SUASANA
pagi itu sedikit mencekam. Jumat,
2 Desember 2005, matahari belum menunjukkan batang hidungnya. Waktu masih
menunjukkan pukul 03.30 dinihari. Angin malam yang dingin terasa mencekat
di tubuh. Suasana tampak semakin mencekam dengan ratusan lilin yang dinyalakan
di depan Kompleks Penjara Changi, Singapura. Di sana, pagi itu, sebuah nyawa
harus melayang.
Namanya Nguyen Tuong Van. Dia merupakan warga
negara Australia keturunan Vietnam yang harus mendekam di penjara tersebut
setelah tertangkap menyelundupkan 400 gram heroin di Bandara Changi Singapura, beberapa
tahun sebelumnya. Dia hendak menyelundupkan heroin tersebut dari Vietnam ke
Australia. Padahal menurut undang-undang yang berlaku di Singapura, siapapun
yang tertangkap membawa heroin lebih dari 15 gram harus diganjar hukuman mati.
Beberapa orang bergegas masuk ke kompleks
penjara tersebut. Mereka adalah Nguyen Dang Khoa, saudara kembar Van, dan beberapa orang dari Kedutaan Australia. Wajah pilu
terpotret dari wajah mereka. Wajah yang sudah pasti tak rela melepaskan anggota
keluarga mereka menjemput maut pagi itu.
Saya berada di deretan jurnalis yang menunggu
di luar pagar penjara. Saya sudah berada di sana sejak sehari sebelumnya.
Berhubung ini merupakan tugas dadakan, saya pun tak membawa uang banyak saat
liputan dan memilih untuk tidur di halte bus yang terletak di depan penjara
guna melewatkan malam itu. Toh
setelah proses hukuman mati selesai, saya harus segera balik ke kantor.
Saat waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB
pada 1 Desember 2005 ketika saya mulai sendirian di luar pagar penjara
tersebut. Sebagian besar jurnalis sudah kembali ke hotelnya masing-masing. Oke,
pikir saya dalam hati, ini di Singapura, jadi saya pasti akan aman-aman saja
tidur di halte bus ini. Meski dalam hati saya takut juga….hihihihihi….
Tiba-tiba seorang pria, duh saya sudah lupa namanya, menghampiri saya. Saya ingat wajahnya,
dia sesama jurnalis yang ikut meliput berita ini. Dia dari salah satu media di
Singapura. Sepanjang hari itu, saya banyak mengobrol dengannya guna mendapatkan
data-data mengenai Van.
“Kamu mau tidur di mana malam ini?” tanyanya dalam Bahasa Inggris.
“Saya tidur di halte ini saja, sudah malas cari
hotel jam malam-malam begini. Toh besok subuh saya sudah harus balik ke sini
lagi kan?” jawab saya.
“Nekad betul kau. Sudah ayo tidur di rumah saya
saja, tak jauh dari sini.”
Saya bengong mendengar tawarannya. Berbagai
pertanyaan berkecamuk di benak saya. Manusia yang baru saya kenal hari ini
sudah menawarkan saya tidur di rumahnya? Laki-laki pula. Waduh…
Dia tertawa melihat wajah saya. Wajah yang
penuh tanda tanya mungkin ya? Hahahahaha….
“Tenang saja, saya tak akan berbuat
macam-macam. Lagipula saya masih tinggal dengan orang tua dan kakak-kakak saya.
Nanti kau tidur di kamar saya saja, saya pindah ke kamar kakak saya,” katanya
lagi.
Hahahahahahah….rasanya malu sendiri ketika itu. Niat baik orang
lain saya balas dengan kecurigaan berlebihan. Tapi saya harus meyakinkan diri
saya sendiri dulu kalau saya benar-benar tidak akan merepotkan teman saya itu
ketika saya menginap di rumahnya.
“Tenang, toh
kamu hanya numpang tidur beberapa jam, bukan? Besok pagi-pagi sekali kita balik
lagi ke sini.”
DARAH INDONESIA
Aku hanya mengangguk. Sepanjang perjalanan menuju
ke rumahnya menggunakan taksi, dia banyak bercerita kalau sebenarnya
keluarganya masih memiliki darah Indonesia. Kakek-neneknya masih menjadi warga
negara Indonesia hingga sebelum periode kemerdekaan, hingga akhirnya mereka
memilih untuk pindah menjadi warga negara Singapura setelah 1945.
“Kalau kamu tanya alasannya, panjang ceritanya.
Satu hal yang pasti, orang tua saya pasti akan senang sekali bertemu denganmu,
mereka masih bisa berbahasa Indonesia, meski sudah tak terlalu lancar. Kalau
saya sih cuma bisa sedikit-sedikit,” katanya sambil tertawa.
Benar saja. Di rumahnya, orang tuanya gembira
menyambut saya, apalagi setelah tahu saya berasal dari Indonesia. Mereka
langsung mengajak saya berbahasa Indonesia dan meminta saya untuk tak usah
sungkan-sungkan ketika menginap di rumah mereka.
Mungkin adat Jawa yang masih melekat di saya
membuat saya terlihat sungkan ketika diajak sarapan oleh mereka. Mereka malah
tertawa melihat kesopanan saya saat sarapan dengan mereka. Hahahahha…. Apapun itu, saya sudah harus mengucapkan terima kasih
karena sudah boleh menumpang tidur dan mandi di rumah mereka.
Oke. Mari kita kembali lagi ke cerita Van. Tak lama
setelah sarapan subuh itu, saya dan teman saya itu segera kembali ke penjara
Changi. Puluhan jurnalis sudah ada di sana, mereka sudah mencari tempat yang
pas untuk membidik ekspresi keluarga Van.
Lonceng yang berdentang sebanyak 25 kali sekitar satu jam sebelum Van digantung pun semakin
membuat pagi itu semakin mencekam. Bel dibunyikan sebanyak 25 kali, setiap
bunyi bel menandakan tahun-tahun dalam kehidupan Van yang masih berusia 25 tahun
saat itu.
Wajah Khoa tampak tegar menghadapi kematian saudara satu-satunya itu.
Ia terus berjalan masuk ke penjara Changi tanpa menoleh ke kanan dan kiri lagi. Sekitar pukul 05.45 dinihari, Van dihukum mati di
tiang gantungan, dia menjemput
maut pagi itu.
Beberapa warga Australia di Singapura pun tampak bersedih di depan
lilin-lilin yang mereka nyalakan untuk mendoakan kepergian Van. Semua tampak
tertunduk dan beberapa diantaranya terlihat menangis sembari memeluk rekan
mereka di sebelahnya. Semuanya terdiam dan tak ada satu pun yang membuka
mulutnya..
KONTAK FISIK
Tepat pukul 07.00 waktu setempat, tiga mobil tampak masuk ke Penjara Changi untuk
menjemput Khoa dan sahabat-sahabatnya. Lima menit kemudian, Khoa tampak keluar
dari gedung penjara dan masuk ke mobil setelah sebelumnya memeluk penjaga penjara untuk mengucapkan terima
kasih. Khoa tidak menyaksikan proses eksekusi saudaranya, dia hanya ingin berada di
dekat Van.
Sementara itu, Kim Nguyen, ibunda Van tak tampak datang dalam proses eksekusi anaknya di penjara. Ia dilaporkan
berada di sebuah gereja untuk mendoakan anaknya yang menghadapi tiang gantungan. Di Australia,
yang sudah menghapuskan hukuman mati sejak tahun 1967, isu ini sudah
menimbulkan berbagai aksi demonstrasi di Canberra dan Attorney General Australia, Philip Ruddock, menganggap eksekusi Van
sebagai tindakan yang biadab.
Bahkan beberapa hari menjelang eksekusi, Kim
meminta kepada Pemerintah Singapura untuk diizinkan memeluk anaknya sebelum
menjalani proses hukuman gantung. Namun menurut undang-undang yang berlaku di
Singapura, tahanan hukuman mati tidak boleh melakukan kontak fisik sama sekali,
meskipun itu dengan anggota keluarga sendiri.
Pemerintah Australia pun turut campur supaya
permintaan Kim dapat terpenuhi. Pertemuan empat mata antara Perdana Menteri
Australia dan Singapura pun digelar. Hasilnya, Kim hanya diizinkan untuk
memegang tangan Van melalui sebuah lubang kaca yang tersedia di salah satu
bilik penjara. Tak terperi penderitaan yang harus dilalui Kim.
Sekitar empat jam setelah dieksekusi, jenazah Van dibawa ke luar dari
penjara Changi dengan menggunakan van putih. Mobil itu membawa Van ke Gereja Good Shepherd
Convert Marymount di 790 Thomson Road yang terletak di atas bukit dan diadakan
misa untuk menghormati jenazah Van.
Wartawan yang meliput tidak diperkenankan masuk ke dalam gereja dan hanya menunggu
di pintu gerbang. Sementara, mobil-mobil yang masuk ke dalam gereja pun diperiksa,
karena selain kenalan dan keluarga, tamu lain tak dipersilakan masuk.
Kematian Van menimbulkan pertentangan melawan hukuman mati di Singapura,
dengan adanya beberapa anggota Singapore Anti-Death Penalty Committee yang
menyalakan beberapa lilin sebelum Van meninggal.
TEBUS RASA CINTA
Siapa sebenarnya Nguyen Tuong Van? Van dan Nguyen Dang Khoa adalah anak kembar seorang pengungsi Vietnam. Satunya agak bermasalah
dengan proses pendewasaannya, dan satunya lagi sudah melakukan kejahatan yang
ekstrim untuk menolong satu-satunya saudara kembar yang sangat dicintainya. Dan
kemarin, Jumat (2/12), Nguyen Tuong Van sudah menebus rasa cintanya terhadap saudaranya dengan
digantung di Singapura.
Sehari-hari Van hidup
dengan berkeliling dari toko ke toko di sekitar rumahnya, meminta pekerjaan
pada para pemilik toko. Akhirnya ia berhasil menemukan pekerjaan baru yakni di toko
roti Glen Waverley, di mana ia harus membersihkan oven dan menyapu serpihan
roti.
Uang yang dihasilkannya memang tak banyak, tapi cukup untuk dirinya.
Ketika ia kembali ke rumahnya pada minggu pertamanya di Australia tahun 1996, Van yang saat itu berusia
15 tahun, sudah banyak menghasilkan uang. Dan dengan bangganya, sembari menaiki
sepeda ke rumah, ia membawa dua kotak yang mirip satu sama lain.
Ketika sampai di rumah, ia membuka kotak pertama dan dengan bangga
menunjukkan pada ibunya sepatu baru yang berhasil dibelinya dengan uangnya
sendiri. Dan tak lama kemudian, ia memberikan kotak kedua pada saudara
kembarnya, Khoa, sepatu sekolah yang mirip dengan miliknya.
Mereka
sangat gembira waktu itu, tapi tak terlalu terkejut karena Van memang terbiasa memberikan
segala sesuatunya pada sang adik.
Mereka dilahirkan 17 Agustus 1980 dalam sebuah kamp penampungan di
Songkhla, Thailand. Kim harus melahirkan keduanya melalui operasi caesar,
bahkan saat melahirkan, Kim tak tahu apakah Van atau Khoa yang lahir lebih dulu. Tapi akhirnya,
ia memutuskan Van adalah anak yang lebih tua karena berat badannya lebih berat
daripada adiknya.
Dan statusnya sebagai anak sulung itulah yang membuatnya terbeban untuk
merawat ibu dan adiknya, meski mereka lahir pada hari yang sama. Dan selama 25
tahun masa hidupnya di dunia, hidup Van hanyalah dipenuhi tanggung jawab dan beban sebagai anak sulung.
Sama seperti warga Vietnam lainnya, kehidupan Kim Nguyen hancur ketika
tentara Vietnam utara masuk ke Saigon setelah AS melarikan diri pada tahun
1975. Ayah dan saudara Kim pun masuk ke penjara karena bekerja di perusahaan Prancis dan
AS. Akhirnya, semua keadaan itu memaksa Kim melarikan diri dengan kedua anak
dalam rahimnya setelah ia bercerai dengan suaminya tahun 1980. Kim mengarungi
samudra dengan sebuah kapal nelayan sebelum akhirnya sampai ke Thailand. Dan
disanalah ia memulai hidup baru.
PINDAH NEGARA
Saat kedua anaknya masih berusia beberapa bulan, Kim memutuskan pindah ke Australia. Kim
memilih Australia karena ia tahu negara itu dari peta dan ia juga berharap
anak-anaknya bisa tumbuh dan memperoleh pekerjaan yang layak di sana. Sampai
perjalanannya ke Singapura kemarin untuk menjenguk anaknya, Kim tak pernah
meninggalkan Australia.
Van dikenal keluarga dan
sahabatnya sebagai remaja suburban biasa yang suka main tenis. Baik Van maupun Khoa tumbuh
sebagai remaja yang tak pernah mengenal sosok ayah, meski ada kabar mereka berdua
sempat bertemu dengan sang ayah yang kini tinggal di AS, empat tahun lalu.
Semuanya indah untuk Kim dan kedua anaknya, sampai kemudian Khoa
terjerat heroin sampai memiliki hutang sebesar 25 ribu dolar Australia. Sebuah solusi diberikan oleh seorang teman Van, yang hanya dikenal dengan nama Tan guna membayar hutang Khoa.
Karena sudah terbiasa merawat dan menjaga adiknya, tanpa berpikir
panjang, Van pun mengiyakan permintaan Tan. Tapi ia tak pernah berpikir kalau
rencana Tan akan melibatkannya untuk membawa 400 gram heroin melalui sebuah
negara yang paling tegas menerapkan UU narkoba, Singapura.
Dan pada saat itulah, seorang petugas bandara di terminal keberangkatan
Bandara Changi Singapura, di mana Van
harus transit sebelum menaiki pesawat Qantas nomor penerbangan
10 yang akan membawanya kembali ke Melbourne, melihat kegelisahan Van dan menduga ada heroin
dalam tasnya.
Menurut dokumen pengadilan, setelah Van bertemu Tan, ia terbang ke
Sydney dan bertemu dengan seorang pria Vietnam bernama Sun, yang memberinya
tiket PP ke Phnom Penh via Singapura. Selain itu ia juga diberi uang sebesar
1.000 dolar Australia dan daftar instruksi yang harus dilakukan untuk
menyelundupkan heroin.
Sesampainya di Phnom Penh, Van menginap di Hotel Pacific, untuk menunggu hantaran heroin dari kenalan
Sun di Lucky Burger Restaurant, Phnom Penh. Kenalan Sun, seorang pria
Kamboja dan pria lain yang berkomunikasi
dalam bahasa Vietnam memaksa Van menghisap heroin
menggunakan uang kertas di sebuah bengkel di Phnom Penh.
Ketika Van menolaknya, pria yang berbicara bahasa Vietnam itu memukulkan sebuah
balok ke atas meja dan menggertaknya. "Persetan dengan ibumu, hisap atau
kau mati!" gertak pria yang tak diketahui namanya itu. "Saya tahu
saya akan dibunuh kalau tak melakukan apa yang mereka katakan," ujar Van kepada para penyidik.
SINDIKAT HEROIN
Van akhirnya memutuskan
pergi ke Vietnam, karena ia terlalu stres di Phnom Penh. Ia menghabiskan
sembilan harinya di sana dengan berbelanja jam tangan dan ikat pinggang yang
akan diberikannya pada keluarganya saat ia kembali ke rumahnya.
Sindikat heroin itu akhirnya memberinya dua paket heroin yang masih
utuh. Van
disuruh menumbuknya dan memisahkannya dalam dua tas berbeda. Van kembali ke hotel dan
menumbuk heroin dengan palu dan memasukkannya ke tas. Kemudian ia menggunakan
selotip untuk mengikat bungkusan heroin itu ke tubuhnya.
Dalam penerbangan dari Phnom Penh ke Singapura pada 12 Desember 2002, Van
kesulitan bernafas karena ikatan heroin di tubuhnya. Selama transit di
Singapura, Van pun akhirnya memutuskan melepaskan ikatan tersebut.
"Beberapa orang di Phnom Penh sudah memperingatkanku jika sindikat
itu sudah mengetahui rumahku di Australia, dan mengingatkanku untuk tak
menghancurkan proses pengiriman ini. Saya tak memiliki pilihan lain selain
mengirimkan dua paket heroin ke seseorang di Australia," jelasnya.
Tak lama setelah ia memutuskan untuk tetap meneruskan rencananya,
polisi pun langsung menangkapnya saat tubuhnya melewati detektor metal di
bandara Changi. Ia pun akhirnya menjalani proses pengadilan dan dijatuhi
hukuman mati oleh Hakim Kan Ting Chiu pada 20 Maret 2004. Sebuah pengorbanan luar biasa pun sudah
dilakukan Van demi menebus rasa cintanya kepada Khoa, saudara kembarnya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar