Kamis, 03 Maret 2016

Beloved Bu Jenny



             Masa SMA? Hmmm...masa ini bener-bener indah buatku. Bener-bener indah! Bukan hanya karena ada masa-masanya jatuh cinta, tapi masa SMA buatku adalah waktu kebandelan terparah sepanjang masa hidupku.
            Yup! Walaupun terlahir sebagai cewek, tapi aku badung banget pas zaman SMA.   Betapa tidak, aku membuat berbagai ulah yang konyol saat masih berseragam abu-abu putih itu. Mulai dari membolos, ngerjain kakak kelas, ngerjain temen seangkatan, hingga ngerjain guru sampai nangis!
            Momen terakhir itu terekam dengan sangat baik di kepalaku hingga sekarang. Ketika aku duduk di kelas 2 SMA, ada seorang guru perempuan yang dikenal suka berdandan menor. Maklum saja, beliau masih belum menikah di usianya yang sudah menginjak 30-an.
            Dandanannya yang sangat menor itu mau tak mau menarik perhatian mata manapun juga. Apalagi, bentuk mukanya malah jadi aneh bin ajaib karena dia sama sekali tidak bisa dibilang cantik dengan dandanan menornya itu.
            Ketika guru-guru perempuan lain masuk ke kelas dengan menggunakan baju safari perempuan yang sederhana, guru menor itu masuk kelas dengan menggunakan blazer model terkini. Paling update deh pokoknya. Enggak bakal dicap tertinggal mode saat itu.
            Otomatis, gaya guru yang kita sebut aja dengan Bu Jenny itu, jadi perbincangan hangat di antara siswa sekolah, termasuk aku dan teman-temanku. Tapi, entah kupingnya yang maha tebal atau memang tak mendengar gosip mengenai dirinya, Bu Jenny tetap aja pede dengan gaya dandan menornya setiap datang ke sekolah.
            Suara siulan dari murid laki-laki pasti akan terdengar kencang ketika Bu Jenny lewat. Tak hanya satu, mungkin ratusan siswa laki-laki yang melihatnya tak tahan untuk tak mengeluarkan siulannya setiap Bu Jenny melintas usai mengajar.
            Dan begitu pula hari itu. Aku sedang duduk-duduk di depan kelas ketika masa istirahat tiba. Meski cewek, namun aku lebih suka bergaul dengan cowok daripada dengan kaumku sendiri yang biasanya lebih senang bergosip. Aku sedang ngobrol dengan beberapa teman cowok ketika Bu Jenny lewat. Tak perlu menunggu lama, siulan sekaligus godaan karena dandannya yang super menor itu pun saling bersahutan.
            Sebagai murid badung, aku pun tak ketinggalan ikut menggoda Bu Jenny. Aku lupa apa saja kata-kataku saat itu. Tapi yang pasti, suaraku paling terdengar cempreng karena aku cewek sendiri di antara gerombolan penggoda Bu Jenny siang itu.
            Tapi, ups, aku lupa, habis istirahat ini, giliran Bu Jenny masuk ke kelasku. Aduh, dia marah nggak ya? Tak lama, bel tanda masuk kelas pun kembali berbunyi. Pelajaran Bu Jenny akan segera dimulai.
            Lima menit berlalu. Sepuluh menit pun sudah lewat. Bu Jenny tetap belum masuk kelasku. Aduh, aku sudah gelisah rasanya. Apa jangan-jangan gara-gara insiden tadi, Bu Jenny enggan masuk kelasku? Kalau iya, dijamin bakal runyam buntutnya.
            Akhirnya Bu Jenny pun masuk ke kelasku. Tapi mana tasnya? Kok dia nggak bawa tas pas ngajar? Dia hanya terlihat menunduk terus ketika melangkahkan kakinya masuk ke kelasku.
            Wajahnya ternyata penuh berderai air mata saat dia sampai di pintu kelas. Perlahan dia berjalan menuju ke meja guru dan tetap menangis. Aku yang duduk di kursi paling belakang pun mendadak was-was. Feelingku mengatakan, ini pasti gara-gara insiden di masa istirahat tadi.
            “Ibu nggak mau mengajar kelas ini. Ibu sakit hati tadi ada suara-suara murid yang terkesan menghina ibu pas lewat. Ibu yakin pelakunya ada di kelas ini. Ibu mungkin sudah terbiasa dengan godaan-godaan itu, tapi kali ini sungguh keterlaluan. Ibu tak akan mengajar kelas ini sebelum ada yang meminta maaf,” ujarnya seraya meninggalkan kelasku.
            Waduh, beberapa sahabat cowokku langsung melihat ke arahku. Runyam, benar-benar runyam nih, pikirku. Mereka pun langsung mengerubungiku.
            “Gimana nih Rur? Kayaknya kita deh yang harus tanggungjawab. Kalau kita nggak minta maaf, Bu Jenny nggak bakal mau ngajar kita lagi,” kata seorang temenku.
            Hening. Aku berpikir. Kejadian ini memang bukan semua murni kesalahanku. Hanya satu kesalahanku, suaraku yang paling cempreng di antara semua teman laki-lakiku. Jadi, sudah tentu suarakulah yang paling didengar Bu Jenny dengan jelas.
            “Mendingan aku aja deh yang langsung minta maaf. Aku mewakili kalian. Kalian mungkin juga salah, karena keterlaluan menggoda beliau. Tapi, suaraku kayaknya terdengar paling jelas, karena aku satu-satunya cewek di antara kalian. Jadi lebih baik aku yang maju minta maaf,” kataku.
            “Bener ya Rur, sampaikan kepada Bu Jenny kalau kita menyesal, dan berharap beliau bersedia masuk lagi ke kelas kita,” harap teman-temanku.

***
            Diiringi tatapan penuh harap dari teman sekelas, akhirnya aku memberanikan diri melangkah ke ruang guru. Kepalaku langsung celingak-celinguk mencari Bu Jenny. Ternyata dia duduk di meja pojokan ruangan.
            “Bu Jenny...,” kataku perlahan.
            Entah karena tak mendengar suaraku, Bu Jenny tetap sibuk menulis di mejanya.
            “Bu Jenny....,” suaraku lebih keras terdengar.
            Bu Jenny masih terus menulis.
            “Bu....Bu Jenny....” ujarku seraya mendekat ke meja.
            Kali ini dia mengangkat kepalanya. “Ada apa?”
            Aku semakin mendekat ke mejanya.
            “Begini bu, soal kejadian pas istirahat tadi. Saya dan teman-teman mau minta maaf. Kami memang keterlaluan pas nggodain ibu, tapi tak ada maksud apa-apa bu. Kami hanya ingin bercanda, tapi bercandanya sudah keterlaluan bu,” kataku.
            Bu Jenny masih terdiam. Dia belum bersuara. Aku tak berani menatap matanya. Pasti Bu Jenny benar-benar marah, pikirku.
            “Duduk dekat ibu sini,” sayup-sayup terdengar suara Bu Jenny.
            “Ibu sebenarnya tak marah. Ibu maklum dengan semua godaan yang ibu terima. Tapi, ibu juga minta pengertian dari kalian, inilah ibu yang sebenarnya. Inilah identitas ibu yang sesungguhnya, yang suka dandan, bergaya, dan mengikuti mode. Toh, hobi ibu ini tak merugikan orang lain, bukan? Ibu memang berbeda dari guru-guru lain, tapi itu dari luarnya saja. Jiwa kami tetap sama, ingin mendidik kalian,” kata Bu Jenny.
            Aku membisu. Aku terdiam, tenggelam dalam pikiranku. Sebuah pelajaran berharga sudah kupetik dari peristiwa itu. Do not judge book by its cover. Di balik dandan menor Bu Jenny, dia tetaplah seorang guru, seorang guru yang ingin membuat murid-muridnya lebih baik. Yang selalu ingin mencurahkan seluruh ilmunya kepada muridnya.
            Ah, tiba-tiba semua pandangan miring tentang Bu Jenny sirna di kepalaku. Aku pun riang melangkah kembali ke kelasku, setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih kepada Bu Jenny. Teman-temanku yang tadinya cemas menungguku kembali ke kelas, akhirnya bisa tersenyum kembali ketika melihat Bu Jenny melangkah ke kelasku.
            Usai insiden itu, ternyata aku malah jadi teman terakrab Bu Jenny. Ternyata, di balik semua kemenorannya saat berdandan, beliau sangat baik hati. Aku selalu siap membela beliau setiap kali ada teman yang menggodanya.
            Bahkan, saking akrabnya, Bu Jenny selalu menyuruhku mengambilkan beberapa file yang tertinggal di kantornya setiap kali beliau mengajar di kelasku. Ah, ternyata pepatah don’t judge book by its cover itu ada benarnya ya. Kalau kata ibuku sih, selalu ada mutiara di comberan sekalipun. I love u Bu Jenny!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar