Kamis, 03 Maret 2016

Dari Kisah Seorang Sahabat, Balada Seorang Pelaut (2)



Koki Oh Koki...

BAYANGKAN jika dalam sebuah kapal yang tengah berlayar tak ada satu orang pun yang berprofesi koki di dalamnya? Kendati bukan merupakan posisi utama dalam sebuah kapal, namun keberadaan koki dalam kapal sangatlah vital. Bisa dibayangkan betapa kacaunya kegaduhan di kapal yang pasti dan selalu terjadi tiga kali dalam sehari itu kalau koki tidak ada?
Sama seperti profesi lainnya di atas kapal, profesi koki juga tidak memiliki hari libur. Yang ada mereka harus bekerja dari Senin hingga Senin lagi. Mereka tidak bisa sama sekali beristirahat karena harus menyiapkan makanan seluruh crew kapal sebanyak tiga kali dalam sehari. Belum lagi menjelang perayaan hari besar, para koki harus menyiapkan menu ekstra nan istimewa bagi para crew.
Menjadi koki di atas kapal juga bukan pekerjaan yang mudah. Mereka harus bisa memenuhi ekspektasi para crew yang memiliki beragam selera makan mengingat mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Perbedaan latar belakang itulah yang membuat mereka memiliki preferensi makanan yang berbeda-beda pula. Guna mengatasi gap seperti itu, biasanya terdapat sebuah food committee di atas kapal. Food committee inilah yang akan menjembatani keinginan dan selera makan crew dengan para koki, tim belanja, serta kapten kapal.
Menurut saya pribadi, setelah menjalani profesi pelaut ini selama bertahun-tahun, hanya ada dua hiburan utama bagi seorang pelaut selama berada di atas kapal, yakni makanan dan gajian. That’s it. Kalau makanan sehari-hari bagus, aman sudah. Hati tenteram rasanya. Kalau gajian tepat waktu, entah gaji tersebut kita pakai, atau hanya disimpan di bawah kasur, setelah gajian rasanya senang, tenang.
Nah, bisa dibayangkan apabila makanan di atas kapal kacau-balau rasanya? Sama sekali tak sesuai dengan selera kita? Hilang sudah salah satu hiburan utama tersebut. Saat saya masih jadi cadet di kapal milik salah satu perusahaan pelayaran, koki di atas kapal berasal dari Sulawesi. Dengan sangat terpaksa, saya harus mengikuti selera masakan si koki yang tentu saja berupa makanan khas Sulawesi.
Tapi entah mengapa, koki yang satu ini sangat memusuhi para cadet. Dia sangat tidak menyukai keberadaan para cadet di dapur. Dia bahkan menerapkan peraturan untuk melarang cadet masuk dapur. Dalam praktiknya, tetap saja kami para cadet berhasil curi-curi ke dapur setelah selesai jaga malam untuk membuat late supper berupa ramen instan.
Entah siapa yang iseng, si koki ini akhirnya mendapatkan karmanya akibat perlakuan buruknya kepada para cadet. Salah satu cadet, entah siapa, menyumbat pintu kamar koki ini dengan tusuk gigi. Alhasil pintu kamarnya tidak bisa dikunci dari luar. Ada-ada saja.

KOKI ALDI
Masih di perusahaan yang sama, saya juga pernah mendengar kisah seorang koki yang sangat terkenal. Bukan karena masakannya yang dikenal enak, tetapi juga karena reputasi sekaligus sensasi yang dibuatnya.
Sebut saja nama koki ini, M. Ketika crew departemen di HO di perusahaan tempat saya bekerja mengabarkan jika dia hendak naik kapal, langsung saja beberapa kapten kapal menolak dan minta diganti koki yang lain. Jika perlu pun, kapten akan memilih untuk mempertahankan koki lama sampai di pelabuhan berikutnya. Apa pasal?
Koki M ini memiliki reputasi sebagai koki ALDI atau asal jadi. Semua masakan, apapun bahan yang terkandung di dalamnya, rasanya akan terasa sama. Mungkin karena dia memakai bumbu yang sama untuk semuanya. Tidak masalah apakah bahan utamanya ayam, daging, ikan, atau terong ungu, maka rasa makanannya akan sama semuanya.
Belum lagi ketika kapal tengah berada di Jepang, sudah dipastikan hak para crew untuk mendapatkan makanan terabaikan. Koki yang satu ini hanya akan masak sekali dalam sehari, yakni sekitar pukul 4 pagi, supaya di waktu makan siang dan sore, koki ini bebas berburu barang second untuk bisnisnya. Kalau sudah begini, sudah dijamin, para crew akan memakan menu yang sama untuk makan pagi, siang, dan malam hari. Duh!
Nah, suatu saat, saya dapat giliran untuk berada dalam satu kapal dengan koki ini. Kapalnya merupakan kapal tanker charter Pertamina, dengan rute Jakarta-Cilacap-Surabaya. Kapten kapal ini tidak bisa menolak, apalagi mengusir koki M ini. Katanya ada pertimbangan “khusus” mengapa koki tersebut tidak diganti dengan koki lainnya. Entah apa pertimbangannya.
Tapi sang Kepala Kamar Mesin (KKM) atau Chief Engineer kami, saat itu saya masih menjadi Masinis III, menangkap basah si koki yang baru bangun tidur, langsung ngeloyor ke buritan untuk buang hajat dari poop deck menghadap ke arah laut. Tak lama, dia langsung menuju ke dapur untuk menyiapkan makanan hari itu, tanpa mencuci tangannya sama sekali.
Tanpa cuci tangan? Dia kan harus memasak makanan yang akan kami santap sepanjang hari itu? Duh, membayangkan makanan yang harus kami santap saja, saya sudah merasa mual. Dengan sangat terpaksa, saya harus mengluarkan dana pribadi untuk pengeluaran tambahan, karena saya tak mau makan masakan yang dihasilkan oleh si koki. Mungkin nasi bisa mengambil di dapur, tapi untuk lauk dan sayur, ya saya harus menyiapkan sendiri. Untung, karena saya orang Jawa, jadi harus selalu merasa beruntung, sepahit apapun itu, saya berada di kapal rute pendek, jadi bisa mendapatkan stok makanan di Jakarta dan Cilacap.
Ketika koki M ini sign off dari kapal, penggantinya adalah seorang koki yang sangat baik, sabar, dan sopan. Seorang koki yang berusia sekitar 55-60 tahun. Selain itu, dia juga rapi dan bersih, makanan yang dihasilkan pun rasanya sangat enak, khas masakan Jawa Timur. Pokoknya mantaplah!
Namun tetap saja sebuah cerita lucu menyertai keberadaan koki ini di kapal kami. Suatu hari, tak seperti biasanya, koki ini diam seribu bahasa. Mulutnya terkatup rapat. Padahal biasanya dia banyak mengobrol dengan crew kapal dan tersenyum terhadap siapapun yang datang ke dapur. Tapi kali ini tidak, dia lebih memilih diam, tanpa ada satupun yang tahu sebabnya.
Sampai sekitar pukul 10 pagi, saatnya crew mendapatkan coffee time lengkap dengan bubur kacang hijau. Awalnya semua biasa saja, para crew satu per satu berdatangan ke dapur untuk mendapatkan jatah menu mereka masing-masing. Salah satu crew yang sudah datang lebih dulu pun mengambil bubur kacang hijau yang sudah disediakan, karena semuanya serba self-service.
Tapi, siapa yang menyangka kalau sebuah temuan “harta karun” ada di dalam panci bubur kacang hijau tersebut. Ternyata oh ternyata, satu set gigi palsu milik si koki berada di panci itu, dengan posisi gigi palsu yang menganga, seolah meledek orang yang tengah mengambil bubur kacang hijau tersebut. Gigi menganga itu nangkring dengan manisnya di sendok bergagang panjang yang digunakan untuk mengambil bubur tersebut. Owalahhh, ternyata pak koki cemberut dan diam seribu bahasa di pagi hari karena kehilangan satu set gigi  palsunya. Hahaha.... (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar