Rabu, 13 April 2016

22 Hari Keliling Indonesia


Saya dan sebagian rombongan Torch Relay SEA Games 2011

 SEBENARNYA kisah ini sudah terjadi hampir lima tahun lalu. Namun entah mengapa saat itu aku tidak menuliskan pengalaman berharga ini. Oke, baiklah, sekarang aku akan coba menuliskannya sesuai ingatanku sajalah.
Keliling Indonesia? Sebenarnya cita-cita itu sempat terbersit di benakku ketika aku berprofesi sebagai jurnalis. Namun, aku lebih sering berkutat di Indonesia bagian barat atau ke kawasan Asia Tenggara. Aku ingin sekali menginjakkan kakiku di kawasan Indonesia Timur, selama ini wilayah paling timur yang pernah aku jejaki baru Bali saja. Bali itu pun belum masuk kawasan Indonesia Timur.
Lalu, cita-cita itu tiba-tiba terwujud ketika aku didapuk menjadi panitia Torch Relay SEA Games 26 yang berlangsung di Jakarta dan Palembang pada 2011 lalu. Hampir sebulan, aku mesti keliling ke sembilan kota di Indonesia untuk bergabung dengan panitia pembawa obor atau torch. Aku harus menuliskan suka dan duka yang kami alami sepanjang perjalanan tersebut, untuk kemudian semua tulisan dan naskah tersebut dibacakan di agenda pembukaan SEA Games 2011 di Palembang.
Aku mengawali perjalananku pada 22 Oktober 2011 dari Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Saat itu semua serba simpang-siur. Sehari sebelumnya, aku belum tahu apakah aku jadi berangkat atau tidak. Eheeeemm, maklum aku berurusan dengan birokrasi pemerintah yang ruwetnya minta ampun.
Akhirnya setelah diputuskan berangkat, aku packing buru-buru. Sebuah koper besar aku bawa. Aku akan keliling Indonesia ke sembilan kota selama 22 hari dan harus berpindah kota setiap dua-tiga hari sekali. Aku tak yakin apakah bisa mencuci pakaianku dengan waktu sependek itu untuk di setiap kota, jadi aku putuskan untuk membawa sebuah koper besar.
Di bandara Soekarno-Hatta, aku berkenalan dengan orang-orang yang nantinya akan menjadi rombonganku. Satu per satu aku hapalkan namanya. Iki, Galih, Benny, Reza, dan beberapa orang lain. Total berjumlah 16 orang. Namun satu hal yang aku kaget di sesi perkenalan itu, aku jadi manusia paling cantik sendiri dalam rombongan. Ya, aku perempuan sendiri di rombongan itu.
Baiklah. Ini bukan sebuah masalah besar buatku, mengingat latar belakangku sebagai jurnalis. Mereka pun juga tampak santai menghadapiku, meski berulangkali bertanya apakah aku bisa menempuh perjalanan 22 hari kelilling Indonesia tersebut.
Ah sudahlah, waktu yang akan membuktikannya. Oh ya, dalam rombongan juga terdapat seorang warga negara Republik Rakyat Tiongkok. Namanya Wang kalau tak salah. Dia ada di sana sebagai teknisi tempat obor yang akan membawa api abadi itu keliling Nusantara. Kalau terjadi sesuatu dengan tempat obornya, maka Wang yang akan memperbaikinya.
Hanya saja, satu hal yang bikin susah. Si Wang ini sama sekali tak bisa berbahasa Inggris, sementara dari seluruh rombongan, tak ada yang bisa berbahasa Mandarin. Aku memang pernah kursus Bahasa Mandarin selama tiga bulan, tapi bekal itu rasanya tak cukup untuk bisa ber-cas cis cus dengan Wang. Ujungnya sudah bisa ditebak, bahasa Tarzan akan menjadi bahasa pengantar antara Wang dan kami semua. Hahahahahaha….

API ABADI
Kita lupakan Wang untuk sejenak. Kota pertama yang kami tuju adalah Semarang. Dari Semarang, kami menuju ke Grobogan, tempat pengambilan api abadi di Mrapen. Api abadi itu akan kami bawa keliling Indonesia selama 22 hari ke depan untuk kemudian apinya dibawa ke Palembang pada saat pembukaan SEA Games XVI. Di Semarang, berhubung menghemat anggaran, kami menggunakan mobil double cabin yang bisa digunakan untuk membawa penumpang dan barang-barang sekaligus.
Mengingat jumlah rombongan kami yang cukup banyak, maka mau tak mau aku duduk di bagian belakang double cabin tersebut. Meski sebagian besar anggota rombongan itu mempersilakan aku duduk di bagian dalam karena cewek sendiri dalam rombongan, tapi aku menggelengkan kepala. Rasanya duduk di bagian belakang double cabin lebih seru!
Kendati duduk di bagian belakang, aku tak merasakan pegal, mungkin karena mobilnya bagus kali ya…. Setelah mengambil api abadi, kami pun lekas kembali ke Semarang. Api abadi itu kami letakkan ke dalam sebuah wadah yang memungkinkan kami untuk tetap diizinkan naik pesawat keliling Indonesia.
Dari Semarang kami menuju ke Borobudur di hari berikutnya. Kali ini panitia menyelenggarakan sebuah pesta meriah menyambut obor tersebut. Artis-artis ibukota didatangkan. Aku ingat sekali tanggalnya, 23 Oktober 2011, karena pas malam itu tepat klub yang aku benci, Manchester United, kalah telak 1-6 usai melawan tetangganya yang selama ini dianggap berisik, Manchester City.
Meski tak ada hubungannya, apalagi aku tak bisa menontonnya, yang pasti kemenangan itu membuat aku lebih bersemangat melakoni perjalanan aku 21 hari ke depan. Mengenai ketidaksukaan aku terhadap Manchester United, mungkin suatu waktu akan aku ceritakan dalam tulisan tersendiri.
Dari Borobudur, aku menuju ke kota tercinta, Yogyakarta. Namun di kampung halamanku ini, aku tidak bisa berlama-lama melepas rindu dengan ibuk, karena disibukkan dengan jadwal pawai obor yang melewati jalan Malioboro.
Dalam pawai tersebut, aku masuk ke mobil double cabin lagi, dan menulis apa saja yang dapat aku lihat dengan mata aku. Sedikit mengasyikkan, karena aku merasa seperti pejabat yang dieluk-elukkan warganya, mengingat warga yang menyambut kami sepanjang rute pawai…. Hahahahahaha….
Dari Jogja, seharusnya kami langsung menuju ke Denpasar untuk menuju ke Kupang. Namun, sekali lagi, karena mesti berurusan dengan kaum birokrat, kami terpaksa kembali ke Semarang karena Pemerintah Kota ini tiba-tiba meminta kami untuk melakukan pawai keliling Semarang.
Dari Semarang seharusnya kami bisa langsung menuju ke Denpasar, usai pawai. Namun, sekali lagi kami berbenturan dengan birokrasi. Maskapai penerbangan yang mensponsori perjalanan kami hanya membuka rute Yogyakarta-Denpasar dan tidak melayani rute Semarang-Denpasar. Alhasil kami pun kembali ke Yogyakarta untuk kemudian menuju ke Denpasar, Bali.
Lelah, letih dan lesu sudah mulai kami rasakan. Namun kami baru mencapai dua kota dari sembilan kota yang sudah diagendakan. Baiklah, tenaga harus kami kumpulkan kembali supaya bisa melakoni semua agenda perjalanan ini.

HOTEL BAGUS?
Di Bali, sebenarnya kami tak melakukan pawai. Kami harus segera menuju ke Kupang, Nusa Tenggara Timur yang hanya bisa dicapai melalui Denpasar dan tidak bisa langsung terbang dari Yogyakarta. Setelah check-out dari sebuah hotel di kawasan Kuta, kami menuju ke Kupang.
Di kota ini, kami langsung menuju ke Hotel Kristal, yang katanya hotel paling bagus di kota itu. Noted then. Sebenarnya aku masih belum yakin kriteria bagus di hotel itu apakah sama dengan yang ada di benakku.
Pas aku masuk ke hotel, aku hanya mengangguk-angguk melihat kondisi di dalamnya. Bayangan aku tentang hotel bagus agak kabur setelah masuk hotel tersebut. Tapi aku berusaha memakluminya, mengingat Kupang adalah sebuah kota kecil. Namun saat waktu mandi tiba, aku pun benar-benar kehilangan kriteria hotel bagus di benakku.
Aku harus melepas kacamata berminus empat ini saat hendak mandi tentunya. Hal ini membuat pandanganku kabur tentu saja. Jadi aku tidak melihat selang shower yang bocor di atas bath tub. Alhasil ketika aku memutar kran, airnya langsung muncrat ke wajah. Tobaaaaaaaaaaaaatttt….! Buyar sudah semua bayangan aku tentang hotel bagus! Haha!
Namun kunjunganku ke Kupang kali itu bisa dibilang istimewa. Karena aku punya kesempatan berkunjung ke rumah kakak angkatku yang kebetulan berjodoh dengan wanita asal Larantuka. Kunjunganku pun disambut hangat oleh istri kakak angkat aku. Ini namanya silaturahmi keluarga gratisan, karena semua dibayari, hihihihihihi….
Oh ya, satu pengalaman menarik aku selama di Kupang. Aku dan rombongan berkesempatan mendatangi kantor Gubernur NTT. Yang bikin aku kaget adalah, kantor gubernur itu terakhir kali diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 1987, dan saat itu sudah 2011. Walaaaahhh…. Bisa dibayangkan betapa tuanya gedung tersebut….
Oke, dari Kupang aku kembali ke Denpasar. Di kota ini aku mulai pusing berganti baju karena hampir selama satu minggu perjalanan, aku sama sekali tak punya kesempatan untuk me-laundry baju, mengingat aku harus pindah dari hotel ke hotel dan naik-turun pesawat setiap dua-tiga hari sekali.
Beruntung aku memiliki seorang sahabat yang tinggal di Pulau Dewata tersebut. Dia bersedia membantuku me-laundry baju-baju dan mengirimkannya kembali kepadaku. Aku pun berhitung, kemana kota yang akan kutuju selama empat hari ke depan. Jadi aku akan bertemu lagi dengan laundry aku yang akan dikirimkan oleh sahabat aku tersebut.
Urusan laundry pun beres. Dari Denpasar, aku harus menuju ke Jayapura, Papua. Nah, ini perjalanan yang sedikit menegangkan buatku. Aku belum pernah menginjakkan kaki ke Papua. Menegangkan karena mengingat kondisi di sana yang kadang tidak kondusif.

PESAWAT DINIHARI
Yang lebih seru, aku harus berangkat dari Denpasar pukul 02.00 WITA. Alhasil dengan mata setengah terpejam, kami menuju ke Bandara I Gusti Ngurah Rai. Sambil menunggu panggilan boarding, aku pun terlelap di kursi bandara. Sudah bisa ditebak aku menjadi sasaran foto iseng akibat tidur di bandara. Hadeh….
Untung saja, meski tidur, aku masih bisa mendengar panggilan boarding tepat pada pukul 01.45 WITA. Masih dengan mata setengah terpejam, aku berjalan lunglai ke pesawat dan hanya punya satu cita-cita di dalam pesawat. Tidur!
Sinar matahari pun perlahan muncul ketika pesawat mendarat di Timika untuk menurunkan beberapa penumpang sebelum melanjutkan perjalanan ke Jayapura. Tak lama setelah transit, pesawat pun kembali melanjutkan perjalanan ke Jayapura.
Aku baru hendak melanjutkan tidur lagi ketika pramugari mencoba membangunkanku untuk sarapan. Aduh, untuk kali ini aku memilih melanjutkan tidur daripada sarapan deh. Suer! Tapi sepertinya pramugari itu tak juga menyerah, dia masih tetap berkeliling di sekitar area tempat dudukku untuk tetap mencoba membangunkanku dan rombongan.
Akhirnya dengan mata masih sangat mengantuk, aku pun sarapan. Tak lama setelah sarapan, kami pun tiba di Jayapura. Dari dalam pesawat sudah terdengar suara alunan musik tradisional Papua. Aku celingak-celinguk mencari sumber suara, kupikir itu dari suara musik yang diputar dalam pesawat.
Eh tapi nggak lho…. Sekeluarnya aku dari pesawat, sekelompok penari tradisional pria asal Papua sudah menari menyambut kami. Wow, rasanya luar biasa. Rasanya jerih payah kami selama perjalanan dibayar lunas oleh penyambutan yang luar biasa ini.
Setelah melalui berbagai upacara penyambutan di Bandara Sentani, aku dan rombongan pun langsung menuju ke hotel. Catat, saat mengikuti upacara penyambutan ini, kami serombongan belum ada yang mandi, hihihihihi….
Satu hal yang lupa aku ceritakan di atas. Mengingat jumlah rombongan kami yang genap, dan aku perempuan sendiri, akhirnya atas nama penghematan budget, aku pun berada sekamar dengan salah satu kameramen. Namanya Iki, yang tentu saja berjenis kelamin laki-laki. Aku pun baru pertama kali itu berkenalan dengan Iki saat kami bertemu di Bandara Soetta saat awal perjalanan.
Untung, berada sekamar dengan lawan jenis dalam urusan pekerjaan maupun tidak sama sekali bukan hal asing bagi aku. Selama aku menjadi jurnalis, aku sudah berkali-kali melakukannya. Begitu pula saat aku melakukan backpacker-an ke luar negeri. Setelah lelah berjalan seharian keliling negara tersebut, rasanya hanya lelah yang melanda dan tak lagi berpikir untuk merasa canggung tidur sekamar dengan lawan jenis. Saat kasur sudah menyambut, tubuh ini pun sudah langsung ambil posisi tidur. Lelap! Dan yang penting, hemat!
Berada sekamar dengan Iki selama 22 hari pun tak membuat aku canggung. Semua berjalan biasa saja. Lucunya ketika kami berada di Samarinda, aku ternyata mendapatkan kamar sendiri. Bonus katanya. Tapi aku malah enggan tidur sendirian. Aku pun membawa bed cover kamarku untuk pindah ke kamar salah satu teman, dan tidur di bawah beralaskan bed cover di kamar tersebut. Kamarku seram soalnya! Hahaha….
Di Jayapura, satu menu yang wajib kami cicipi adalah papeda. Sumpah, aku belum pernah makan makanan ini sebelumnya. Akhirnya kami dibawa oleh salah satu atlet cabang atletik asal Papua, untuk makan Papeda di sebuah restoran yang terletak di pinggir danau.
Awalnya aku ragu-ragu untuk memakannya mengingat bentuk papeda yang seperti lem. Aku lebih memilih menyantap woku-woku, kuah yang dimakan bersama papeda. Tapi karena teman-temanku terlihat lahap makan papeda, maka aku pun ikut menyantapnya.
Rasanya aneh pada awalnya, namun lama-lama aku menikmatinya juga. Meski tidak cocok dengan lidah Jawaku, paling tidak pengalaman makan papeda menjadi salah satu pengalaman menarik selama berada di tanah Papua.
Satu lagi pengalaman menarikku adalah, perbedaan yang mencolok antara warga kelas menengah ke atas dan bawah. Selama di Jayapura, aku menginap di hotel Aston Jayapura yang terletak di sekitar kawasan kumuh di Jayapura. Dari kamar di lantai delapan tempat aku menginap, aku bisa melihat pemukiman kumuh di sekitaran hotel. Sungguh, pemandangan yang lumayan ironis, mengingat betapa kayanya tanah Papua.
Akhirnya, tugasku di Jayapura sudah selesai, aku dan rombongan pun berangkat ke bandara untuk menuju ke Makassar, Sulawesi Selatan. Sesampai di bandara Sentani, aku sedikit roaming dengan kondisi ruang keberangkatan di sana. Pasalnya, banyak papan peringatan yang bertuliskan, “Dilarang Makan Pinang.” Mungkin ludah yang dibuang setelah makan pinang akan membuat bandara terlihat kumuh ya. Mungkin saja lhoooooooooo….

BANYAK TEMAN
Dari Jayapura, kami tiba di Makassar. Di kota ini, kami tinggal di sebuah hotel yang terletak dekat dengan Pantai Losari. Sangat menyenangkan! Di kota ini pula, aku bersua kembali dengan seorang rekan lamaku selama menjadi jurnalis dulu. Wah, reunian gratis! Horeeeeh!
Mengenai pertemuanku dengan teman-teman di setiap kota ini, aku punya satu pengalaman menarik. Di setiap kota yang kami datangi, mulai dari Yogyakarta, Semarang, Denpasar, Kupang, Jayapura, Makassar, Balikpapan, Samarinda, sampai ke Palembang, aku selalu memiliki teman atau kenalan untuk kutemui. Sampai akhirnya salah satu teman rombonganku menyeletuk, “Ada nggak sih kota di mana kamu itu nggak punya teman, Rur?” Aku hanya tertawa mendengarnya. Banyak teman kan banyak rezeki yaaaa….????
Dari Makassar, kami melanjutkan perjalanan kembali ke Jakarta untuk kemudian menuju ke Palembang. Saat tiba kembali di Bandara Soetta, aku celingukan mencari kendaraan penjemput. Wah, double cabin lagi? Baiklah, aku pun segera naik di bagian belakang, dan menikmati perjalanan dari Bandara Soetta hingga Jakarta Pusat dengan naik di bagian belakang mobil double cabin. Seru!
Di Jakarta, kami sempat menginap dua malam, mengingat kami harus melakukan pawai obor di ibukota tercinta ini. Tak lama setelah pawai usai, kami langsung menuju ke Tanjung Priok. Tanjung Priok? Iya. Kalau biasanya kami menempuh perjalanan antarkota dengan menggunakan pesawat, kali ini kami menggunakan kapal laut untuk menuju ke Palembang. Wah, menyenangkan!
Kapal itu disumbang oleh salah satu konglomerat ternama di Indonesia. Kapal ini memiliki puluhan kamar dan barak sebagai tempat menginap kami. Namun sebelum penumpang naik ke kapal, mobil-mobil yang akan kami gunakan nanti di Palembang harus terlebih dahulu naik ke kapal. Mobil-mobil itu pun harus diangkat melalui fork lift besar supaya bisa naik ke kapal.
Sembari menunggu, aku kembali nongkrong dengan teman-teman di pelabuhan, sambil sesekali berkeliling di sekitar pelabuhan. Aku pun melihat proses pengangkatan mobil-mobil tersebut dari jauh. Tak lama ada dua bapak-bapak yang berdiri agak jauh dari sampingku. Otomatis aku menoleh. Wajah salah satu bapak itu terasa familiar, pikirku, hingga akhirnya aku pun kembali menoleh, untuk meyakinkan diri sendiri.
Wah, ternyata itu wajah sang pemilik kapal. Salah satu konglomerat ternama Indonesia. Wah, jauh sekali dari bayangan aku mengenai kriteria penampilan seorang konglomerat. Pakaiannya tampak sederhana, begitu pula dengan telepon genggam yang dibawanya. Dia hanya mengenakan sandal hitam dan kemeja sederhana, sambil sesekali memperhatikan proses loading mobil. Tapi mungkin telepon genggam sederhana yang dibawanya itu telepon satelit ya. Well, sekali lagi pepatah yang mengatakan don’t judge people by appearance berlaku ya….
Setelah proses loading mobil selesai, kami segera naik ke kapal. Aku sudah lupa rasanya naik kapal. Pertama kali naik kapal dari Merak-Bakauheni sekitar awal 2000-an. Mungkin sudah sekitar sepuluh tahun lebih aku tak naik kapal. Oh ya, sebelum naik kapal tersebut, ponsel aku berbunyi. Dari adik aku, dia yang tak suka berpetualang sibuk bertanya bagaimana aku mandi dan tinggal di kapal nanti. Aku hanya tersenyum. Aku jawab, semua akan baik-baik saja.
Aku mendapat jatah tidur di barak. Ya, di barak. Bareng-bareng dengan teman-teman rombonganku. Barak itu berkapasitas sampai 50 orang, jadi selain rombonganku, masih ada beberapa panitia dan atlet peserta SEA Games lainnya.
Sesudah mandi dan membersihkan diri, aku mencoba tidur di barak itu. Tapi mungkin sebutan barak tidak terlalu sesuai ya, karena tempatnya bersih, rapi dan ber-AC. Hanya saja saat aku merebahkan diri mencoba untuk tidur, terasa gelombang laut yang menggoyang-goyang kapal. Jadi meski tidur, tubuhku selalu digerakkan laut. Beruntung aku bisa tetap tertidur akibat lelah yang melanda. Sungguh pengalaman yang berbeda.
Selama di kapal, semua makanan terjamin. Pekerjaanku hanya makan dan tidur seharian, karena kapal baru akan tiba di Palembang esok hari. Jadi hari itu aku isi dengan menulis beberapa laporan kegiatan yang harus aku kerjakan.

KELILING SUMSEL
Keesokan harinya, kapal tiba di Palembang. Kami pun langsung menuju ke Lubuk Linggau. Karena kami tak hanya akan berkeliling di Palembang saja. Kami akan menuju hampir ke semua kota dan kabupaten di seluruh kawasan Provinsi Sumatera Selatan.
Lubuk Linggau menjadi tujuan pertama. Di sini kami menginap di rumah dinas bupati. Yang namanya rumah dinas, tentu jumlah kamarnya tak banyak. Dan entah mengapa, panitia setempat mungkin tak mendapat informasi kalau ada aku dalam rombongan tersebut. Ada seorang perempuan dalam rombongan pawai obor ini.
Jadi ketika aku bersuara, saat mengajak salah satu teman mengobrol, seorang panitia langsung terkejut. Dia merasa kaget karena sama sekali tak tahu ada perempuan di antara rombongan. Ya aku maklum saja, mungkin karena penampilanku dengan jaket dan topi membuat penampilanku sama seperti anggota rombongan lainnya.
Bapak panitia itu pun merasa canggung karena kebingungan mempersiapkan kamar untuk aku sendiri. Sebelum aku bersuara, ada salah satu teman yang menyeletuk, “Lha dia sudah bersama rombongan kami sejak awal, pak. Dia lumayan tangguh lho pak, nggak pernah mengeluh selama perjalanan. Jadi nanti tolong siapkan satu kasur saja untuk mbak ini, dia akan bergabung di salah satu kamar kami saja.” Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Sudahlah, bagiku, tempat tidur bukanlah masalah. Aku tak perlu berbagai fasilitas bagus hanya supaya bisa tidur. Aku hanya butuh tempat yang memungkinkanku untuk memejamkan mata, dan aku bisa tidur di mana saja. It’s not a big deal for me…
Setelah berkeliling ke Kabupaten Lahat, Empat Lawang, Ogan Ilir, Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ilir, Pagar Alam, dan Prabumulih, akhirnya aku dan rombongan kembali ke Palembang.
Sampai di kota pempek ini, hari sudah malam. Kami kebingungan karena kami tak tahu mesti menginap di mana. Semua hotel di Palembang penuh karena ada SEA Games. Bahkan kapal-kapal yang sudah disulap menjadi hotel terapung guna menampung semua unsur yang terlibat dalam perhelatan akbar ini pun juga sudah penuh.
Ah, di mana kami akan menginap? Kami pun akhirnya terdampar di kantor Kodim setempat. Mereka menawarkan kami untuk menginap di barak mereka. Aku bukannya enggan tidur di barak, tapi aku, sekali lagi, punya teman di Palembang dan dia mengundangku untuk menginap di rumahnya. Banyak teman banyak rezeki ternyata. Hihihi
Akhirnya aku memutuskan meninggalkan rombongan dan menginap di rumah teman semasa SMP tersebut. Dua malam aku menginap di rumahnya sebelum aku dan rombongan meninggalkan Palembang dan kembali ke Jakarta.
Pengalaman demi pengalaman yang menyertai perjalanan aku selama 22 hari berkeliling Indonesia ini memberikan banyak pelajaran untukku. Satu hal yang pasti, perjalanan ini tak pernah terlupakan!(*)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar