AWAL kisahku ini
terjadi ketika aku bekerja menjadi jurnalis sebuah surat kabar yang terbit di
Batam. Sebagai jurnalis, tentu aku harus siap melakukan apapun tugas yang
diberikan editor setiap saat.
Dan begitu juga
hari itu. Mas Irwan, editorku menyuruh untuk mencari seseorang yang sangat
miskin untuk diberitakan. Saat itu memang sedang heboh berita mengenai Bantuan
Langsung Tunai (BLT) yang merupakan program Pemerintah untuk menolong kaum
miskin. Mas Irwan menyuruhku mencari warga miskin yang tak mendapatkan BLT.
Mati aku. Tugas itu
benar-benar membuatku mati kutu. Aku masih jurnalis baru, belum tahu apapun
soal medan di Batam. Di mana aku harus mencari warga miskin itu? Akhirnya aku
mengajak rekanku, Ferdy, yang sudah lebih lama tinggal di Batam untuk
mencarinya bersama-sama.
Mengingat Ferdy
merupakan warga Batam asal Flores, dia kemudian membawaku ke pemukiman orang
Flores di Batam. Kami selusuri kampung itu untuk mencari warga yang benar-benar
membutuhkan bantuan.
Satu per satu orang
kami tanya. Hingga akhirnya muncullah nama Kakek Junu. Usianya sekitar 90
tahun. Dia tinggal sendirian di sebuah gubuk kecil yang sangat sederhana.
Benar-benar sederhana. Aku pun segera masuk ke gubuknya. Begitu berada di dalam
gubuk, mulutku rasanya terkunci. Gubuk
itu sama sekali tak layak huni. Atapnya yang dari plastik pun sudah berlubang
di mana-mana. Belum lagi dinding yang terbuat dari anyaman bambu yang sudah
rusak di semua sisi gubuk. Tak bisa kubayangkan kemana kakek harus berlindung
di saat hujan deras menerpa.
Pandanganku pun
mengelilingi gubuk itu. Ada satu yang tak kutemukan di sana. Fasilitas kamar
mandi dan WC. Lalu bagaimana.....? Ah, pertanyaan itu rasanya cuma tenggelam di
mulutku, sebelum akhirnya Pak RT menjawabnya.
“Kakek
Junu selalu menumpang mandi di rumah tetangga. Mereka juga yang bergiliran
memberi makan kakek. Tapi ya itu, seadanya saja, soalnya mereka kan juga bukan
orang berada,” kata Pak RT. “Yang paling sering, kami memberinya mie instan.”
Apa?
Kakek setua itu makan mie instan hampir tiap hari? Lalu dimana anak-anak yang
seharusnya menjaganya? “Kakek Junu memang punya anak. Dulu kakek ke Batam juga
untuk menyusul anaknya ini, karena kakek ingin serumah dengan Benny, anaknya.
Tapi karena istri Benny enggan merawat kakek, mereka pun balik ke Flores tanpa
mengajak kakek. Itu sudah terjadi beberapa tahun lalu. Sejak itu, kakek
benar-benar sebatang kara di Batam,” ujar Pak RT lagi.
Ah,
aku benar-benar tak bisa membayangkan kakek setua itu harus hidup sendirian
merantau di pulau yang sangat jauh dari kampung halamannya. Apalagi, kata Pak
RT, kakek mencari nafkah dengan berjualan minyak gosok yang dibuatnya dari
akar-akar pepohonan. “Katanya itu resep dari leluhurnya. Biasanya dengan
membawa beberapa botol minyak gosok, kakek berjalan menuju Pasar Jodoh sana,” jelas
Pak RT. Duh, gak kebayang deh jauhnya rute kakek harus berjalan dari Tanjung
Sengkuang, tempat tinggalnya, hingga ke pasar. Jaraknya bisa sampai 20
kilometer. Kakek sungguh hebat!
Tak
lama setelah mengumpulkan data, aku langsung kembali ke kantor. Berita tentang
kakek terbit keesokan harinya. Tak diduga, responnya sangat luar biasa. Mereka
terenyuh ketika membaca berita yang aku tulis yang berjudul, “Saya hanya ingin
meninggal di kampung halaman....”
Sekretaris
redaksi mulai kewalahan menerima telepon dari pembaca. Mereka ingin
menyumbangkan berbagai fasilitas untuk Kakek Junu. Yang paling penting tentu
saja adalah tiket pesawat untuk kembali pulang ke Flores.
Nah,
ini pula yang jadi beban buatku. Di usianya yang sudah mencapai 90 tahun, Kakek
Junu sama sekali belum pernah naik pesawat. Apa jadinya kalau dia harus
sendirian menempuh perjalanan dari Batam ke Flores? Bagaimana nanti kalau
jantungnya nggak kuat karena pesawat mengalami turbulensi? Atau kalau dia harus
kelamaan menunggu jadwal pesawat? Ah, kepanikan benar-benar melandaku.
Aku
harus memutar otak. Sembari meminta berbagai pendapat dari teman-temanku
sekantor. Solusi pun ditemukan. Kakek diputuskan tetap sendirian menempuh
perjalanan ke Flores tapi tetap dalam pantauan kami.
PERJALANAN
PANJANG
Sebuah
surat pun kami tulis untuk manajemen maskapai penerbangan yang akan ditumpangi
Kakek Junu. Dalam surat itu tertulis kalau kami membutuhkan bantuan maskapai
untuk memberi perlakuan khusus kepada kakek, karena beliau sama sekali belum
pernah naik pesawat. Apalagi, perjalanan dari Batam ke Flores harus ditempuh
dengan tiga kali transit. Yakni dari Batam-Jakarta, Jakarta-Denpasar, dan
Denpasar-Flores.
Tapi,
jadwal pesawat dari Denpasar ke Flores baru ada keesokan harinya. Aku langsung
menghubungi Mama Besar. Mabes, begitu dia biasa kupanggil, adalah saudara
tetanggaku di kampung halamanku di Jogja, yang sudah kuanggap keluarga sendiri.
Mabes memiliki sebuah penginapan sederhana di Denpasar. Aku yakin Mabes tak
akan keberatan menampung Kakek Junu untuk satu malam saja.
Benar.
Begitu aku hubungi Mabes, beliau tak keberatan menjemput dan menampung kakek di
rumahnya. Aku pun memberikan ciri-ciri kakek supaya nanti Mabes mudah
mengenalinya.
Akhirnya
hari itu tiba. Dadaku rasanya bergemuruh. Bisa nggak ya kakek sendirian
menempuh perjalanan panjang itu? Suasana kantor pun sangat riuh menyambut hari
itu. Mereka ikut gembira karena kakek bisa pulang ke kampung halamannya. Tak
lama kemudian, Kakek Junu tiba di kantorku.
Wah,
aku dibuat pangling saat melihatnya. Kakek benar-benar berdandan rapi untuk
kepulangannya! Ternyata itu hasil bantuan dari para tetangga di Tanjung
Sengkuang yang ikut senang karena kakek bisa kembali ke kampung halamannya.
Beberapa tas tampak dibawa kakek, katanya untuk oleh-oleh saudara-saudaranya di
Flores. Semua isinya juga diberikan para tetangga.
Aku
pun bersemangat mengantar kakek ke bandara Batam bersama Ferdy dan beberapa
teman lain. Setibanya di bandara, banyak orang mengeluk-elukan kakek. Mereka
memang tahu kabar kepulangan kakek dari berita-berita yang aku tulis. Wah,
Kakek Junu benar-benar jadi selebritis dadakan di Batam! Hehehehe...
Dari
sekian orang yang mengerumuni kakek, ada satu orang yang membuatku terharu. Aku
lupa siapa namanya. Dia hanyalah seorang petugas cleaning service bandara, tapi dia tetap ingin membantu kakek di
tengah keterbatasannya sendiri. Dia mengulurkan uang Rp 20 ribu kepada kakek.
Katanya itu untuk tambahan bekal kakek di kampung. Kakek pun dengan senang hati
menerimanya.
Ah,
kepedulian terhadap Kakek Junu rupanya tak hanya menyentuh kaum berada saja.
Semua kalangan benar-benar tersentuh dengan kisah kakek. Kakek yang hanya ingin
menghembuskan nafas terakhirnya di kampung halaman tercintanya.
“Terimakasih
ya. Kakek tak tahu harus mengucapkan apa kepada kalian. Kalian sangat berjasa
buat kakek. Kakek sekarang bisa lega, karena keinginan kakek tercapai. Kakek
bisa meninggal dan dimakamkan di kampung halaman sendiri. Doa kakek untuk
kalian semua ya?” kata kakek kepada kami dalam bahasa Flores yang diterjemahkan
Ferdy. Dadaku bergemuruh, rasanya aku ingin menangis karena harus berpisah
dengannya. Meski baru beberapa hari mengenal kakek, rasanya aku begitu
mengenalnya. Ah, kapan lagi aku bisa bertemu kakek? Hanya Tuhan yang tahu.
Kakek pun segera
masuk pesawat. Tak lupa, surat kami berikan ke petugas. Di Jakarta, dia nanti
akan ditemui Hanif, rekan sejawatku
sesama jurnalis, supaya kakek tak kebingungan saat transit.
SEMPAT
PANIK
Sekitar dua jam
setelah kakek pergi meninggalkan Batam, aku langsung menghubungi Hanif untuk
mengecek keberadaan kakek. Kepanikan mulai melandaku, ketika Hanif mengaku tak
bisa menemukan kakek di bandara. Aduh, gimana ini?
Otak
kembali kuputar. Akhirnya aku langsung menelepon pihak maskapai. Untung
petugasnya membenarkan kalau Kakek Junu sedang berada di ruang transit untuk
menunggu jadwal pesawat ke Denpasar. Ahhhhhhh, lega rasanya.
Begitu
pula ketika tiba di Denpasar. Aku langsung menghubungi Mabes, untuk mengecek
keberadaan kakek. Begitu mendengar suara kakek di ponsel Mabes, rasanya bebanku
semakin berkurang. Kepanikanku semakin menipis. Kakek sudah berada di tangan
yang benar.
Mabes
pula yang mengantar kakek ke bandara untuk menuju Flores keesokan harinya.
Beberapa jam kemudian, Ferdy menghubungi saudaranya di Flores yang menjemput
kakek langsung di bandara. Lewat kemampuan bahasa Indonesianya yang terbatas,
kakek mengatakan kalau dia sudah sampai di kampung halamannya.
Tangis
bahagia pun menetes di pipiku. Rasanya menyenangkan! Melegakan! Kakek berhasil
menjalankan misi perjalanan panjangnya! Aku berhasil mengantar kakek menuju
kampung halamannya tercinta dengan bantuan teman-temanku. Kendati kami harus
terus-menerus senam jantung, mengingat itu merupakan pengalaman pertama kakek
naik pesawat di usianya yang sudah sangat lanjut.
Sekarang,
aku tak tahu kabar kakek. Apakah dia masih hidup atau tidak. Terakhir aku
dengar kabar dari Ferdy pada 2009 lalu, kalau kakek masih hidup dan bahagia
tinggal di sebuah desa di Ende, Flores. Apapun, itu, kalaupun kakek sudah
dipanggil Tuhan sekarang, dan aku tak sempat bertemu dengannya, paling tidak
dia sudah mencapai cita-citanya. Meninggal di kampung halamannya... God Bless
You, Kakek Junu.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar