Jumat, 04 Maret 2016

Bapak dan Kenangan



Dear Bapakku di surga,
Aku enggak tahu musti mulai surat ini dari mana, karena aku tak banyak merekam memori tentangmu. Engkau meninggalkanku ketika aku masih berusia 13 tahun, usia di mana aku belum terlalu banyak bisa merekam memori tentangmu. Yang aku ingat adalah sosok gendutmu yang membuatku selalu merasa hangat bila berada dalam dekapanmu.
Atau kenangan ketika engkau memelintir kumis dan jenggotmu dan membentuknya seperti tokoh Pak Raden di TVRI dulu. Engkaupun meniru gerak-gerik Pak Raden, yang membuat kami bertiga tertawa terbahak-bahak.
Aku ingat sore itu, ketika engkau tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri di rumah, padahal waktu itu belum ada fasilitas telepon apapun di rumah. Sembari panik, ibu langsung menyuruhku, yang masih kelas 2 SMP, untuk menelepon RS dan memanggil taksi ke rumah.
Sejak itu, tak ada komunikasi sama sekali denganmu di RS, karena engkau langsung masuk ICU. Sungguh, aku tak mengenalimu waktu itu. Engkau yang biasanya berkumis dan berjenggot tebal tiba-tiba harus tampil klimis karena berbagai selang yang harus dipasang lewat mulutmu. Bapak koma.
Aku tak tahu harus bagaimana. Aku cuma bisa berdoa dan berdoa. Setiap malam aku terus berdoa, hingga suatu hari aku melihat matamu terbuka. Sayang, belum ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutmu. Bapak hanya bisa menatap anak-anaknya dalam keheningan sambil menitikkan air mata.
Aku menganggap perkembangan itu sebagai suatu hal yang baik untuk kesehatanmu. Tapi sebuah hal konyol aku lakukan. Sesuatu yang aku sesali hingga saat ini. Pada malam sebelum bapak dipanggil menghadap-Nya, aku berhenti berdoa. Aku lupa berdoa. Aku baru ingat kalau aku sudah lupa berdoa saat ada ketukan keras di pintu depan ketika subuh menjelang.
Aku melihat tetanggaku berdiri di depan pintu. Dia hanya menangis dan terbata-bata ketika mengabarkan kepulanganmu ke pangkuan-Nya. Aku hanya bisa teriak histeris, ini pasti karena aku lupa berdoa. Aku lupa berdoa!!!!!! Sampai sekarang, itu adalah penyesalan terbesar buatku!!!!! Terlepas dari kehendak Tuhan yang memang memanggil bapak pada malam itu, mungkin saja, mungkin saja, Tuhan akan menunda pemanggilan-Nya, kalau aku berdoa malam itu….
Air mata ini selalu menetes tiap kali aku mengingat penyesalanku yang satu itu. Aku tak pernah habis pikir kenapa aku lupa berdoa untukmu malam itu. Mungkin saja Tuhan masih memberikan sedikit waktu untukku kalau aku tak lupa berdoa.
Dengan begitu, paling tidak, kenanganku tentangmu bisa sedikit bertambah. Tak hanya mengingat pelukanmu yang begitu hangat itu ketika aku duduk di perut gendutmu atau gerak-gerikmu ketika meniru tokoh Pak Raden. Atau kalimat-kalimatmu yang selalu mengkritik kemampuanku dalam bidang matematika, padahal bapak sendiri adalah guru matematika.

BAPAK DAN MATEMATIKA
Matematika memang sebuah kata yang menakutkan bin mengerikan buatku, mungkin sampai sekarang. Padahal engkau bukan guru matematika biasa, bapak adalah seorang instruktur matematika, gurunya guru matematika, yang sering diminta bantuan untuk memberikan training kepada guru-guru matematika se-Indonesia. Bapak memang hebat!!!
Tapi sayang ya pak, aku bener-bener nol untuk urusan yang satu ini. Pernah ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMP, saat-saat terakhir aku bersamamu, bapak berkata akan mengunjungi sekolahku suatu hari. Buat apalagi kalau bukan untuk melihat cara guru matematikaku mengajar di depan kelas.
Aku seperti mau pingsan waktu itu. Bagaimana bisa aku, anak seorang instruktur matematika seperti bapak, ternyata sama sekali tak bisa matematika? Belum lagi guru yang akan dikunjungi bapak ternyata adalah guruku sendiri. Bener-bener mau kiamat rasanya….
Akhirnya hari itu tiba. Badanku serasa panas dingin ketika hendak berangkat ke sekolah. Aku grogi setengah mati pak, sumpah! Apalagi hari itu ada pelajaran matematika di kelasku, kelas 2D.  Apakah engkau akan masuk ke kelasku? Aduh! Bisa pingsan beneran nanti. Masalahnya bapak tak mau memberitahu di kelas mana dia akan memantau guru matematikaku.
Aku pun celingak-celinguk di dalam kelas waktu itu, berharap-harap cemas engkau tak akan masuk ke kelasku. Langkah-langkah itu semakin terdengar mendekat, terus mendekat dan mendekat. Badanku makin panas dingin. Aku tak bisa membayangkan bagaimana aku harus berhadapan dengan bapakku sendiri di dalam kelas??? Dan bagaimana kalau guruku nanti menyuruhku ke depan kelas untuk mengerjakan soal? Bisa mati kutu aku di depanmu pak…..!!! Bakal ketahuan kalau aku tak bisa matematika!!! Aaaarrrggghhhh!!!!
Tapi, tak lama kemudian, langkah itu perlahan menghilang. Aku pun melihat keluar lewat jendela. Senyum lebar menghiasi wajahku. Aha! Ternyata engkau masuk ke kelas 2C alias ke kelas sebelah. Kelegaan luar biasa menyelimutiku. Fiuuuuuuuhhhhh…..
Sejak itu, semua guru matematika di sekolahku tahu statusku sebagai anak bapak. Status itu malah semakin menjadi beban buatku. Aku kan sama sekali tak bisa matematika, pak. Setiap nilai ulanganku pasti hancur, yang membuat bapak semakin geleng-geleng.
Alhasil, engkau pun menggelar sebuah sidang. Bukan sidang dalam arti yang sebenarnya tentu saja. Hehehhehe….. Bapak rajin mengajariku setiap malam. Tapi yang membuat aku semakin pusing, bapak selalu memberikan penjelasan panjang kali lebar kali tinggi hanya untuk sebuah soal. Mungkin itu karena jiwa guru di dalam dirimu kali ya? Dan ujung-ujungnya bisa ditebak, PR-ku tak pernah selesai kukerjakan, karena aku sibuk mendengarkan penjelasan bapak.
Otomatis, nilai-nilai matematikaku tetep tak membanggakan. Tapi engkau selalu menghiburku. Bapak selalu berkata, “Enggak apa-apa kalau PR-mu tak pernah selesai, yang penting kamu mengerti.” Aku hanya bisa mengangguk, padahal dalam hati, aku memang tak pernah tertarik sama ilmu yang satu ini. Hihihihi…..
Selain matematika, pelajaran lain yang tak kunjung aku kuasai adalah bahasa Inggris. Tapi berbeda dengan matematika, aku sangat menyukai pelajaran yang satu ini. Aku sungguh-sungguh ingin mahir Bahasa Inggris. Entah mengapa.
Suatu hari, aku mendapatkan nilai 3 dalam sebuah ulangan bahasa Inggris. Dan kertas ulangan itu harus ditandatangani orang tua sebelum dikembalikan ke guruku. Begitu mendengarnya aku langsung grogi. Grogi setengah mati.
Aku tak bisa membayangkan kekecewaan di wajahmu nanti pak kalau mengetahui nilai ulangan bahasa Inggrisku. Sudah jeblok di nilai matematika, sekarang jeblok pula di pelajaran bahasa Inggris??? Aduh!!!!!
Sidang pun kembali digelar, begitu aku memberikan kertas ulangan Bahasa Inggrisku. Beruntung, sekali lagi, bapak tak marah. Bapak mencoba memberikan pengertian buatku dan hebatnya, engkau malah memberikan jalan keluar untukku!!!! Sosok bapak memang superhero buatku!!! Tanpa kunyana, ternyata bapak juga jago bahasa Inggris!!! Karena aku tertarik dengan pelajaran ini, aku selalu mendengarkan penjelasanmu dengan seksama. Alhasil, setelah insiden nilai 3 itu, aku tak pernah lagi mendapat nilai buruk di bidang Bahasa Inggris. Bahkan, nilai bahasa inggris di rapor yang tadinya enam di semester 3 bisa naik menjadi nilai 9 di semester berikutnya.
Bisa ditebak, aku selalu menjadi sasaran contekan ketika ulangan bahasa Inggris tiba. Teman-teman berebut duduk di sebelahku, pak. Mereka tentu ingin mendapatkan nilai bagus tanpa berusaha, walau aku sudah menularkan ilmu ini kepada mereka. Tentu saja hal ini tak akan terjadi kalau bapak tak mengajariku.
Sayang, engkau tak pernah mengetahui keberhasilanku ini. Bapak keburu dipanggil Yang Maha Kuasa pada 6 Mei 1993 atau sekitar sebulan sebelum pembagian rapor. Hari Kamis paling kelabu buatku. Padahal pada keesokan harinya, kakak laki-lakiku dan adik perempuanku harus menempuh ujian akhir SMP dan SD, mengingat mereka tengah duduk di kelas 3 SMP dan 6 SD.

BAPAK DAN KETULUSAN
Punya kakak dan adik yang hanya berjarak usia sangat dekat itu memang tak mudah pak. Tapi aku bisa kok menjalaninya, karena itu memang pilihanmu kan pak? Bapak menikah di usia 41 tahun, sementara ibu baru 22 tahun. Dengan rentang jarak usia 19 tahun, tentu engkau tak ingin terlalu tua saat anak-anakmu tumbuh dewasa kelak. Walau pada kenyataannya, engkau tak lama bersama kami.
Lalu, kenapa bapak baru menikah di usia 41 tahun? Ini juga yang membuatku semakin bangga padamu pak! Sebagai laki-laki paling sulung dari sembilan bersaudara, engkau memilih membantu orang tuamu membiayai pendidikan adik-adikmu, hingga mereka lulus kuliah. Bahkan engkau pun rela dilangkahi beberapa orang adikmu yang kebetulan menemukan jodohnya lebih dulu.
Ah, betapa luas hatimu. Betapa tulus hatimu bapak. Engkau sama sekali tak egois. Engkau memilih membahagiakan keluargamu lebih dulu daripada mencari kebahagiaan dirimu sendiri.
Dari mereka jugalah, secara perlahan aku mengenal sosokmu ketika aku sudah lebih mampu merekam memori dan data yang lebih banyak di otakku.  Cerita-cerita tentangmu dari semua saudaramu, bahkan saudara jauhmu sekalipun, satupun tak ada yang negatif.
“Bapakmu ki pengen adik-adiknya rampung sekolah sik, lagi kawin nduk,” begitu kata salah satu budheku. Suatu hal yang membuat sosokmu semakin hebat di mataku.
Belum lagi jika mendengar soal perjuanganmu ketika bersekolah. Rumahmu yang terletak di pegunungan membuatmu harus rela berjalan kaki sepanjang 50 kilometer pulang pergi setiap hari untuk sampai ke sekolah.
Saat itu tentu saja belum ada sarana transportasi yang memadai, bahkan sebuah sepeda pun tak kau miliki. Satu-satunya jalan untuk menuju ke sekolah tentu saja dengan berjalan kaki. Sama sekali bukan hal mudah, karena engkau mengarungi rute jauh itu dengan bertelanjang kaki. Aku semakin bangga kepadamu pak!!! Bangga sebangga-bangganya!!!!
Nek bapakmu iki ora sekolah, pasti yo ming macul ning Gondang,” begitu katamu suatu hari. (Kalau bapakmu tak sekolah, pasti juga cuma akan bertani di Gondang-red). Gondang sendiri adalah sebuah desa kecil nan asri di daerah Magelang, Jawa Tengah, tempat bapak kini beristirahat dalam damai.

BAPAK DAN MUSIK
Selain hebat dalam bidang matematika, engkau juga hebat dalam bermusik. Bahkan anak laki-lakimu kau beri nama depan Cuk, salah satu nama alat musik yang kau kuasai. Salah satu lagu favoritmu adalah Juwita Malam. Awalnya dulu aku merasa aneh mendengar lagu itu. Menurutku lagu itu sangat “tua”, tapi ternyata lagu itu malah dinyanyikan kembali oleh Bebi Romeo beberapa tahun lalu.
Dengan sisa penghasilanmu, akhirnya engkau berhasil membeli sebuah organ sederhana. Lagu pertama yang kau mainkan apalagi kalau bukan lagu Juwita Malam. Tapi lama-lama, selera laguku juga berubah sepertimu pak. Bahkan sekarang, suamiku selalu bilang kalau selera laguku itu “tua” banget….hehehheheee………
Setelah kepergianmu, tak ada lagi yang memencet organ itu pak. Aku akhirnya nekad memainkan organ itu. Aku belajar secara otodidak hingga akhirnya aku juga berhasil memainkan lagu Juwita Malam itu. Jelas, air mataku menetes ketika Bebi Romeo menyanyikan lagu itu kembali. Lagu yang selalu mengingatkanku padamu pak.
Sekarang, pasti engkau tak membutuhkan organ tua itu lagi untuk bernyanyi. Engkau pasti dikelilingi nyanyian malaikat-malaikat surga. Walau lagunya bukan Juwita Malam, tapi aku yakin engkau bahagia mendengar nyanyian mereka, pak!!!
Cuma itu pak, tak banyak yang aku ingat tentangmu, karena aku hanya mengenalmu selama 13 tahun pertama masa hidupku, belum cukup pak rasanya!! Ingin rasanya protes sama Tuhan, mengapa Dia mengambil orang sebaik dirimu???? Aku tak pernah tahu jawabannya pak…..sampai sekarang….


-End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar