Saya dan sebagian rombongan Torch Relay SEA Games 2011 |
SEBENARNYA kisah ini sudah terjadi hampir lima tahun lalu. Namun entah mengapa saat itu aku tidak menuliskan pengalaman berharga ini. Oke, baiklah, sekarang aku akan coba menuliskannya sesuai ingatanku sajalah.
Keliling Indonesia?
Sebenarnya cita-cita itu sempat terbersit di benakku ketika aku berprofesi
sebagai jurnalis. Namun, aku lebih sering berkutat di Indonesia bagian barat
atau ke kawasan Asia Tenggara. Aku ingin sekali menginjakkan kakiku di kawasan
Indonesia Timur, selama ini wilayah paling timur yang pernah aku jejaki baru
Bali saja. Bali itu pun belum masuk kawasan Indonesia Timur.
Lalu, cita-cita itu
tiba-tiba terwujud ketika aku didapuk menjadi panitia Torch Relay SEA Games 26 yang berlangsung di Jakarta dan Palembang
pada 2011 lalu. Hampir sebulan, aku mesti keliling ke sembilan kota di Indonesia untuk bergabung
dengan panitia pembawa obor atau torch.
Aku harus menuliskan suka dan duka yang kami alami sepanjang perjalanan
tersebut, untuk kemudian semua tulisan dan naskah tersebut dibacakan di agenda
pembukaan SEA Games 2011 di Palembang.
Aku mengawali
perjalananku pada 22 Oktober 2011 dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Saat
itu semua serba simpang-siur. Sehari sebelumnya, aku belum tahu apakah aku jadi
berangkat atau tidak. Eheeeemm,
maklum aku berurusan dengan birokrasi pemerintah yang ruwetnya minta ampun.
Akhirnya setelah
diputuskan berangkat, aku packing
buru-buru. Sebuah koper besar aku bawa. Aku akan keliling Indonesia ke sembilan
kota selama 22 hari dan harus berpindah kota setiap dua-tiga hari sekali. Aku
tak yakin apakah bisa mencuci pakaianku dengan waktu sependek itu untuk di
setiap kota, jadi aku putuskan untuk membawa sebuah koper besar.
Di bandara
Soekarno-Hatta, aku berkenalan dengan orang-orang yang nantinya akan menjadi
rombonganku. Satu per satu aku hapalkan namanya. Iki, Galih, Benny, Reza, dan
beberapa orang lain. Total berjumlah 16 orang. Namun satu hal yang aku kaget di
sesi perkenalan itu, aku jadi manusia paling cantik sendiri dalam rombongan.
Ya, aku perempuan sendiri di rombongan itu.
Baiklah. Ini bukan sebuah
masalah besar buatku, mengingat latar belakangku sebagai jurnalis. Mereka pun
juga tampak santai menghadapiku, meski berulangkali bertanya apakah aku bisa
menempuh perjalanan 22 hari kelilling Indonesia tersebut.
Ah
sudahlah, waktu yang akan membuktikannya. Oh ya, dalam rombongan juga terdapat
seorang warga negara Republik Rakyat Tiongkok. Namanya Wang kalau tak salah.
Dia ada di sana sebagai teknisi tempat obor yang akan membawa api abadi itu
keliling Nusantara. Kalau terjadi sesuatu dengan tempat obornya, maka Wang yang
akan memperbaikinya.
Hanya saja, satu hal yang
bikin susah. Si Wang ini sama sekali tak bisa berbahasa Inggris, sementara dari
seluruh rombongan, tak ada yang bisa berbahasa Mandarin. Aku memang pernah kursus
Bahasa Mandarin selama tiga bulan, tapi bekal itu rasanya tak cukup untuk bisa
ber-cas cis cus dengan Wang. Ujungnya
sudah bisa ditebak, bahasa Tarzan akan menjadi bahasa pengantar antara Wang dan
kami semua. Hahahahahaha….
API
ABADI
Kita lupakan Wang untuk
sejenak. Kota pertama yang kami tuju adalah Semarang. Dari Semarang, kami
menuju ke Grobogan, tempat pengambilan api abadi di Mrapen. Api abadi itu akan
kami bawa keliling Indonesia selama 22 hari ke depan untuk kemudian apinya dibawa
ke Palembang pada saat pembukaan SEA Games XVI. Di Semarang, berhubung menghemat
anggaran, kami menggunakan mobil double
cabin yang bisa digunakan untuk membawa penumpang dan barang-barang
sekaligus.
Mengingat jumlah rombongan
kami yang cukup banyak, maka mau tak mau aku duduk di bagian belakang double cabin tersebut. Meski sebagian
besar anggota rombongan itu mempersilakan aku duduk di bagian dalam karena cewek sendiri dalam rombongan, tapi aku menggelengkan kepala. Rasanya duduk di
bagian belakang double cabin lebih
seru!
Kendati duduk di bagian
belakang, aku tak merasakan pegal, mungkin karena mobilnya bagus kali ya….
Setelah mengambil api abadi, kami pun lekas kembali ke Semarang. Api abadi itu
kami letakkan ke dalam sebuah wadah yang memungkinkan kami untuk tetap diizinkan
naik pesawat keliling Indonesia.
Dari Semarang kami menuju
ke Borobudur di hari berikutnya. Kali ini panitia menyelenggarakan sebuah pesta
meriah menyambut obor tersebut. Artis-artis ibukota didatangkan. Aku ingat
sekali tanggalnya, 23 Oktober 2011, karena pas malam itu tepat klub yang aku
benci, Manchester United, kalah telak 1-6 usai melawan tetangganya yang selama
ini dianggap berisik, Manchester City.
Meski tak ada
hubungannya, apalagi aku tak bisa menontonnya, yang pasti kemenangan itu
membuat aku lebih bersemangat melakoni perjalanan aku 21 hari ke depan.
Mengenai ketidaksukaan aku terhadap Manchester United, mungkin suatu waktu akan
aku ceritakan dalam tulisan tersendiri.
Dari Borobudur, aku
menuju ke kota tercinta, Yogyakarta. Namun di kampung halamanku ini, aku
tidak bisa berlama-lama melepas rindu dengan ibuk, karena disibukkan dengan jadwal pawai obor yang melewati
jalan Malioboro.
Dalam pawai tersebut, aku
masuk ke mobil double cabin lagi, dan
menulis apa saja yang dapat aku lihat dengan mata aku. Sedikit mengasyikkan,
karena aku merasa seperti pejabat yang dieluk-elukkan warganya, mengingat warga yang menyambut kami sepanjang rute pawai…. Hahahahahaha….
Dari Jogja, seharusnya
kami langsung menuju ke Denpasar untuk menuju ke Kupang. Namun, sekali
lagi, karena mesti berurusan dengan kaum birokrat, kami terpaksa kembali ke
Semarang karena Pemerintah Kota ini tiba-tiba meminta kami untuk melakukan
pawai keliling Semarang.
Dari Semarang seharusnya
kami bisa langsung menuju ke Denpasar, usai pawai. Namun, sekali lagi kami
berbenturan dengan birokrasi. Maskapai penerbangan yang mensponsori perjalanan
kami hanya membuka rute Yogyakarta-Denpasar dan tidak melayani rute
Semarang-Denpasar. Alhasil kami pun kembali ke Yogyakarta untuk kemudian menuju
ke Denpasar, Bali.
Lelah, letih dan lesu
sudah mulai kami rasakan. Namun kami baru mencapai dua kota dari sembilan kota
yang sudah diagendakan. Baiklah, tenaga harus kami kumpulkan kembali supaya
bisa melakoni semua agenda perjalanan ini.
HOTEL
BAGUS?
Di Bali, sebenarnya kami
tak melakukan pawai. Kami harus segera menuju ke Kupang, Nusa Tenggara Timur
yang hanya bisa dicapai melalui Denpasar dan tidak bisa langsung terbang dari
Yogyakarta. Setelah check-out dari
sebuah hotel di kawasan Kuta, kami menuju ke Kupang.
Di kota ini, kami
langsung menuju ke Hotel Kristal, yang katanya hotel paling bagus di kota itu. Noted then. Sebenarnya aku masih belum
yakin kriteria bagus di hotel itu apakah sama dengan yang ada di benakku.
Pas aku masuk ke hotel, aku
hanya mengangguk-angguk melihat kondisi di dalamnya. Bayangan aku tentang hotel bagus agak kabur setelah
masuk hotel tersebut. Tapi aku berusaha memakluminya, mengingat Kupang adalah
sebuah kota kecil. Namun saat waktu mandi tiba, aku pun benar-benar kehilangan
kriteria hotel bagus di benakku.
Aku harus melepas
kacamata berminus empat ini saat hendak mandi tentunya. Hal ini membuat
pandanganku kabur tentu saja. Jadi aku tidak melihat selang shower yang bocor di atas bath tub. Alhasil ketika aku memutar
kran, airnya langsung muncrat ke wajah. Tobaaaaaaaaaaaaatttt….!
Buyar sudah semua bayangan aku tentang hotel bagus! Haha!
Namun kunjunganku ke
Kupang kali itu bisa dibilang istimewa. Karena aku punya kesempatan berkunjung
ke rumah kakak angkatku yang kebetulan berjodoh dengan wanita asal Larantuka.
Kunjunganku pun disambut hangat oleh istri kakak angkat aku. Ini namanya
silaturahmi keluarga gratisan, karena semua dibayari, hihihihihihi….
Oh ya, satu pengalaman
menarik aku selama di Kupang. Aku dan rombongan berkesempatan mendatangi kantor
Gubernur NTT. Yang bikin aku kaget adalah, kantor gubernur itu terakhir kali
diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1987, dan saat itu sudah 2011. Walaaaahhh….
Bisa dibayangkan betapa tuanya gedung tersebut….
Oke, dari Kupang aku
kembali ke Denpasar. Di kota ini aku mulai pusing berganti baju karena hampir
selama satu minggu perjalanan, aku sama sekali tak punya kesempatan untuk me-laundry baju, mengingat aku harus pindah
dari hotel ke hotel dan naik-turun pesawat setiap dua-tiga hari sekali.
Beruntung aku memiliki
seorang sahabat yang tinggal di Pulau Dewata tersebut. Dia bersedia membantuku
me-laundry baju-baju dan
mengirimkannya kembali kepadaku. Aku pun berhitung, kemana kota yang akan kutuju
selama empat hari ke depan. Jadi aku akan bertemu lagi dengan laundry aku yang akan dikirimkan oleh
sahabat aku tersebut.
Urusan laundry pun beres. Dari Denpasar, aku
harus menuju ke Jayapura, Papua. Nah, ini perjalanan yang sedikit menegangkan
buatku. Aku belum pernah menginjakkan kaki ke Papua. Menegangkan karena
mengingat kondisi di sana yang kadang tidak kondusif.
PESAWAT DINIHARI
Yang lebih seru, aku
harus berangkat dari Denpasar pukul 02.00 WITA. Alhasil dengan mata setengah
terpejam, kami menuju ke Bandara I Gusti Ngurah Rai. Sambil menunggu panggilan boarding, aku pun terlelap di kursi
bandara. Sudah bisa ditebak aku menjadi sasaran foto iseng akibat tidur di
bandara. Hadeh….
Untung saja, meski tidur,
aku masih bisa mendengar panggilan boarding
tepat pada pukul 01.45 WITA. Masih dengan mata setengah terpejam, aku berjalan
lunglai ke pesawat dan hanya punya satu cita-cita di dalam pesawat. Tidur!
Sinar matahari pun
perlahan muncul ketika pesawat mendarat di Timika untuk menurunkan beberapa
penumpang sebelum melanjutkan perjalanan ke Jayapura. Tak lama setelah transit,
pesawat pun kembali melanjutkan perjalanan ke Jayapura.
Aku baru hendak
melanjutkan tidur lagi ketika pramugari mencoba membangunkanku untuk sarapan.
Aduh, untuk kali ini aku memilih
melanjutkan tidur daripada sarapan deh.
Suer! Tapi sepertinya pramugari itu tak juga menyerah, dia masih tetap
berkeliling di sekitar area tempat dudukku untuk tetap mencoba membangunkanku
dan rombongan.
Akhirnya dengan mata masih
sangat mengantuk, aku pun sarapan. Tak lama setelah sarapan, kami pun tiba di
Jayapura. Dari dalam pesawat sudah terdengar suara alunan musik tradisional
Papua. Aku celingak-celinguk mencari sumber suara, kupikir itu dari suara
musik yang diputar dalam pesawat.
Eh
tapi nggak lho…. Sekeluarnya aku dari
pesawat, sekelompok penari tradisional pria asal Papua sudah menari menyambut
kami. Wow, rasanya luar biasa.
Rasanya jerih payah kami selama perjalanan dibayar lunas oleh penyambutan yang
luar biasa ini.
Setelah melalui berbagai
upacara penyambutan di Bandara Sentani, aku dan rombongan pun langsung menuju
ke hotel. Catat, saat mengikuti upacara penyambutan ini, kami serombongan belum
ada yang mandi, hihihihihi….
Satu hal yang lupa aku ceritakan
di atas. Mengingat jumlah rombongan kami yang genap, dan aku perempuan sendiri,
akhirnya atas nama penghematan budget,
aku pun berada sekamar dengan salah satu kameramen. Namanya Iki, yang tentu
saja berjenis kelamin laki-laki. Aku pun baru pertama kali itu berkenalan
dengan Iki saat kami bertemu di Bandara Soetta saat awal perjalanan.
Untung, berada sekamar
dengan lawan jenis dalam urusan pekerjaan maupun tidak sama sekali bukan hal asing bagi aku. Selama aku
menjadi jurnalis, aku sudah berkali-kali melakukannya. Begitu pula saat aku melakukan
backpacker-an ke luar negeri. Setelah
lelah berjalan seharian keliling negara tersebut, rasanya hanya lelah yang
melanda dan tak lagi berpikir untuk merasa canggung tidur sekamar dengan lawan
jenis. Saat kasur sudah menyambut, tubuh ini pun sudah langsung ambil posisi
tidur. Lelap! Dan yang penting, hemat!
Berada sekamar dengan Iki
selama 22 hari pun tak membuat aku canggung. Semua berjalan biasa saja. Lucunya
ketika kami berada di Samarinda, aku ternyata mendapatkan kamar sendiri. Bonus
katanya. Tapi aku malah enggan tidur sendirian. Aku pun membawa bed cover kamarku untuk pindah ke
kamar salah satu teman, dan tidur di bawah beralaskan bed cover di kamar tersebut. Kamarku seram soalnya! Hahaha….
Di Jayapura, satu menu
yang wajib kami cicipi adalah papeda. Sumpah, aku belum pernah makan makanan
ini sebelumnya. Akhirnya kami dibawa oleh salah satu atlet cabang atletik asal
Papua, untuk makan Papeda di sebuah restoran yang terletak di pinggir danau.
Awalnya aku ragu-ragu
untuk memakannya mengingat bentuk papeda yang seperti lem. Aku lebih memilih
menyantap woku-woku, kuah yang dimakan bersama papeda. Tapi karena teman-temanku
terlihat lahap makan papeda, maka aku pun ikut menyantapnya.
Rasanya aneh pada
awalnya, namun lama-lama aku menikmatinya juga. Meski tidak cocok dengan lidah
Jawaku, paling tidak pengalaman makan papeda menjadi salah satu pengalaman
menarik selama berada di tanah Papua.
Satu lagi pengalaman
menarikku adalah, perbedaan yang mencolok antara warga kelas menengah ke atas
dan bawah. Selama di Jayapura, aku menginap di hotel Aston Jayapura yang
terletak di sekitar kawasan kumuh di Jayapura. Dari kamar di lantai delapan
tempat aku menginap, aku bisa melihat pemukiman kumuh di sekitaran hotel.
Sungguh, pemandangan yang lumayan ironis, mengingat betapa kayanya tanah Papua.
Akhirnya, tugasku di
Jayapura sudah selesai, aku dan rombongan pun berangkat ke bandara untuk menuju
ke Makassar, Sulawesi Selatan. Sesampai di bandara Sentani, aku sedikit roaming dengan kondisi ruang
keberangkatan di sana. Pasalnya, banyak papan peringatan yang bertuliskan,
“Dilarang Makan Pinang.” Mungkin ludah yang dibuang setelah makan pinang akan
membuat bandara terlihat kumuh ya. Mungkin
saja lhoooooooooo….
BANYAK
TEMAN
Dari Jayapura, kami tiba
di Makassar. Di kota ini, kami tinggal di sebuah hotel yang terletak dekat
dengan Pantai Losari. Sangat menyenangkan! Di kota ini pula, aku bersua kembali
dengan seorang rekan lamaku selama menjadi jurnalis dulu. Wah, reunian
gratis! Horeeeeh!
Mengenai pertemuanku
dengan teman-teman di setiap kota ini, aku punya satu pengalaman menarik. Di
setiap kota yang kami datangi, mulai dari Yogyakarta, Semarang, Denpasar,
Kupang, Jayapura, Makassar, Balikpapan, Samarinda, sampai ke Palembang, aku
selalu memiliki teman atau kenalan untuk kutemui. Sampai akhirnya salah satu teman
rombonganku menyeletuk, “Ada nggak
sih kota di mana kamu itu nggak punya
teman, Rur?” Aku hanya tertawa mendengarnya. Banyak teman kan banyak rezeki yaaaa….????
Dari Makassar, kami
melanjutkan perjalanan kembali ke Jakarta untuk kemudian menuju ke Palembang.
Saat tiba kembali di Bandara Soetta, aku celingukan
mencari kendaraan penjemput. Wah, double
cabin lagi? Baiklah, aku pun segera naik di bagian belakang, dan menikmati
perjalanan dari Bandara Soetta hingga Jakarta Pusat dengan naik di bagian
belakang mobil double cabin. Seru!
Di Jakarta, kami sempat
menginap dua malam, mengingat kami harus melakukan pawai obor di ibukota
tercinta ini. Tak lama setelah pawai usai, kami langsung menuju ke Tanjung
Priok. Tanjung Priok? Iya. Kalau biasanya kami menempuh perjalanan antarkota
dengan menggunakan pesawat, kali ini kami menggunakan kapal laut untuk menuju
ke Palembang. Wah, menyenangkan!
Kapal itu disumbang oleh
salah satu konglomerat ternama di Indonesia. Kapal ini memiliki puluhan kamar
dan barak sebagai tempat menginap kami. Namun sebelum penumpang naik ke kapal,
mobil-mobil yang akan kami gunakan nanti di Palembang harus terlebih dahulu
naik ke kapal. Mobil-mobil itu pun harus diangkat melalui fork lift besar supaya bisa naik ke kapal.
Sembari menunggu, aku
kembali nongkrong dengan teman-teman di pelabuhan, sambil sesekali berkeliling
di sekitar pelabuhan. Aku pun melihat proses pengangkatan mobil-mobil tersebut
dari jauh. Tak lama ada dua bapak-bapak yang berdiri agak jauh dari sampingku.
Otomatis aku menoleh. Wajah salah satu bapak itu terasa familiar, pikirku,
hingga akhirnya aku pun kembali menoleh, untuk meyakinkan diri sendiri.
Wah, ternyata itu wajah
sang pemilik kapal. Salah satu konglomerat ternama Indonesia. Wah, jauh sekali dari
bayangan aku mengenai kriteria penampilan seorang konglomerat. Pakaiannya tampak
sederhana, begitu pula dengan telepon genggam yang dibawanya. Dia hanya
mengenakan sandal hitam dan kemeja sederhana, sambil sesekali memperhatikan
proses loading mobil. Tapi mungkin
telepon genggam sederhana yang dibawanya itu telepon satelit ya. Well, sekali lagi pepatah yang
mengatakan don’t judge people by
appearance berlaku ya….
Setelah proses loading mobil selesai, kami segera naik
ke kapal. Aku sudah lupa rasanya naik kapal. Pertama kali naik kapal dari
Merak-Bakauheni sekitar awal 2000-an. Mungkin sudah sekitar sepuluh tahun lebih
aku tak naik kapal. Oh ya, sebelum naik kapal tersebut, ponsel aku berbunyi. Dari
adik aku, dia yang tak suka berpetualang sibuk bertanya bagaimana aku mandi dan
tinggal di kapal nanti. Aku hanya tersenyum. Aku jawab, semua akan baik-baik
saja.
Aku mendapat jatah tidur
di barak. Ya, di barak. Bareng-bareng
dengan teman-teman rombonganku. Barak itu berkapasitas sampai 50 orang, jadi
selain rombonganku, masih ada beberapa panitia dan atlet peserta SEA Games lainnya.
Sesudah mandi dan
membersihkan diri, aku mencoba tidur di barak itu. Tapi mungkin sebutan barak
tidak terlalu sesuai ya, karena tempatnya bersih, rapi dan ber-AC. Hanya saja
saat aku merebahkan diri mencoba untuk tidur, terasa gelombang laut yang
menggoyang-goyang kapal. Jadi meski tidur, tubuhku selalu digerakkan laut.
Beruntung aku bisa tetap tertidur akibat lelah yang melanda. Sungguh pengalaman
yang berbeda.
Selama di kapal, semua
makanan terjamin. Pekerjaanku hanya makan dan tidur seharian, karena kapal
baru akan tiba di Palembang esok hari. Jadi hari itu aku isi dengan menulis
beberapa laporan kegiatan yang harus aku kerjakan.
KELILING
SUMSEL
Keesokan harinya, kapal
tiba di Palembang. Kami pun langsung menuju ke Lubuk Linggau. Karena kami tak
hanya akan berkeliling di Palembang saja. Kami akan menuju hampir ke semua kota
dan kabupaten di seluruh kawasan Provinsi Sumatera Selatan.
Lubuk Linggau menjadi
tujuan pertama. Di sini kami menginap di rumah dinas bupati. Yang namanya rumah
dinas, tentu jumlah kamarnya tak banyak. Dan entah mengapa, panitia setempat
mungkin tak mendapat informasi kalau ada aku dalam rombongan tersebut. Ada
seorang perempuan dalam rombongan pawai obor ini.
Jadi ketika aku bersuara,
saat mengajak salah satu teman mengobrol, seorang panitia langsung
terkejut. Dia merasa kaget karena sama sekali tak tahu ada perempuan di antara
rombongan. Ya aku maklum saja, mungkin karena penampilanku dengan jaket dan
topi membuat penampilanku sama seperti anggota rombongan lainnya.
Bapak panitia itu pun
merasa canggung karena kebingungan mempersiapkan kamar untuk aku sendiri.
Sebelum aku bersuara, ada salah satu teman yang menyeletuk, “Lha dia sudah bersama rombongan kami
sejak awal, pak. Dia lumayan tangguh lho pak, nggak pernah mengeluh selama perjalanan. Jadi nanti tolong siapkan
satu kasur saja untuk mbak ini, dia akan bergabung di salah satu kamar kami
saja.” Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Sudahlah, bagiku,
tempat tidur bukanlah masalah. Aku tak perlu berbagai fasilitas bagus hanya
supaya bisa tidur. Aku hanya butuh tempat yang memungkinkanku untuk
memejamkan mata, dan aku bisa tidur di mana saja. It’s not a big deal for me…
Setelah berkeliling ke
Kabupaten Lahat, Empat Lawang, Ogan Ilir, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering
Ilir, Pagar Alam, dan Prabumulih, akhirnya aku dan rombongan kembali ke
Palembang.
Sampai di kota pempek
ini, hari sudah malam. Kami kebingungan karena kami tak tahu mesti menginap di
mana. Semua hotel di Palembang penuh karena ada SEA Games. Bahkan kapal-kapal yang sudah disulap
menjadi hotel terapung guna menampung semua unsur yang terlibat dalam
perhelatan akbar ini pun juga sudah penuh.
Ah,
di mana kami akan menginap? Kami pun akhirnya terdampar di kantor Kodim
setempat. Mereka menawarkan kami untuk menginap di barak mereka. Aku bukannya
enggan tidur di barak, tapi aku, sekali lagi, punya teman di Palembang dan dia
mengundangku untuk menginap di rumahnya. Banyak teman banyak rezeki ternyata.
Hihihi…
Akhirnya aku memutuskan
meninggalkan rombongan dan menginap di rumah teman semasa SMP tersebut. Dua
malam aku menginap di rumahnya sebelum aku dan rombongan meninggalkan Palembang
dan kembali ke Jakarta.
Pengalaman demi
pengalaman yang menyertai perjalanan aku selama 22 hari berkeliling Indonesia
ini memberikan banyak pelajaran untukku. Satu hal yang pasti, perjalanan ini
tak pernah terlupakan!(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar