Sabtu, 16 April 2016

Saya Hanya Ingin Meninggal di Kampung Halaman... A Story About Kakek Junu




AWAL kisahku ini terjadi ketika aku bekerja menjadi jurnalis sebuah surat kabar yang terbit di Batam. Sebagai jurnalis, tentu aku harus siap melakukan apapun tugas yang diberikan editor setiap saat.
Dan begitu juga hari itu. Mas Irwan, editorku menyuruh untuk mencari seseorang yang sangat miskin untuk diberitakan. Saat itu memang sedang heboh berita mengenai Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang merupakan program Pemerintah untuk menolong kaum miskin. Mas Irwan menyuruhku mencari warga miskin yang tak mendapatkan BLT.
Mati aku. Tugas itu benar-benar membuatku mati kutu. Aku masih jurnalis baru, belum tahu apapun soal medan di Batam. Di mana aku harus mencari warga miskin itu? Akhirnya aku mengajak rekanku, Ferdy, yang sudah lebih lama tinggal di Batam untuk mencarinya bersama-sama.
Mengingat Ferdy merupakan warga Batam asal Flores, dia kemudian membawaku ke pemukiman orang Flores di Batam. Kami selusuri kampung itu untuk mencari warga yang benar-benar membutuhkan bantuan.
Satu per satu orang kami tanya. Hingga akhirnya muncullah nama Kakek Junu. Usianya sekitar 90 tahun. Dia tinggal sendirian di sebuah gubuk kecil yang sangat sederhana. Benar-benar sederhana. Aku pun segera masuk ke gubuknya. Begitu berada di dalam gubuk, mulutku rasanya terkunci.  Gubuk itu sama sekali tak layak huni. Atapnya yang dari plastik pun sudah berlubang di mana-mana. Belum lagi dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah rusak di semua sisi gubuk. Tak bisa kubayangkan kemana kakek harus berlindung di saat hujan deras menerpa.
Pandanganku pun mengelilingi gubuk itu. Ada satu yang tak kutemukan di sana. Fasilitas kamar mandi dan WC. Lalu bagaimana.....? Ah, pertanyaan itu rasanya cuma tenggelam di mulutku, sebelum akhirnya Pak RT menjawabnya.
            “Kakek Junu selalu menumpang mandi di rumah tetangga. Mereka juga yang bergiliran memberi makan kakek. Tapi ya itu, seadanya saja, soalnya mereka kan juga bukan orang berada,” kata Pak RT. “Yang paling sering, kami memberinya mie instan.”
            Apa? Kakek setua itu makan mie instan hampir tiap hari? Lalu dimana anak-anak yang seharusnya menjaganya? “Kakek Junu memang punya anak. Dulu kakek ke Batam juga untuk menyusul anaknya ini, karena kakek ingin serumah dengan Benny, anaknya. Tapi karena istri Benny enggan merawat kakek, mereka pun balik ke Flores tanpa mengajak kakek. Itu sudah terjadi beberapa tahun lalu. Sejak itu, kakek benar-benar sebatang kara di Batam,” ujar Pak RT lagi.
            Ah, aku benar-benar tak bisa membayangkan kakek setua itu harus hidup sendirian merantau di pulau yang sangat jauh dari kampung halamannya. Apalagi, kata Pak RT, kakek mencari nafkah dengan berjualan minyak gosok yang dibuatnya dari akar-akar pepohonan. “Katanya itu resep dari leluhurnya. Biasanya dengan membawa beberapa botol minyak gosok, kakek berjalan menuju Pasar Jodoh sana,” jelas Pak RT. Duh, gak kebayang deh jauhnya rute kakek harus berjalan dari Tanjung Sengkuang, tempat tinggalnya, hingga ke pasar. Jaraknya bisa sampai 20 kilometer. Kakek sungguh hebat!
            Tak lama setelah mengumpulkan data, aku langsung kembali ke kantor. Berita tentang kakek terbit keesokan harinya. Tak diduga, responnya sangat luar biasa. Mereka terenyuh ketika membaca berita yang aku tulis yang berjudul, “Saya hanya ingin meninggal di kampung halaman....”
            Sekretaris redaksi mulai kewalahan menerima telepon dari pembaca. Mereka ingin menyumbangkan berbagai fasilitas untuk Kakek Junu. Yang paling penting tentu saja adalah tiket pesawat untuk kembali pulang ke Flores.
            Nah, ini pula yang jadi beban buatku. Di usianya yang sudah mencapai 90 tahun, Kakek Junu sama sekali belum pernah naik pesawat. Apa jadinya kalau dia harus sendirian menempuh perjalanan dari Batam ke Flores? Bagaimana nanti kalau jantungnya nggak kuat karena pesawat mengalami turbulensi? Atau kalau dia harus kelamaan menunggu jadwal pesawat? Ah, kepanikan benar-benar melandaku.
            Aku harus memutar otak. Sembari meminta berbagai pendapat dari teman-temanku sekantor. Solusi pun ditemukan. Kakek diputuskan tetap sendirian menempuh perjalanan ke Flores tapi tetap dalam pantauan kami.

PERJALANAN PANJANG
            Sebuah surat pun kami tulis untuk manajemen maskapai penerbangan yang akan ditumpangi Kakek Junu. Dalam surat itu tertulis kalau kami membutuhkan bantuan maskapai untuk memberi perlakuan khusus kepada kakek, karena beliau sama sekali belum pernah naik pesawat. Apalagi, perjalanan dari Batam ke Flores harus ditempuh dengan tiga kali transit. Yakni dari Batam-Jakarta, Jakarta-Denpasar, dan Denpasar-Flores.
            Tapi, jadwal pesawat dari Denpasar ke Flores baru ada keesokan harinya. Aku langsung menghubungi Mama Besar. Mabes, begitu dia biasa kupanggil, adalah saudara tetanggaku di kampung halamanku di Jogja, yang sudah kuanggap keluarga sendiri. Mabes memiliki sebuah penginapan sederhana di Denpasar. Aku yakin Mabes tak akan keberatan menampung Kakek Junu untuk satu malam saja.
            Benar. Begitu aku hubungi Mabes, beliau tak keberatan menjemput dan menampung kakek di rumahnya. Aku pun memberikan ciri-ciri kakek supaya nanti Mabes mudah mengenalinya.
            Akhirnya hari itu tiba. Dadaku rasanya bergemuruh. Bisa nggak ya kakek sendirian menempuh perjalanan panjang itu? Suasana kantor pun sangat riuh menyambut hari itu. Mereka ikut gembira karena kakek bisa pulang ke kampung halamannya. Tak lama kemudian, Kakek Junu tiba di kantorku.
            Wah, aku dibuat pangling saat melihatnya. Kakek benar-benar berdandan rapi untuk kepulangannya! Ternyata itu hasil bantuan dari para tetangga di Tanjung Sengkuang yang ikut senang karena kakek bisa kembali ke kampung halamannya. Beberapa tas tampak dibawa kakek, katanya untuk oleh-oleh saudara-saudaranya di Flores. Semua isinya juga diberikan para tetangga.
            Aku pun bersemangat mengantar kakek ke bandara Batam bersama Ferdy dan beberapa teman lain. Setibanya di bandara, banyak orang mengeluk-elukan kakek. Mereka memang tahu kabar kepulangan kakek dari berita-berita yang aku tulis. Wah, Kakek Junu benar-benar jadi selebritis dadakan di Batam! Hehehehe...
            Dari sekian orang yang mengerumuni kakek, ada satu orang yang membuatku terharu. Aku lupa siapa namanya. Dia hanyalah seorang petugas cleaning service bandara, tapi dia tetap ingin membantu kakek di tengah keterbatasannya sendiri. Dia mengulurkan uang Rp 20 ribu kepada kakek. Katanya itu untuk tambahan bekal kakek di kampung. Kakek pun dengan senang hati menerimanya.
            Ah, kepedulian terhadap Kakek Junu rupanya tak hanya menyentuh kaum berada saja. Semua kalangan benar-benar tersentuh dengan kisah kakek. Kakek yang hanya ingin menghembuskan nafas terakhirnya di kampung halaman tercintanya.
            “Terimakasih ya. Kakek tak tahu harus mengucapkan apa kepada kalian. Kalian sangat berjasa buat kakek. Kakek sekarang bisa lega, karena keinginan kakek tercapai. Kakek bisa meninggal dan dimakamkan di kampung halaman sendiri. Doa kakek untuk kalian semua ya?” kata kakek kepada kami dalam bahasa Flores yang diterjemahkan Ferdy. Dadaku bergemuruh, rasanya aku ingin menangis karena harus berpisah dengannya. Meski baru beberapa hari mengenal kakek, rasanya aku begitu mengenalnya. Ah, kapan lagi aku bisa bertemu kakek? Hanya Tuhan yang tahu. 
Kakek pun segera masuk pesawat. Tak lupa, surat kami berikan ke petugas. Di Jakarta, dia nanti akan ditemui Hanif,  rekan sejawatku sesama jurnalis, supaya kakek tak kebingungan saat transit.
           
SEMPAT PANIK
Sekitar dua jam setelah kakek pergi meninggalkan Batam, aku langsung menghubungi Hanif untuk mengecek keberadaan kakek. Kepanikan mulai melandaku, ketika Hanif mengaku tak bisa menemukan kakek di bandara. Aduh, gimana ini?
            Otak kembali kuputar. Akhirnya aku langsung menelepon pihak maskapai. Untung petugasnya membenarkan kalau Kakek Junu sedang berada di ruang transit untuk menunggu jadwal pesawat ke Denpasar. Ahhhhhhh, lega rasanya.
            Begitu pula ketika tiba di Denpasar. Aku langsung menghubungi Mabes, untuk mengecek keberadaan kakek. Begitu mendengar suara kakek di ponsel Mabes, rasanya bebanku semakin berkurang. Kepanikanku semakin menipis. Kakek sudah berada di tangan yang benar.
            Mabes pula yang mengantar kakek ke bandara untuk menuju Flores keesokan harinya. Beberapa jam kemudian, Ferdy menghubungi saudaranya di Flores yang menjemput kakek langsung di bandara. Lewat kemampuan bahasa Indonesianya yang terbatas, kakek mengatakan kalau dia sudah sampai di kampung halamannya.
            Tangis bahagia pun menetes di pipiku. Rasanya menyenangkan! Melegakan! Kakek berhasil menjalankan misi perjalanan panjangnya! Aku berhasil mengantar kakek menuju kampung halamannya tercinta dengan bantuan teman-temanku. Kendati kami harus terus-menerus senam jantung, mengingat itu merupakan pengalaman pertama kakek naik pesawat di usianya yang sudah sangat lanjut.
            Sekarang, aku tak tahu kabar kakek. Apakah dia masih hidup atau tidak. Terakhir aku dengar kabar dari Ferdy pada 2009 lalu, kalau kakek masih hidup dan bahagia tinggal di sebuah desa di Ende, Flores. Apapun, itu, kalaupun kakek sudah dipanggil Tuhan sekarang, dan aku tak sempat bertemu dengannya, paling tidak dia sudah mencapai cita-citanya. Meninggal di kampung halamannya... God Bless You, Kakek Junu.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar