Jumat, 29 April 2016

Ibuku, Sang Perias Jenazah



SUNGGUH, profesi ibuk yang satu ini memang agak menyeramkan, karena aku sendiri sampai sekarang belum berani melakukannya. Namun aku maklum kalau ibuk punya keberanian ini, mengingat latar belakang ibuk sebagai mantan perawat rumah sakit, yang sudah terbiasa berhadapan dengan jenazah, baik laki-laki maupun perempuan.
Namun tetap saja menyeramkan menurutku. Betapa tidak, ibuk harus memulai persiapannya dari memandikan jenazah, mengajaknya berbicara, memakaikannya pakaian, merapikannya, dan mulai mendandaninya. Wait, sebentar, mengajaknya berbicara? Kan yang diajak bicara sudah meninggal?
“Bukan begitu. Jika ada jenazah yang baru ditemukan setelah lewat dua jam setelah meninggal dunia, biasanya kondisi badan sudah kaku. Kalau sudah begitu, ibuk sering mengajak ngobrol supaya badannya tidak kaku dan bisa mengenakan pakaian,” kata ibuk.
“Ajak ngobrol apa buk?” tanyaku.
“Ya ajak ngobrol aja begini. Bapak atau ibu kan mau menghadap Tuhan, jadi mesti rapi, yuk dilemesin otot-ototnya, jadi bajunya bisa dipakai. Pas ngomong begitu, ibuk sambil memijit-mijit siku maupun kaki jenazah yang sudah kaku. Lama-lama bisa lemas sendiri kok.”
Baiklah. Aku sudah sedikit terbayang apa saja yang dilakukan ibuk sebagai perias jenazah. Tak semua orang diberkati naluri dan kemampuan untuk menjadi perias jenazah. Namun ibuk secara luar biasa mampu melakukannya.
Sebelum memakaikan pakaian, tahap pertama tentu saja adalah memandikan jenazah. Dalam filosofi Jawa, jika anak-anak kandung sudah hadir sebelum proses memandikan jenazah berlangsung, biasanya ibuk meminta anak-anaknya untuk memangku jenazah orang tuanya saat dimandikan.
“Filosofi itu sama seperti anak yang dipangku kedua orang tuanya saat kecil. Sekarang gantian dong, giliran anak memangku jenazah orang tuanya saat hendak dimandikan. Kalau orang Jawa, sebagian besar pasti tahu filosofi ini,” jelas ibuk.
Namun apapun sukunya, apapun agamanya, apapun jenis kelaminnya, ibuk akan dengan senang hati membantu mempersiapkan jenazah sampai siap di peti. Hanya saja, kata ibuk, dia belum terlalu mengerti tata cara pemakaman orang Islam, karena biasanya mereka memiliki tim tersendiri yang menangani proses itu. Tapi kalau diizinkan untuk membantu, ibuk akan tetap dengan senang hati membantu.
“Biasanya ibuk hanya membantu memegangi kain yang digunakan untuk menutupi proses pemandian jenazah dalam tata cara agama Islam. Paling ibuk hanya membantu mengingatkan kalau ada yang kurang-kurang saja. Misalnya mendudukkan jenazah supaya seluruh kotorannya keluar, jadi ketika hendak dipasangi kain kafan, kondisinya sudah bersih,” papar ibuku.

LUKA JENAZAH
Mungkin prosesnya terdengar gampang untuk dilakukan. Namun kita harus ingat jika proses itu dilakukan untuk jenazah yang meninggal secara wajar atau hanya menderita penyakit yang tak terlalu berat. Tapi bisa dibayangkan kesulitan yang ibuk alami ketika jenazah tersebut menderita luka borok akibat diabetes atau mungkin jenazah korban pembunuhan.
“Luka borok itu harus dikorek satu-satu supaya semuanya bersih. Begitu pula dengan darah-darah yang mengalir. Semua harus dibersihkan,” jelas ibuk. Aku masih tetap geleng-geleng mendengar kisahnya. Ibuk memang luar biasa…
Selain menjadi perias jenazah, ibuk juga kerap diminta bantuan tetangga untuk mengecek kesehatan mereka. Misalnya ada tetangga yang sudah harus menjalani suntik rutin karena menderita penyakit diabetes. Kalau ibuk ada di rumah dan ada waktu, pasti dia dengan senang hati membantu.
Pernah suatu waktu, ibuk dihubungi salah satu mantan rekannya sesama perawat saat bekerja di salah satu RS di Yogyakarta. Dia hanya meminta ibuk untuk menggantikannya menjaga ibunya yang sudah bed rest akibat terkena diabetes. Satu jam saja katanya. Rekan ibuk itu butuh istirahat setelah lelah menjaga ibunya selama ini dan ingin pergi sebentar saja.
Ibuk maklum mendengar keinginan temanku. Sangat maklum. Menjaga orang tua yang sakit terus-menerus memang bukan pekerjaan mudah. Butuh kesabaran luar biasa untuk melakukannya. Dan ibuk pun menjaga ibu rekannya itu dengan senang hati hingga sekitar 1,5 jam kemudian. “Setelah dia pulang ke rumah, wajahnya sudah ceria lagi, dan siap merawat ibunya kembali,” kata ibuk.
Well, apapun itu, sekecil apapun bantuan kita, asalkan dilakukan dengan senang hati, maka manfaatnya akan luar biasa. Bahkan ketika ibuk hanya menggantikan menunggu selama 1,5 jam saja.
Profesi ibuk yang lain adalah sebagai pendoa. Nah, ini yang hebat lagi di mataku. Ibuk rajin pergi ke RS yang pernah menjadi tempatnya bekerja dulu. Dia mendapatkan list pasien yang beragama Katolik di sana, lalu dia datangi pasien itu satu-persatu. Sendirian.
Ibuk memohon izin kepada pasien untuk ikut mendoakan supaya pasien bisa segera lekas sembuh. Namun pernah juga ada pasien yang beragama Islam dan Kristen yang mengizinkan ibuk ikut mendoakannya secara Katolik di RS tersebut. Kata mereka, semakin banyak yang mendoakan, apapun caranya, akan semakin besar juga kemungkinan untuk sembuh. Ah, perbedaan itu sungguh indah bukan?
Kadang-kadang aku berpikir mengapa ibuk rajin sekali melakukan berbagai kegiatan sosial seperti itu? Menurut ibuk, keluarga yang sedang terkena musibah itu pasti sudah susah berpikir bagaimana menangani jenazah anggota keluarganya. “Nah, kita sebagai orang yang tidak terkena musibah harus siap membantu dan mengarahkan bagaimana menangani jenazah sampai rapi di peti jenazah dan menguburkannya,” jelas ibuk.
“Lagipula kita bekerja dengan hati, semuanya akan terasa menyenangkan kok. Nggak ada yang seram….,” kata ibuk sambil menutup pembicaraan. Aku masih tetap geleng-geleng. Ibuk yang hebat. Ibuku, sang perias jenazah.(*)


Rabu, 27 April 2016

Daster Bendera Piknik



SEPAK BOLA. Duh kata yang satu ini benar-benar sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupku. Semua berawal dari masa SMA. Karena telat masuk kelas di hari pertama sekolah, aku kebagian duduk di sebelah Daniel, yang merupakan penggemar berat sepak bola. Aku tidak bisa memilih teman lain sebagai teman sebangku, karena semua bangku sudah penuh. Jadi, setiap detik, menit, jam, dia selalu bercerita mengenai sepak bola kepadaku. Alhasil, lama-lama aku jadi ikut jadi penggila bola.
Pun ketika aku berada di rumah. Tetanggaku yang bernama Pak Nudu memiliki lima anak yang semuanya laki-laki dan semuanya penggila bola. Jadilah aku makin menggemari olahraga si kulit bundar ini.
Sebagai penggemar sepak bola, tentu aku harus mengikuti berbagai berita mengenai sepak bola. Namun berhubung waktu itu aku masih berstatus mahasiswa lengkap dengan kantong cekaknya, aku memutuskan untuk patungan membeli tabloid olahraga dengan salah satu anak Pak Nudu.
Namanya Dony. Aku kerap memanggilnya Donell. Dia mendapat jatah untuk membeli tabloid di hari Senin, sementara aku di hari Kamis, karena tabloid sepak bola itu terbit dua kali seminggu. Sudah bisa ditebak, kalau hari Senin tiba, aku pasti maen ke rumahnya untuk numpang baca. Begitu pula yang sebaliknya dilakukan Donell di hari Kamis.
Namun yang lebih sering terjadi adalah Donell yang kelupaan membeli tabloid tersebut. Aaaarrrggghhhh…. Dasaaaaaaaaarrrrrrrrrr!!!! Kalau sudah begitu aku langsung memaksa Donell untuk membelinya. Setelah berhasil membelinya, aku harus membacanya duluan! Curang ya?
Selain patungan membeli tabloid, kami juga sahabat yang kompak untuk urusan menonton pertandingan sepak bola langsung ke stadion. Karena kami tinggal di daerah Sleman, maka kami adalah suporter klub sepak bola PSS Sleman.
Sebagai Slemania, julukan suporter PSS Sleman, kami selalu rajin menonton hampir di setiap pertandingannya. Tapi karena sekali lagi, kantong kami cekak, atribut suporter kami tak terlalu lengkap. Kami hanya punya kaos jersey PSS Sleman. Kami tak punya atribut lain seperti syal, topi, maupun bendera.
Nah untuk urusan terakhir, harganya cukup mahal untuk ukuran kantong kami saat itu. Kami ingin beli bendera tapi tak ada uang. Akhirnya kami berpikir untuk mencari kain warna hijau saja, yang merupakan warna khas PSS Sleman. Tapi, kami tetap saja tak menemukan kain berwarna hijau milik ibuku maupun mama Donell.
Haduh. Kami berdua pun kebingungan, karena tanpa bendera, kami tak akan total sebagai suporter. Hahahahahaha…. Melihat kami kebingungan, mama Donell pun bertanya kepada kami. “Ngapain kalian bengong di situ?”
“Bingung cari kain hijau buat bikin bendera PSS, ma,” jawabku. Aku juga turut memanggil mama kepada mama Donell.
“Warna hijau ya, sebentar mama carikan dulu.”
Mama pun membongkar lemarinya, namun tetap tak menemukan kain warna hijau di sana.
“Mama adanya cuma punya daster hijau nih!” teriak mama dari dalam kamar.
Daster? Memang itu bisa menyelesaikan masalah? Tapi tak lama kemudian, aku malah mendapatkan ide cemerlang.
“Eh, kita pakai aja daster itu, Nel. Kita bikin bendera daster ajaaaa…. Yang penting warna hijau bukan?”  jawabku.
Meski masih ogah-ogahan, Donell pun menyetujui usulku. Beruntung, daster yang dimiliki mama tak terlalu banyak bermotif, jadi warna hijaunya masih kelihatan dominan.
Tak butuh waktu lama untuk menggunting daster hijau semi polos tersebut menjadi bendera. Setelah dijahit mama di bagian pinggir, kami pun jadi bersemangat melihat hasil akhir daster bendera tersebut. Sudah terbayang muka-muka teman-temanku dan suporter lain, ketika daster bendera itu berkibar nantinya. Hihihihhi…

NONTON ATAU PIKNIK?
Di hari H, kami sudah bersiap menonton pertandingan. Kalau mama mempersiapkan bendera hijau, ibuku ikut mempersiapkan makanan yang akan kami konsumsi selama pertandingan. Ehem, sebenarnya bukan mempersiapkan sih, lebih tepatnya aku yang mengangkut semua makanan di rumah.
Semua isi toples di rumah langsung ludes menjelang keberangkatan aku ke stadion. Begitu pula dengan air es di kulkas yang akan aku angkut berikut botol-botolnya. Setiap kali melihat polah tingkahku menjelang menonton pertandingan, ibuku selalu kebingungan.
“Sebenarnya kamu itu mau nonton sepak bola atau mau piknik sih?” tanyanya.
Hihihi…. Maaf buk, daripada kami jajan di stadion, padahal kantong kami cekak, kan kami bisa menghemat dengan begini.
Ibuku masih tetap geleng-geleng kepala.
Memang begitu peraturannya. Sebagai satu-satunya anggota wanita di kelompok suporter di kompleks rumah, aku memang selalu didapuk sebagai seksi konsumsi. Tapi itu masih mending dibandingkan larangan menonton sepak bola bagi salah satu teman di kompleks rumah. Pasalnya setiap kali dia ikut menonton ke stadion, pertandingan selalu ditunda akibat hujan! Jadilah, kami melarangnya untuk ikut menonton.
Ada juga larangan menonton bagi satu temanku yang lain. Sebab jika dia ikut menonton, PSS selalu mengalami kekalahan. Jadi dia dianggap sebagai biang kekalahan.
Hihihi…. Lucu kalau inget itu. Apa coba hubungan dua temanku itu dengan hujan dan kekalahan? Sama sekali tak ada. Beruntung, dua temanku ini sampai sekarang malah tertawa lebar ketika kami ungkit kenangan itu lagi…. No hard feeling…. Hahahahahaha….
Biasanya pertandingan baru dimulai pukul 15.30, namun kami selalu sudah berada di tribun penonton sekitar pukul 13.30! Demi mendapatkan spot tempat duduk yang bagus untuk menonton, kami pasti berangkat lebih cepat.
Niat banget ya? Waktu menunggu biasanya kami pakai dengan mengobrol atau bercanda. Tapi aku juga pernah memakai waktu menunggu untuk mengerjakan tugas kuliah. Malah suatu waktu aku dan beberapa teman membantu mengerjakan tugas salah satu teman yang akan melamar kerja ke Jepang! Jadi kami sibuk membuka buku-buku dan mengerjakan soal-soal di tribun penonton sembari menunggu pertandingan dimulai!
Selama pengalaman menonton sepak bola langsung ke stadion, ada satu pengalaman menarik yang pernah aku alami. Waktu itu pertandingan sudah memasuki istirahat babak pertama. Tiba-tiba dari pengeras suara stadion, terdengar pengumuman.
“Pengumuman bagi saudara …….. mohon untuk segera pulang ke rumah, dikarenakan ibunda meninggal dunia!”
Sayang sekali aku sudah lupa siapa nama yang disebut dalam pengumuman tersebut. Namun rasanya pengumuman itu terlalu kejam. Kalau aku sendiri yang mengalaminya, aku pasti akan langsung pingsan di lapangan. Histeris. Pengumuman itu kan bisa diubah redaksi kalimatnya, mungkin bisa dengan mengatakan ibunda kritis atau masuk RS atau bagaimanalah. Jangan langsung to the point begitu. Haduh…. Parah.
Berbagai pengalaman menarik inilah yang membuat aku mencintai dunia sepak bola. Bahkan aku sampai pernah berniat kursus wasit waktu itu. Tapi tak diizinkan oleh ibuku, hihihihi…. Baiklah buk, izin ibuk untuk aku boleh pergi menonton sepak bola saja sudah sangat luar biasa untuk anaknya yang bandel ini. Jadi aku nggak protes sama sekali waktu dilarang kursus wasit.
Kecintaanku bagi dunia sepak bola membuat aku bercita-cita menjadi wartawan sepak bola, meski akhirnya hanya aku tekuni selama kurang lebih dua tahun. Tapi itu sudah membuatku cukup puas. Sekarang, aku hanya menjadi penonton saja di dunia sepak bola. Tak lagi sibuk mengikuti berbagai isu dan berita mengenai sepak bola. Kapan-kapan akan kutulis pengalamanku sebagai jurnalis sepak bola deh. Tetap semangat!(*)

Selasa, 26 April 2016

Ahok Tanpa Embel-Embel



 HARUS saya akui, saya memang penggemar Ahok yang lumayan militan. Apapun berita soal Ahok selalu saya baca, hampir semua video mengenai dirinya di saluran You Tube, sudah saya tonton. Saya juga berhasil mengumpulkan 135 KTP untuk Ahok di lingkungan sekitar kantor saya. Jumlah itu akan bertambah karena saya masih on progress untuk pengumpulan KTP tahap kedua.
Usaha saya tak berhenti di situ. Saya juga selalu membagikan informasi dari Teman Ahok melalui akun Facebook saya. Saya juga sibuk mengompori bos-bos saya di kantor untuk membeli merchandise Ahok, saya sendiri juga sudah sampai mengeluarkan dana pribadi untuk membeli berbagai merchandise yang dijual Teman Ahok. Nanti kalau masa kampanye tiba, saya pasti rela mengeluarkan uang untuk menonton konser pendukung Ahok.
Paling tidak dengan usaha saya ini, saya berharap Ahok bisa kembali menjadi gubernur DKI Jakarta. Kalaupun tidak, menurut isu yang berembus, dia akan meminta kepada Jokowi untuk menjadi Kepala Bulog dan bercita-cita memberantas mafia beras! Semangat, pak!
Sungguh, saya yang tadinya benar-benar apolitik, kini serius mengikuti berbagai perkembangan dunia politik sekaligus intrik-intrik di dalamnya. Namun ada satu hal yang tak saya sukai di balik pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 mendatang. Apalagi kalau bukan isu agama dan SARA yang kerap menyerang Ahok?
Siapa juga yang meminta dilahirkan sebagai kaum Tionghoa? Tidak ada. Siapa yang meminta dilahirkan sebagai orang Kristen? Tidak ada. Tuhanlah yang mengatur di suku dan ras apa kita akan dilahirkan. Agama itu buatan manusia, bahkan Tuhan pun tak memiliki agama apapun. Kita sendiri yang sibuk berdebat mengenai masalah agama dan menganggap agama lain itu buruk.
Mengenai agama ini, saya sudah pernah protes kepada ibu saya. Mengapa saya harus memeluk agama yang sama dengan orang tua saya? Beruntung saya masih punya keyakinan yang dalam terhadap agama yang sudah saya anut sekarang. Tapi hal itu tak menutupi kemungkinan saya mempelajari agama-agama lain, karena sekarang saya sedang ingin sekali belajar tentang agama Buddha dan Islam.
Bahkan ada satu pertanyaan yang saya sesali hingga saat ini. Saat itu saya benar-benar tak paham mengenai masalah agama lain, lha wong agama saya sendiri pun kadang saya tak mengerti. Saya pernah bertanya begini kepada teman saya yang muslim. “Gimana sih rasanya satu agama dengan orang-orang yang malah mengatasnamakan agama sebagai alasan untuk melakukan bom bunuh diri atau membunuh orang lain?”
Sungguh, sampai sekarang saya menyesal. Saya tak ingat apa jawaban teman saya waktu itu. Tapi dia menjawabnya melalui perilakunya. Meski mengenakan hijab, dia selalu menjadi orang pertama yang marah-marah sewaktu saya malas pergi ke gereja. Saya dan teman saya itu memang waktu itu tinggal di dalam satu rumah susun di Batam.
“Aku yang harus sholat lima kali sehari aja enggak pernah ngeluh lho, mbak. Sampeyan yang cuma ke gereja seminggu sekali aja malesnya minta ampun!” Begitu omelannya setiap akhir pekan tiba. Aduh, daripada kena omelan dia terus-menerus, mending saya berangkat ke gereja, deh!
Itulah. Saya belajar toleransi agama dari satu teman saya yang luar biasa ini. Dia tak hanya berbicara mengenai toleransi. Dia juga mencontohkannya. Bahkan sampai sekarang, kami sudah seperti saudara, meski sekarang dia tinggal di Lamongan, Jawa Timur.
Saya pun mencoba meneruskan kebaikan teman saya itu, dengan selalu mengingatkan orang-orang di sekeliling saya untuk sholat maupun sholat Jumat, siapapun itu. Mungkin awalnya ada beberapa yang mengernyitkan dahi, namun saya tetap rutin melakukannya hingga saat ini. Saya juga berusaha menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat hari raya kepada semua teman saya yang berasal dari berbagai agama. Bagi saya, perbedaan itu sungguh indah…
Balik lagi ke Ahok. Semua juga sudah tahu kalau dia bersuku Tionghoa. Semua orang juga tahu kalau dia beragama Kristen. Saya mendukung Ahok bukan karena dia sesama non-muslim seperti saya. Saya hanya memandang Ahok sebagai sosok pekerja politik yang masih berada di jalur yang benar dibandingkan pelaku-pelaku politik lain yang masih sibuk berada dalam kubangan hitam.
Makanya saya langsung mengernyitkan dahi ketika ada beberapa orang sesama non-muslim yang sibuk mengutip ayat-ayat alkitab untuk mendukung Ahok. Bagi saya itu suatu hal yang sama sekali tak masuk akal. Saya jamin, Ahok juga tak akan suka jika ada orang mendukung dirinya hanya karena mereka satu agama maupun satu suku dengannya. Dia tak berjuang demi sukunya saja. Dia tak berjuang demi agamanya saja. Dia berjuang untuk seluruh warga DKI, baik yang suka atau tak suka kepadanya. Karena itu saya salut sekali dengan keputusan Teman Ahok yang melarang pengumpulan KTP di rumah-rumah ibadah, termasuk gereja. Itu luar biasa…
Saya juga pernah memberikan pengertian kepada teman saya sesama non-muslim yang pernah berkata begini, “Wah Ahok pasti menang di daerah Jakarta Barat, kan banyak kaum Tionghoa dan kaum non-muslim di sana.” Miris saya mendengarnya. Pola pikirnya sungguh SARA. Padahal sebagai non-muslim, pasti dia tak ingin diperlakukan secara SARA oleh rekan-rekan muslim, tapi malah dia sendiri yang berpikir SARA.Saya pikir dengan usia yang sudah jauh di atas saya bisa membuatnya lebih bijaksana dalam memandang sesuatu. Ternyata tidak. Saya pun mengajaknya untuk sekali lagi memandang Ahok sebagai sosok pekerja. Tanpa embel-embel apapun. Itu saja.
Agama dan politik adalah dua hal yang sama sekali tak bisa disatukan. Agama adalah alat kita untuk menuju kebaikan, menuju kepada Tuhan. Sementara dunia politik penuh dengan intrik, tipu daya, dan tipu muslihat, yang membuat pelakunya tak pernah berpikir tentang kebaikan, malah mungkin hanya kebaikan untuk dirinya sendiri. Semua berbicara atas nama kepentingan. Hari ini kawan, bisa jadi esok hari akan menjadi lawan. Kepentingan sekali lagi menjadi agenda utama.
Sudahlah, sekali lagi pandang Ahok sebagai sosok pekerja. Titik. Itu saja. Jangan lihat dia dari sukunya, jangan lihat dia dari agamanya. Kalau boleh mengutip kalimat Gus Mus, "Gusti Allah kok diajak kampanye. Kebangeten tenan, kurang ajare nemen banget!" Saya setuju sekali dengan kalimat ini. Sangat mencerahkan! Saya pernah bertemu dengan seorang teman yang militan mendukung Ahok karena ke-kristen-annya dan ke-Tionghoa-annya. Dia juga sibuk mengutip ayat-ayat kitab suci setiap hari di akun facebook-nya untuk mendukung Ahok.
 Hellooooowwwww…. Percuma mengutip ayat-ayat kitab suci kalau perilaku kita sehari-hari masih jauh dari harapan. Kita masih sibuk bersikukuh jika agama kitalah yang paling benar. Kita masih sibuk mengkafirkan orang lain. Kita masih sibuk menjelek-jelekkan orang lain. Kita masih sibuk bergosip mengenai orang lain atau bahkan menganggap diri kita paling benar.
Dan ketika negara lain sudah bikin roket ke ruang angkasa, sudah menciptakan robot-robot versi tercanggih, sudah bikin mobil terbang, kita masih saja sibuk berdebat mengenai suku, agama, dan ras. Helllooooooooooowwww….(*)