakarta. Pekerjaan tanpa dibayar
namun memiliki fasilitas sekelas jurnalis betulan. Di situlah saya mengenal
berbagai karakter jurnalis senior di harian tersebut.
Mereka gemar sekali membicarakan
masalah politik. Zaman pemerintahan Pak Harto tentunya. Berbagai joke dan
sarkasme mereka keluarkan untuk membuat suasana kerja menjadi lebih meriah.
Hanya saja satu yang mempersatukan sebagian besar dari jurnalis senior
tersebut, mereka tak pernah mengikuti ajang Pemilihan Umum (Pemilu) yang lazim
dilakukan lima tahun sekali. Buat mereka, haram hukumnya mengikuti pemilu.
Mengapa? Seperti layaknya intel, jurnalis
itu paling tidak sudah mengetahui seluk-beluk dunia politik, lengkap dengan
borok-boroknya. Ibarat sebuah film, jurnalis adalah penonton yang sudah dua
kali menonton film yang sama, jadi mereka sudah tahu, kemana ujung cerita film
ini.
Jadi, mengikuti pemilu akan menjadi
sia-sia belaka, karena paling tidak para jurnalis ini sudah tahu kemana hasil
pemilu ini akan bermuara. Apalagi di zaman orde baru, hasil pemilu pasti akan
tertuju ke partai nomor dua, Partai Golongan Karya, yang dikuasai Pak Harto.
Ujungnya sudah bisa ditebak, para jurnalis ini enggan mengikuti pemilu.
Melihat fenomena ini, sebagai
jurnalis junior tentu saya berpikir hal sama. Saya mesti mengikuti jejak
mereka. Baik itu pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Susilo Bambang
Yudhoyono, saya tak pernah sekalipun ikut pemilu. Kalaupun saya melangkahkan
kaki ke bilik pemilu, ujungnya sudah bisa ditebak, saya akan mencoblos seluruh
pilihan yang ada, yang otomatis membuat surat suara itu tidak sah.
Meski orang tua, tetangga, maupun
kenalan saya di luar lingkup jurnalis tak setuju dengan pilihan saya, namun
saya tetap keukeuh dengan keputusan saya tersebut. Saya tak mau ikut pemilu.
Pun begitu ketika saya menjadi
jurnalis yang sesungguhnya. Saya enggan mengikuti berita politik. Saya tak
suka. Saya lebih memilih menjadi jurnalis kriminal yang membuat saya pertama
kali berkenalan dan melihat seperti apa itu ecstasy, ganja, dan berbagai jenis
narkoba lainnya.
Saya lebih suka ikut razia polisi,
meliput bencana kebakaran, bencana alam, atau pergi ketemu warga yang kurang beruntung
dan menuangkan kisah mereka dalam bentuk feature. Itu semua membuat saya merasa
hidup saya lebih berguna untuk orang lain.
Tapi, namanya tugas tetap harus
diemban. Akhirnya suka tak suka, mau tak mau, saya kecebur juga di dunia
politik. Dunia yang tak saya suka. Saya sering pergi dengan anggota dewan dan
menulis apa saja yang mereka bahas. Saya juga diajak pergi bersama ikatan istri
anggota dewan yang gila hormat, karena meminta bebas akses ketika melewati
bandara dan pelabuhan. Ah, muak rasanya, saya benar-benar bekerja di lingkungan
yang membuat saya tak nyaman.
Tak butuh waktu lama bagi saya untuk
“pensiun” dari dunia politik ini. Saya pun pindah ke dunia yang sesungguhnya
saya cintai, menjadi jurnalis sepak bola.
Riwayat saya sebagai jurnalis sepak
bola mungkin tak perlu saya kisahkan terlalu panjang. Intinya, setelah tak lagi
menjadi jurnalis sepak bola, saya benar-benar pensiun sebagai jurnalis dan
mengembangkan karier di luar dunia jurnalistik.
Di luar dunia jurnalistik, saya
menemukan peta politik sudah berubah. Muncul fenomena Jokowi yang kemudian
disusul dengan fenomena Ahok. Mau tak mau, suka tak suka Jokowi dan Ahok lebih
baik dari kandidat lain. Paling tidak saya menghargai kerja keras mereka dan
kemauan mereka untuk bergaul dengan rakyat kecil.
Mata politik saya sedikit terbuka,
karena ternyata dunia politik masih memberikan harapan. Bukan hanya sekadar
panggung membuat imej, panggung perdebatan tak penting, panggung gengsi, atau
mungkin hanya sekadar panggung sandiwara? Hahahahaha….
Kehadiran Jokowi dan Ahok menyisakan
harapan untuk Indonesia yang lebih baik, menurut saya. Dan percayalah, saya tak
dibayar sepeserpun oleh mereka berdua untuk menuliskan artikel ini. Meski masih
banyak kekurangan mereka, tapi yakinlah mereka berdua lebih baik dibandingkan
pejabat-pejabat mainstream di dunia politik Indonesia.
Akhirnya untuk pertama kalinya, saya
menggunakan hak suara saya pada Pemilu 2014 lalu. Pun menjelang Pilkada DKI,
saya sibuk menjadi relawan Ahok dan mengumpulkan KTP rekan-rekan saya di kantor
untuk kemudikan dikumpulkan di posko-posko Teman Ahok.
Sungguh, pengalaman ini sangat
berbeda. Saya yang tadinya sama sekali tak peduli pada dunia politik, tiba-tiba
menjadi relawan Teman Ahok dan meyakinkan rekan-rekan saya untuk membantu Ahok
maju sebagai gubernur melalui jalur independen.
Jujur, saya tak sabar menunggu
Pilkada DKI. Saya yakin Ahok akan membuat sejarah baru dengan memenangi Pilkada
DKI melalui jalur independen. Dengan begitu, banyak kaum saya yang tadinya cuek
bebek dengan dunia yang satu ini, namun sekarang sibuk membantu dana dan
pikiran supaya Ahok bisa menang. Semangat Ahok!(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar