Pemulung Berpaspor
PADA masa awal-awal
saya masih berstatus sebagai cadet pada 1995 dan lulus kuliah pada 1996, para
pelaut baru biasanya dipersilakan memilih rute yang ingin dilayarinya untuk
pertama kali. Entah mengapa sebagian besar pelaut baru memilih untuk bekerja di
kapal general cargo dengan rute
Indonesia-Jepang. Ternyata sebuah alasan ekonomi melatarbelakangi semuanya.
Kapal general cargo akan memuat hasil
hutan dan kayu ke Jepang. Baik itu kayu gelondongan (log, red) maupun kayu
lapis. Saat itu belum ada pembatasan ekspor hasil hutan, semua jenis kayu masih
dapat diekspor secara bebas ke pasar internasional. Jadi tidak heran apabila
banyak kapal membawa muatan kayu tersebut dari Indonesia ke Jepang.
Di Jepang, sebagian besar kapal general
cargo, masuk dan bersandar di pelabuhan di area kota seperti Kobe atau Osaka.
Berbeda dengan kapal jenis bulk carrier
atau chemical tanker. Kapal-kapal
jenis ini hanya bisa bersandar di pelabuhan-pelabuhan di kawasan industri, yang
lokasinya cenderung jauh dari kota atau pemukiman.
Lalu mengapa para pelaut ini memilih kapal
general cargo dan twin deck untuk berlayar ke Jepang? Satu hal penting ternyata
menjadi penyebab. Pada masa itu, barang-barang elektronik dan barang-barang
dari luar negeri masih terhitung mahal dan cenderung susah didapat. Yang pasti,
belum ada serbuan barang-barang murah dari Tiongkok seperti saat ini.
Tentu saja hal ini dibaca sebagai peluang
oleh rekan-rekan pelaut yang memiliki jiwa bisnis yang tinggi. Barang-barang
yang mereka bawa dari Jepang dijadikan lahan bisnis untuk menambah pendapatan.
Bahkan bukan tak mungkin besaran laba yang mereka dapatkan justru lebih besar
dibandingkan gaji mereka sebagai pelaut.
Barang yang menduduki peringkat pertama
untuk dibawa ke Indonesia adalah sepeda onthel. Dari apa yang saya dengar –
karena saya belum pernah melakukannya sama sekali – para pelaut ini membeli dan
mengumpulkan sepeda bekas. Jumlahnya bisa puluhan, atau bahkan ratusan unit.
Mereka juga melakukannya secara patungan
atau kolektif atau bahkan secara pribadi. Sampai sekarang, di beberapa area di
kawasan Tanjung Priok, kita masih mudah menemukan penjual sepeda second dari
Jepang. Besar kemungkinan sepeda-sepeda tersebut didapatkan dari para pelaut.
Selain sepeda onthel, para pelaut juga
membawa mesin jahit dengan tenaga listrik. Di masa itu, mesin jahit dari Jepang
sudah dianggap sangat canggih. Demand
akan barang ini di Indonesia juga sangat tinggi, terutama untuk pengusaha
konveksi skala kecil. Keuntungan yang didapatkan juga bisa berpuluh kali lipat
dibandingkan harga beli.
Beberapa bahkan ada yang didapatkan dari
hasil memulung di tempat pembuangan. Kata para pelaut yang menerjuni bisnis
ini, orang Jepang pasti juga senang dengan hal ini karena barang buangan mereka
ada yang menampung.
TV SAMPAI SEPEDA MOTOR
Ada juga pelaut yang membawa barang-barang
elektronik kebutuhan rumah tangga, seperti TV, audio-video, lemari pendingin,
dan sebagainya. Bahkan ada juga pelaut yang membawa sepeda motor bekas. Tentu
saja, para pelaut ini mesti kucing-kucingan dengan petugas pabean setibanya di
Indonesia. Kebanyakan mereka yang membawa sepeda motor ini membawanya ke
Filipina sebagai kawasan market yang menjanjikan.
Dengan cara-cara seperti ini, jelas para
pelaut memiliki penghasilan tambahan yang cukup besar dibandingkan jika hanya
mengharapkan gaji. Itulah mengapa para pelaut seakan “berebut” untuk bekerja di
kapal-kapal general cargo dengan rute Jepang-Indonesia.
Pengalaman ini tak saya alami pada waktu
awal-awal saya menjejak karier sebagai pelaut. Kapal pertama tempat saya melaut
adalah kapal jenis bulk carrier dengan rute world wide tramper. Otomatis
pengalaman berbisnis ini tidak saya alami. Demikian juga dengan kapal kedua
saya, saya ditempatkan di sebuah kapal tanker charter milik Pertamina dengan
rute Indonesia timur.
Baru di kapal ketiga, saya naik kapal
general cargo rute Indonesia-Jepang. Tapi situasi sudah banyak berubah. Saat
itu, sudah banyak barang-barang asal Tiongkok yang masuk dengan derasnya ke
Indonesia. Pun dengan harga yang cenderung lebih murah, lengkap dengan daya
listrik yang sudah 220 volt sama seperti di Indonesia. Jadi, pangsa pasar
barang-barang bekas dari Jepang sudah semakin mengecil.
Ditambah lagi, saya tipikal orang yang
merasa “gengsi” atau lebih tepatnya malas, untuk membawa barang-barang bekas
tersebut ke Indonesia. Otomatis, saya tidak pernah merasakan membeli
barang-barang bekas untuk bisnis, apalagi memulung barang-barang tersebut. Yang
ada, saya hanya menjadi penonton ketika para pelaut berpesiar ke daratan.
Tapi suatu saat ada sebuah kejadian yang
membuat saya tercengang, bahkan sampai merasa stres menghadapinya. Suatu hari,
kapal kami yang tengah bersandar, didatangi beberapa polisi Jepang dan beberapa
penduduk sipil yang bertindak sebagai saksi mata.
Saksi mata? Untuk peristiwa apa? Ternyata
usut punya usut, ada indikasi pencurian sepeda onthel yang dilakukan oleh salah
satu crew kapal. Saya lupa di pelabuhan mana tepatnya peristiwa ini terjadi,
tetapi seluruh crew sempat dikumpulkan oleh polisi Jepang dan barangnya
diperiksa satu persatu. Ada-ada saja.
Untuk diketahui, terkadang ada crew kapal
yang membawa kabur sepeda yang sedang diparkir, dengan alasan tidak tahu.
Sepeda yang terparkir dianggapnya sebagai buangan. Sudah bisa ditebak hal ini
akan segera menjadi urusan polisi.
Yang paling parah adalah ketika kami
tinggal di sebuah hotel di Jepang selama beberapa hari, untuk menunggu proses
serah-terima kapal. Pihak hotel menyediakan sepeda untuk dipakai/dipinjamkan
kepada penghuni hotel. Kami biasanya menggunakan sepeda itu untuk ke
supermarket atau sekadar jalan-jalan sore.
Beberapa waktu kemudian, pihak hotel baru
tersadar jika mereka telah kehilangan satu buah sepeda berwarna kuning. Usut
punya usut, ternyata seorang awak kapal membawa kabur sepeda tersebut dan sudah
dinaikkan ke atas kapal. Wah kalau yang satu ini, jiwa bisnisnya sudah terlalu
tinggi, karena segala sesuatu bisa dijadikan uang. Hahahahahha..... (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar