Masa SMA? Hmmm...masa ini
bener-bener indah buatku. Bener-bener indah! Bukan hanya karena ada
masa-masanya jatuh cinta, tapi masa SMA buatku adalah waktu kebandelan terparah
sepanjang masa hidupku.
Yup! Walaupun terlahir sebagai
cewek, tapi aku badung banget pas zaman SMA. Betapa
tidak, aku membuat berbagai ulah yang konyol saat masih berseragam abu-abu
putih itu. Mulai dari membolos, ngerjain kakak kelas, ngerjain temen
seangkatan, hingga ngerjain guru sampai nangis!
Momen terakhir itu terekam dengan
sangat baik di kepalaku hingga sekarang. Ketika aku duduk di kelas 2 SMA, ada
seorang guru perempuan yang dikenal suka berdandan menor. Maklum saja, beliau
masih belum menikah di usianya yang sudah menginjak 30-an.
Dandanannya yang sangat menor itu
mau tak mau menarik perhatian mata manapun juga. Apalagi, bentuk mukanya malah
jadi aneh bin ajaib karena dia sama sekali tidak
bisa dibilang cantik dengan dandanan menornya itu.
Ketika guru-guru perempuan lain
masuk ke kelas dengan menggunakan baju safari perempuan yang sederhana, guru
menor itu masuk kelas dengan menggunakan blazer model terkini. Paling update deh pokoknya. Enggak bakal dicap tertinggal mode saat itu.
Otomatis, gaya guru yang kita sebut
aja dengan Bu Jenny itu, jadi perbincangan hangat di antara siswa sekolah,
termasuk aku dan teman-temanku. Tapi, entah kupingnya yang maha tebal atau
memang tak mendengar gosip mengenai dirinya, Bu Jenny tetap aja pede dengan
gaya dandan menornya setiap datang ke sekolah.
Suara siulan dari murid laki-laki
pasti akan terdengar kencang ketika Bu Jenny lewat. Tak hanya satu, mungkin
ratusan siswa laki-laki yang melihatnya tak tahan untuk tak mengeluarkan
siulannya setiap Bu Jenny melintas usai mengajar.
Dan begitu pula hari itu. Aku sedang
duduk-duduk di depan kelas ketika masa istirahat tiba. Meski cewek, namun aku
lebih suka bergaul dengan cowok daripada dengan kaumku sendiri yang biasanya lebih
senang bergosip. Aku sedang ngobrol dengan beberapa teman cowok ketika Bu Jenny
lewat. Tak perlu menunggu lama, siulan sekaligus godaan karena dandannya yang
super menor itu pun saling bersahutan.
Sebagai murid badung, aku pun tak
ketinggalan ikut menggoda Bu Jenny. Aku lupa apa saja kata-kataku saat itu.
Tapi yang pasti, suaraku paling terdengar cempreng karena aku cewek sendiri di
antara gerombolan penggoda Bu Jenny siang itu.
Tapi, ups, aku lupa, habis istirahat
ini, giliran Bu Jenny masuk ke kelasku. Aduh, dia marah nggak ya? Tak lama, bel tanda masuk kelas pun kembali berbunyi.
Pelajaran Bu Jenny akan segera dimulai.
Lima menit berlalu. Sepuluh menit
pun sudah lewat. Bu Jenny tetap belum masuk kelasku. Aduh, aku sudah gelisah
rasanya. Apa jangan-jangan gara-gara insiden tadi, Bu Jenny enggan masuk
kelasku? Kalau iya, dijamin bakal runyam buntutnya.
Akhirnya Bu Jenny pun masuk ke
kelasku. Tapi mana tasnya? Kok dia nggak bawa tas pas ngajar? Dia hanya
terlihat menunduk terus ketika melangkahkan kakinya masuk ke kelasku.
Wajahnya ternyata penuh berderai air
mata saat dia sampai di pintu kelas. Perlahan dia berjalan menuju ke meja guru
dan tetap menangis. Aku yang duduk di kursi paling belakang pun mendadak
was-was. Feelingku mengatakan, ini pasti gara-gara insiden di masa istirahat
tadi.
“Ibu nggak mau mengajar kelas ini.
Ibu sakit hati tadi ada suara-suara murid yang terkesan menghina ibu pas lewat.
Ibu yakin pelakunya ada di kelas ini. Ibu mungkin sudah terbiasa dengan
godaan-godaan itu, tapi kali ini sungguh keterlaluan. Ibu tak akan mengajar
kelas ini sebelum ada yang meminta maaf,” ujarnya seraya meninggalkan kelasku.
Waduh, beberapa sahabat cowokku
langsung melihat ke arahku. Runyam, benar-benar runyam nih, pikirku. Mereka pun
langsung mengerubungiku.
“Gimana nih Rur? Kayaknya kita deh
yang harus tanggungjawab. Kalau kita nggak minta maaf, Bu Jenny nggak bakal mau
ngajar kita lagi,” kata seorang temenku.
Hening. Aku berpikir. Kejadian ini
memang bukan semua murni kesalahanku. Hanya satu kesalahanku, suaraku yang
paling cempreng di antara semua teman laki-lakiku. Jadi, sudah tentu suarakulah
yang paling didengar Bu Jenny dengan jelas.
“Mendingan aku aja deh yang langsung
minta maaf. Aku mewakili kalian. Kalian mungkin juga salah, karena keterlaluan
menggoda beliau. Tapi, suaraku kayaknya terdengar paling jelas, karena aku
satu-satunya cewek di antara kalian. Jadi lebih baik aku yang maju minta maaf,”
kataku.
“Bener ya Rur, sampaikan kepada Bu
Jenny kalau kita menyesal, dan berharap beliau bersedia masuk lagi ke kelas
kita,” harap teman-temanku.
***
Diiringi tatapan penuh harap dari
teman sekelas, akhirnya aku memberanikan diri melangkah ke ruang guru. Kepalaku
langsung celingak-celinguk mencari Bu Jenny. Ternyata dia duduk di meja pojokan
ruangan.
“Bu Jenny...,” kataku perlahan.
Entah karena tak mendengar suaraku,
Bu Jenny tetap sibuk menulis di mejanya.
“Bu Jenny....,” suaraku lebih keras
terdengar.
Bu Jenny masih terus menulis.
“Bu....Bu Jenny....” ujarku seraya
mendekat ke meja.
Kali ini dia mengangkat kepalanya.
“Ada apa?”
Aku semakin mendekat ke mejanya.
“Begini bu, soal kejadian pas
istirahat tadi. Saya dan teman-teman mau minta maaf. Kami memang keterlaluan
pas nggodain ibu, tapi tak ada maksud apa-apa bu. Kami hanya ingin bercanda,
tapi bercandanya sudah keterlaluan bu,” kataku.
Bu Jenny masih terdiam. Dia belum
bersuara. Aku tak berani menatap matanya. Pasti Bu Jenny benar-benar marah,
pikirku.
“Duduk dekat ibu sini,” sayup-sayup
terdengar suara Bu Jenny.
“Ibu sebenarnya tak marah. Ibu
maklum dengan semua godaan yang ibu terima. Tapi, ibu juga minta pengertian
dari kalian, inilah ibu yang sebenarnya. Inilah identitas ibu yang
sesungguhnya, yang suka dandan, bergaya, dan mengikuti mode. Toh, hobi ibu ini
tak merugikan orang lain, bukan? Ibu memang berbeda dari guru-guru lain, tapi
itu dari luarnya saja. Jiwa kami tetap sama, ingin mendidik kalian,” kata Bu
Jenny.
Aku membisu. Aku terdiam, tenggelam
dalam pikiranku. Sebuah pelajaran berharga sudah kupetik dari peristiwa itu. Do not judge book by its cover. Di balik
dandan menor Bu Jenny, dia tetaplah seorang guru, seorang guru yang ingin
membuat murid-muridnya lebih baik. Yang selalu ingin mencurahkan seluruh
ilmunya kepada muridnya.
Ah, tiba-tiba semua pandangan miring
tentang Bu Jenny sirna di kepalaku. Aku pun riang melangkah kembali ke kelasku,
setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih kepada Bu Jenny. Teman-temanku yang
tadinya cemas menungguku kembali ke kelas, akhirnya bisa tersenyum kembali
ketika melihat Bu Jenny melangkah ke kelasku.
Usai insiden itu, ternyata aku malah
jadi teman terakrab Bu Jenny. Ternyata, di balik semua kemenorannya saat
berdandan, beliau sangat baik hati. Aku selalu siap membela beliau setiap kali
ada teman yang menggodanya.
Bahkan, saking akrabnya, Bu Jenny
selalu menyuruhku mengambilkan beberapa file yang tertinggal di kantornya
setiap kali beliau mengajar di kelasku. Ah, ternyata pepatah don’t judge book by its cover itu ada
benarnya ya. Kalau kata ibuku sih, selalu ada mutiara di comberan sekalipun. I love u Bu Jenny!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar