Koki Oh Koki...
BAYANGKAN jika dalam
sebuah kapal yang tengah berlayar tak ada satu orang pun yang berprofesi koki
di dalamnya? Kendati bukan merupakan posisi utama dalam sebuah kapal, namun
keberadaan koki dalam kapal sangatlah vital. Bisa dibayangkan betapa kacaunya
kegaduhan di kapal yang pasti dan selalu terjadi tiga kali dalam sehari itu
kalau koki tidak ada?
Sama seperti profesi lainnya di atas
kapal, profesi koki juga tidak memiliki hari libur. Yang ada mereka harus
bekerja dari Senin hingga Senin lagi. Mereka tidak bisa sama sekali
beristirahat karena harus menyiapkan makanan seluruh crew kapal sebanyak tiga kali dalam sehari. Belum lagi menjelang
perayaan hari besar, para koki harus menyiapkan menu ekstra nan istimewa bagi
para crew.
Menjadi koki di atas kapal juga bukan
pekerjaan yang mudah. Mereka harus bisa memenuhi ekspektasi para crew yang memiliki beragam selera makan
mengingat mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Perbedaan latar belakang itulah yang
membuat mereka memiliki preferensi makanan yang berbeda-beda pula. Guna
mengatasi gap seperti itu, biasanya
terdapat sebuah food committee di
atas kapal. Food committee inilah
yang akan menjembatani keinginan dan selera makan crew dengan para koki, tim belanja, serta kapten kapal.
Menurut saya pribadi, setelah menjalani
profesi pelaut ini selama bertahun-tahun, hanya ada dua hiburan utama bagi
seorang pelaut selama berada di atas kapal, yakni makanan dan gajian. That’s it. Kalau makanan sehari-hari
bagus, aman sudah. Hati tenteram rasanya. Kalau gajian tepat waktu, entah gaji
tersebut kita pakai, atau hanya disimpan di bawah kasur, setelah gajian rasanya
senang, tenang.
Nah, bisa dibayangkan apabila makanan di
atas kapal kacau-balau rasanya? Sama sekali tak sesuai dengan selera kita?
Hilang sudah salah satu hiburan utama tersebut. Saat saya masih jadi cadet di kapal milik salah satu
perusahaan pelayaran, koki di atas kapal berasal dari Sulawesi. Dengan sangat
terpaksa, saya harus mengikuti selera masakan si koki yang tentu saja berupa
makanan khas Sulawesi.
Tapi entah mengapa, koki yang satu ini
sangat memusuhi para cadet. Dia
sangat tidak menyukai keberadaan para cadet
di dapur. Dia bahkan menerapkan peraturan untuk melarang cadet masuk dapur. Dalam praktiknya, tetap saja kami para cadet berhasil curi-curi ke dapur
setelah selesai jaga malam untuk membuat late
supper berupa ramen instan.
Entah siapa yang iseng, si koki ini
akhirnya mendapatkan karmanya akibat perlakuan buruknya kepada para cadet. Salah satu cadet, entah siapa,
menyumbat pintu kamar koki ini dengan tusuk gigi. Alhasil pintu kamarnya tidak
bisa dikunci dari luar. Ada-ada saja.
KOKI ALDI
Masih di perusahaan yang sama, saya juga
pernah mendengar kisah seorang koki yang sangat terkenal. Bukan karena masakannya
yang dikenal enak, tetapi juga karena reputasi sekaligus sensasi yang
dibuatnya.
Sebut saja nama koki ini, M. Ketika crew departemen di HO di perusahaan
tempat saya bekerja mengabarkan jika dia hendak naik kapal, langsung saja
beberapa kapten kapal menolak dan minta diganti koki yang lain. Jika perlu pun,
kapten akan memilih untuk mempertahankan koki lama sampai di pelabuhan
berikutnya. Apa pasal?
Koki M ini memiliki reputasi sebagai koki
ALDI atau asal jadi. Semua masakan, apapun bahan yang terkandung di dalamnya, rasanya
akan terasa sama. Mungkin karena dia memakai bumbu yang sama untuk semuanya.
Tidak masalah apakah bahan utamanya ayam, daging, ikan, atau terong ungu, maka
rasa makanannya akan sama semuanya.
Belum lagi ketika kapal tengah berada di
Jepang, sudah dipastikan hak para crew
untuk mendapatkan makanan terabaikan. Koki yang satu ini hanya akan masak
sekali dalam sehari, yakni sekitar pukul 4 pagi, supaya di waktu makan siang
dan sore, koki ini bebas berburu barang second
untuk bisnisnya. Kalau sudah begini, sudah dijamin, para crew akan memakan menu yang sama untuk makan pagi, siang, dan malam
hari. Duh!
Nah, suatu saat, saya dapat giliran untuk
berada dalam satu kapal dengan koki ini. Kapalnya merupakan kapal tanker charter Pertamina, dengan rute Jakarta-Cilacap-Surabaya. Kapten
kapal ini tidak bisa menolak, apalagi mengusir koki M ini. Katanya ada
pertimbangan “khusus” mengapa koki tersebut tidak diganti dengan koki lainnya.
Entah apa pertimbangannya.
Tapi sang Kepala Kamar Mesin (KKM) atau Chief Engineer kami, saat itu saya masih
menjadi Masinis III, menangkap basah si koki yang baru bangun tidur, langsung
ngeloyor ke buritan untuk buang hajat dari poop
deck menghadap ke arah laut. Tak lama, dia langsung menuju ke dapur untuk
menyiapkan makanan hari itu, tanpa mencuci tangannya sama sekali.
Tanpa cuci tangan? Dia kan harus memasak makanan yang akan kami
santap sepanjang hari itu? Duh,
membayangkan makanan yang harus kami santap saja, saya sudah merasa mual.
Dengan sangat terpaksa, saya harus mengluarkan dana pribadi untuk pengeluaran
tambahan, karena saya tak mau makan masakan yang dihasilkan oleh si koki.
Mungkin nasi bisa mengambil di dapur, tapi untuk lauk dan sayur, ya saya harus
menyiapkan sendiri. Untung, karena saya orang Jawa, jadi harus selalu merasa
beruntung, sepahit apapun itu, saya berada di kapal rute pendek, jadi bisa
mendapatkan stok makanan di Jakarta dan Cilacap.
Ketika koki M ini sign off dari kapal, penggantinya adalah seorang koki yang sangat
baik, sabar, dan sopan. Seorang koki yang berusia sekitar 55-60 tahun. Selain
itu, dia juga rapi dan bersih, makanan yang dihasilkan pun rasanya sangat enak,
khas masakan Jawa Timur. Pokoknya mantaplah!
Namun tetap saja sebuah cerita lucu
menyertai keberadaan koki ini di kapal kami. Suatu hari, tak seperti biasanya,
koki ini diam seribu bahasa. Mulutnya terkatup rapat. Padahal biasanya dia
banyak mengobrol dengan crew kapal
dan tersenyum terhadap siapapun yang datang ke dapur. Tapi kali ini tidak, dia
lebih memilih diam, tanpa ada satupun yang tahu sebabnya.
Sampai sekitar pukul 10 pagi, saatnya crew mendapatkan coffee time lengkap dengan bubur kacang hijau. Awalnya semua biasa
saja, para crew satu per satu
berdatangan ke dapur untuk mendapatkan jatah menu mereka masing-masing. Salah
satu crew yang sudah datang lebih
dulu pun mengambil bubur kacang hijau yang sudah disediakan, karena semuanya
serba self-service.
Tapi, siapa yang menyangka kalau sebuah
temuan “harta karun” ada di dalam panci bubur kacang hijau tersebut. Ternyata oh ternyata, satu set gigi palsu milik
si koki berada di panci itu, dengan posisi gigi palsu yang menganga, seolah
meledek orang yang tengah mengambil bubur kacang hijau tersebut. Gigi menganga
itu nangkring dengan manisnya di sendok bergagang panjang yang digunakan untuk
mengambil bubur tersebut. Owalahhh,
ternyata pak koki cemberut dan diam seribu bahasa di pagi hari karena
kehilangan satu set gigi palsunya. Hahaha.... (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar