Selasa, 05 April 2016

Ahok dan Melek Politik



            POLITIK. Kata ini dulu terlalu malas saya dengar, apalagi saya tulis. Meski pernah berprofesi sebagai jurnalis, saya paling ogah disuruh meliput dunia politik. Buat saya dunia ini sama seperti kubangan hitam, banyak orang-orang jahat dan berkepentingan duduk di sana. Seluruh pelaku dunia politik seakan berlomba-lomba memanfaatkan media untuk merebut simpati rakyat.
            Saya mengenal dunia media sejak masih berseragam abu-abu. Ya, masih duduk di kelas 1 SMU waktu itu. Saya “bekerja” sebagai jurnalis junior di Harian Bernas Yogyakarta. Pekerjaan tanpa dibayar namun memiliki fasilitas sekelas jurnalis betulan. Di situlah saya mengenal berbagai karakter jurnalis senior di harian tersebut.
            Mereka gemar sekali membicarakan masalah politik. Zaman pemerintahan Pak Harto tentunya. Berbagai joke dan sarkasme mereka keluarkan untuk membuat suasana kerja menjadi lebih meriah. Hanya saja satu yang mempersatukan sebagian besar dari jurnalis senior tersebut, mereka tak pernah mengikuti ajang Pemilihan Umum (Pemilu) yang lazim dilakukan lima tahun sekali. Buat mereka, haram hukumnya mengikuti pemilu.
            Mengapa? Seperti layaknya intel, jurnalis itu paling tidak sudah mengetahui seluk-beluk dunia politik, lengkap dengan borok-boroknya. Ibarat sebuah film, jurnalis adalah penonton yang sudah dua kali menonton film yang sama, jadi mereka sudah tahu, kemana ujung cerita film ini.
            Jadi, mengikuti pemilu akan menjadi sia-sia belaka, karena paling tidak para jurnalis ini sudah tahu kemana hasil pemilu ini akan bermuara. Apalagi di zaman orde baru, hasil pemilu pasti akan tertuju ke partai nomor dua, Partai Golongan Karya, yang dikuasai Pak Harto. Ujungnya sudah bisa ditebak, para jurnalis ini enggan mengikuti pemilu.
            Melihat fenomena ini, sebagai jurnalis junior tentu saya berpikir hal sama. Saya mesti mengikuti jejak mereka. Baik itu pemerintahan Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, saya tak pernah sekalipun ikut pemilu. Kalaupun saya melangkahkan kaki ke bilik pemilu, ujungnya sudah bisa ditebak, saya akan mencoblos seluruh pilihan yang ada, yang otomatis membuat surat suara itu tidak sah.
            Meski orang tua, tetangga, maupun kenalan saya di luar lingkup jurnalis tak setuju dengan pilihan saya, namun saya tetap keukeuh dengan keputusan saya tersebut. Saya tak mau ikut pemilu.
            Pun begitu ketika saya menjadi jurnalis yang sesungguhnya. Saya enggan mengikuti berita politik. Saya tak suka. Saya lebih memilih menjadi jurnalis kriminal yang membuat saya pertama kali berkenalan dan melihat seperti apa itu ecstasy, ganja, dan berbagai jenis narkoba lainnya.
            Saya lebih suka ikut razia polisi, meliput bencana kebakaran, bencana alam, atau pergi ketemu warga yang kurang beruntung dan menuangkan kisah mereka dalam bentuk feature. Itu semua membuat saya merasa hidup saya lebih berguna untuk orang lain.
            Tapi, namanya tugas tetap harus diemban. Akhirnya suka tak suka, mau tak mau, saya kecebur juga di dunia politik. Dunia yang tak saya suka. Saya sering pergi dengan anggota dewan dan menulis apa saja yang mereka bahas. Saya juga diajak pergi bersama ikatan istri anggota dewan yang gila hormat, karena meminta bebas akses ketika melewati bandara dan pelabuhan. Ah, muak rasanya, saya benar-benar bekerja di lingkungan yang membuat saya tak nyaman.
            Tak butuh waktu lama bagi saya untuk “pensiun” dari dunia politik ini. Saya pun pindah ke dunia yang sesungguhnya saya cintai, menjadi jurnalis sepak bola.
            Riwayat saya sebagai jurnalis sepak bola mungkin tak perlu saya kisahkan terlalu panjang. Intinya, setelah tak lagi menjadi jurnalis sepak bola, saya benar-benar pensiun sebagai jurnalis dan mengembangkan karier di luar dunia jurnalistik.
            Di luar dunia jurnalistik, saya menemukan peta politik sudah berubah. Muncul fenomena Jokowi yang kemudian disusul dengan fenomena Ahok. Mau tak mau, suka tak suka Jokowi dan Ahok lebih baik dari kandidat lain. Paling tidak saya menghargai kerja keras mereka dan kemauan mereka untuk bergaul dengan rakyat kecil.
            Mata politik saya sedikit terbuka, karena ternyata dunia politik masih memberikan harapan. Bukan hanya sekadar panggung membuat imej, panggung perdebatan tak penting, panggung gengsi, atau mungkin hanya sekadar panggung sandiwara? Hahahahaha….
            Kehadiran Jokowi dan Ahok menyisakan harapan untuk Indonesia yang lebih baik, menurut saya. Dan percayalah, saya tak dibayar sepeserpun oleh mereka berdua untuk menuliskan artikel ini. Meski masih banyak kekurangan mereka, tapi yakinlah mereka berdua lebih baik dibandingkan pejabat-pejabat mainstream di dunia politik Indonesia.
            Akhirnya untuk pertama kalinya, saya menggunakan hak suara saya pada Pemilu 2014 lalu. Pun menjelang Pilkada DKI, saya sibuk menjadi relawan Ahok dan mengumpulkan KTP rekan-rekan saya di kantor untuk kemudikan dikumpulkan di posko-posko Teman Ahok.
            Sungguh, pengalaman ini sangat berbeda. Saya yang tadinya sama sekali tak peduli pada dunia politik, tiba-tiba menjadi relawan Teman Ahok dan meyakinkan rekan-rekan saya untuk membantu Ahok maju sebagai gubernur melalui jalur independen.
            Jujur, saya tak sabar menunggu Pilkada DKI. Saya yakin Ahok akan membuat sejarah baru dengan memenangi Pilkada DKI melalui jalur independen. Dengan begitu, banyak kaum saya yang tadinya cuek bebek dengan dunia yang satu ini, namun sekarang sibuk membantu dana dan pikiran supaya Ahok bisa menang. Semangat Ahok!(*)
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar