Kamis, 03 Maret 2016

Dari Kisah Seorang Sahabat, Balada Seorang Pelaut (3)



Pemulung Berpaspor

PADA masa awal-awal saya masih berstatus sebagai cadet pada 1995 dan lulus kuliah pada 1996, para pelaut baru biasanya dipersilakan memilih rute yang ingin dilayarinya untuk pertama kali. Entah mengapa sebagian besar pelaut baru memilih untuk bekerja di kapal general cargo dengan rute Indonesia-Jepang. Ternyata sebuah alasan ekonomi melatarbelakangi semuanya.
Kapal general cargo akan memuat hasil hutan dan kayu ke Jepang. Baik itu kayu gelondongan (log, red) maupun kayu lapis. Saat itu belum ada pembatasan ekspor hasil hutan, semua jenis kayu masih dapat diekspor secara bebas ke pasar internasional. Jadi tidak heran apabila banyak kapal membawa muatan kayu tersebut dari Indonesia ke Jepang.
Di Jepang, sebagian besar kapal general cargo, masuk dan bersandar di pelabuhan di area kota seperti Kobe atau Osaka. Berbeda dengan kapal jenis bulk carrier atau chemical tanker. Kapal-kapal jenis ini hanya bisa bersandar di pelabuhan-pelabuhan di kawasan industri, yang lokasinya cenderung jauh dari kota atau pemukiman.
Lalu mengapa para pelaut ini memilih kapal general cargo dan twin deck untuk berlayar ke Jepang? Satu hal penting ternyata menjadi penyebab. Pada masa itu, barang-barang elektronik dan barang-barang dari luar negeri masih terhitung mahal dan cenderung susah didapat. Yang pasti, belum ada serbuan barang-barang murah dari Tiongkok seperti saat ini.
Tentu saja hal ini dibaca sebagai peluang oleh rekan-rekan pelaut yang memiliki jiwa bisnis yang tinggi. Barang-barang yang mereka bawa dari Jepang dijadikan lahan bisnis untuk menambah pendapatan. Bahkan bukan tak mungkin besaran laba yang mereka dapatkan justru lebih besar dibandingkan gaji mereka sebagai pelaut.
Barang yang menduduki peringkat pertama untuk dibawa ke Indonesia adalah sepeda onthel. Dari apa yang saya dengar – karena saya belum pernah melakukannya sama sekali – para pelaut ini membeli dan mengumpulkan sepeda bekas. Jumlahnya bisa puluhan, atau bahkan ratusan unit.
Mereka juga melakukannya secara patungan atau kolektif atau bahkan secara pribadi. Sampai sekarang, di beberapa area di kawasan Tanjung Priok, kita masih mudah menemukan penjual sepeda second dari Jepang. Besar kemungkinan sepeda-sepeda tersebut didapatkan dari para pelaut.
Selain sepeda onthel, para pelaut juga membawa mesin jahit dengan tenaga listrik. Di masa itu, mesin jahit dari Jepang sudah dianggap sangat canggih. Demand akan barang ini di Indonesia juga sangat tinggi, terutama untuk pengusaha konveksi skala kecil. Keuntungan yang didapatkan juga bisa berpuluh kali lipat dibandingkan harga beli.
Beberapa bahkan ada yang didapatkan dari hasil memulung di tempat pembuangan. Kata para pelaut yang menerjuni bisnis ini, orang Jepang pasti juga senang dengan hal ini karena barang buangan mereka ada yang menampung.

TV SAMPAI SEPEDA MOTOR
Ada juga pelaut yang membawa barang-barang elektronik kebutuhan rumah tangga, seperti TV, audio-video, lemari pendingin, dan sebagainya. Bahkan ada juga pelaut yang membawa sepeda motor bekas. Tentu saja, para pelaut ini mesti kucing-kucingan dengan petugas pabean setibanya di Indonesia. Kebanyakan mereka yang membawa sepeda motor ini membawanya ke Filipina sebagai kawasan market yang menjanjikan.
Dengan cara-cara seperti ini, jelas para pelaut memiliki penghasilan tambahan yang cukup besar dibandingkan jika hanya mengharapkan gaji. Itulah mengapa para pelaut seakan “berebut” untuk bekerja di kapal-kapal general cargo dengan rute Jepang-Indonesia.
Pengalaman ini tak saya alami pada waktu awal-awal saya menjejak karier sebagai pelaut. Kapal pertama tempat saya melaut adalah kapal jenis bulk carrier dengan rute world wide tramper. Otomatis pengalaman berbisnis ini tidak saya alami. Demikian juga dengan kapal kedua saya, saya ditempatkan di sebuah kapal tanker charter milik Pertamina dengan rute Indonesia timur.
Baru di kapal ketiga, saya naik kapal general cargo rute Indonesia-Jepang. Tapi situasi sudah banyak berubah. Saat itu, sudah banyak barang-barang asal Tiongkok yang masuk dengan derasnya ke Indonesia. Pun dengan harga yang cenderung lebih murah, lengkap dengan daya listrik yang sudah 220 volt sama seperti di Indonesia. Jadi, pangsa pasar barang-barang bekas dari Jepang sudah semakin mengecil.
Ditambah lagi, saya tipikal orang yang merasa “gengsi” atau lebih tepatnya malas, untuk membawa barang-barang bekas tersebut ke Indonesia. Otomatis, saya tidak pernah merasakan membeli barang-barang bekas untuk bisnis, apalagi memulung barang-barang tersebut. Yang ada, saya hanya menjadi penonton ketika para pelaut berpesiar ke daratan.
Tapi suatu saat ada sebuah kejadian yang membuat saya tercengang, bahkan sampai merasa stres menghadapinya. Suatu hari, kapal kami yang tengah bersandar, didatangi beberapa polisi Jepang dan beberapa penduduk sipil yang bertindak sebagai saksi mata.
Saksi mata? Untuk peristiwa apa? Ternyata usut punya usut, ada indikasi pencurian sepeda onthel yang dilakukan oleh salah satu crew kapal. Saya lupa di pelabuhan mana tepatnya peristiwa ini terjadi, tetapi seluruh crew sempat dikumpulkan oleh polisi Jepang dan barangnya diperiksa satu persatu. Ada-ada saja.
Untuk diketahui, terkadang ada crew kapal yang membawa kabur sepeda yang sedang diparkir, dengan alasan tidak tahu. Sepeda yang terparkir dianggapnya sebagai buangan. Sudah bisa ditebak hal ini akan segera menjadi urusan polisi.
Yang paling parah adalah ketika kami tinggal di sebuah hotel di Jepang selama beberapa hari, untuk menunggu proses serah-terima kapal. Pihak hotel menyediakan sepeda untuk dipakai/dipinjamkan kepada penghuni hotel. Kami biasanya menggunakan sepeda itu untuk ke supermarket atau sekadar jalan-jalan sore.
Beberapa waktu kemudian, pihak hotel baru tersadar jika mereka telah kehilangan satu buah sepeda berwarna kuning. Usut punya usut, ternyata seorang awak kapal membawa kabur sepeda tersebut dan sudah dinaikkan ke atas kapal. Wah kalau yang satu ini, jiwa bisnisnya sudah terlalu tinggi, karena segala sesuatu bisa dijadikan uang. Hahahahahha..... (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar