Selasa, 26 April 2016

Ahok Tanpa Embel-Embel



 HARUS saya akui, saya memang penggemar Ahok yang lumayan militan. Apapun berita soal Ahok selalu saya baca, hampir semua video mengenai dirinya di saluran You Tube, sudah saya tonton. Saya juga berhasil mengumpulkan 135 KTP untuk Ahok di lingkungan sekitar kantor saya. Jumlah itu akan bertambah karena saya masih on progress untuk pengumpulan KTP tahap kedua.
Usaha saya tak berhenti di situ. Saya juga selalu membagikan informasi dari Teman Ahok melalui akun Facebook saya. Saya juga sibuk mengompori bos-bos saya di kantor untuk membeli merchandise Ahok, saya sendiri juga sudah sampai mengeluarkan dana pribadi untuk membeli berbagai merchandise yang dijual Teman Ahok. Nanti kalau masa kampanye tiba, saya pasti rela mengeluarkan uang untuk menonton konser pendukung Ahok.
Paling tidak dengan usaha saya ini, saya berharap Ahok bisa kembali menjadi gubernur DKI Jakarta. Kalaupun tidak, menurut isu yang berembus, dia akan meminta kepada Jokowi untuk menjadi Kepala Bulog dan bercita-cita memberantas mafia beras! Semangat, pak!
Sungguh, saya yang tadinya benar-benar apolitik, kini serius mengikuti berbagai perkembangan dunia politik sekaligus intrik-intrik di dalamnya. Namun ada satu hal yang tak saya sukai di balik pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 mendatang. Apalagi kalau bukan isu agama dan SARA yang kerap menyerang Ahok?
Siapa juga yang meminta dilahirkan sebagai kaum Tionghoa? Tidak ada. Siapa yang meminta dilahirkan sebagai orang Kristen? Tidak ada. Tuhanlah yang mengatur di suku dan ras apa kita akan dilahirkan. Agama itu buatan manusia, bahkan Tuhan pun tak memiliki agama apapun. Kita sendiri yang sibuk berdebat mengenai masalah agama dan menganggap agama lain itu buruk.
Mengenai agama ini, saya sudah pernah protes kepada ibu saya. Mengapa saya harus memeluk agama yang sama dengan orang tua saya? Beruntung saya masih punya keyakinan yang dalam terhadap agama yang sudah saya anut sekarang. Tapi hal itu tak menutupi kemungkinan saya mempelajari agama-agama lain, karena sekarang saya sedang ingin sekali belajar tentang agama Buddha dan Islam.
Bahkan ada satu pertanyaan yang saya sesali hingga saat ini. Saat itu saya benar-benar tak paham mengenai masalah agama lain, lha wong agama saya sendiri pun kadang saya tak mengerti. Saya pernah bertanya begini kepada teman saya yang muslim. “Gimana sih rasanya satu agama dengan orang-orang yang malah mengatasnamakan agama sebagai alasan untuk melakukan bom bunuh diri atau membunuh orang lain?”
Sungguh, sampai sekarang saya menyesal. Saya tak ingat apa jawaban teman saya waktu itu. Tapi dia menjawabnya melalui perilakunya. Meski mengenakan hijab, dia selalu menjadi orang pertama yang marah-marah sewaktu saya malas pergi ke gereja. Saya dan teman saya itu memang waktu itu tinggal di dalam satu rumah susun di Batam.
“Aku yang harus sholat lima kali sehari aja enggak pernah ngeluh lho, mbak. Sampeyan yang cuma ke gereja seminggu sekali aja malesnya minta ampun!” Begitu omelannya setiap akhir pekan tiba. Aduh, daripada kena omelan dia terus-menerus, mending saya berangkat ke gereja, deh!
Itulah. Saya belajar toleransi agama dari satu teman saya yang luar biasa ini. Dia tak hanya berbicara mengenai toleransi. Dia juga mencontohkannya. Bahkan sampai sekarang, kami sudah seperti saudara, meski sekarang dia tinggal di Lamongan, Jawa Timur.
Saya pun mencoba meneruskan kebaikan teman saya itu, dengan selalu mengingatkan orang-orang di sekeliling saya untuk sholat maupun sholat Jumat, siapapun itu. Mungkin awalnya ada beberapa yang mengernyitkan dahi, namun saya tetap rutin melakukannya hingga saat ini. Saya juga berusaha menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat hari raya kepada semua teman saya yang berasal dari berbagai agama. Bagi saya, perbedaan itu sungguh indah…
Balik lagi ke Ahok. Semua juga sudah tahu kalau dia bersuku Tionghoa. Semua orang juga tahu kalau dia beragama Kristen. Saya mendukung Ahok bukan karena dia sesama non-muslim seperti saya. Saya hanya memandang Ahok sebagai sosok pekerja politik yang masih berada di jalur yang benar dibandingkan pelaku-pelaku politik lain yang masih sibuk berada dalam kubangan hitam.
Makanya saya langsung mengernyitkan dahi ketika ada beberapa orang sesama non-muslim yang sibuk mengutip ayat-ayat alkitab untuk mendukung Ahok. Bagi saya itu suatu hal yang sama sekali tak masuk akal. Saya jamin, Ahok juga tak akan suka jika ada orang mendukung dirinya hanya karena mereka satu agama maupun satu suku dengannya. Dia tak berjuang demi sukunya saja. Dia tak berjuang demi agamanya saja. Dia berjuang untuk seluruh warga DKI, baik yang suka atau tak suka kepadanya. Karena itu saya salut sekali dengan keputusan Teman Ahok yang melarang pengumpulan KTP di rumah-rumah ibadah, termasuk gereja. Itu luar biasa…
Saya juga pernah memberikan pengertian kepada teman saya sesama non-muslim yang pernah berkata begini, “Wah Ahok pasti menang di daerah Jakarta Barat, kan banyak kaum Tionghoa dan kaum non-muslim di sana.” Miris saya mendengarnya. Pola pikirnya sungguh SARA. Padahal sebagai non-muslim, pasti dia tak ingin diperlakukan secara SARA oleh rekan-rekan muslim, tapi malah dia sendiri yang berpikir SARA.Saya pikir dengan usia yang sudah jauh di atas saya bisa membuatnya lebih bijaksana dalam memandang sesuatu. Ternyata tidak. Saya pun mengajaknya untuk sekali lagi memandang Ahok sebagai sosok pekerja. Tanpa embel-embel apapun. Itu saja.
Agama dan politik adalah dua hal yang sama sekali tak bisa disatukan. Agama adalah alat kita untuk menuju kebaikan, menuju kepada Tuhan. Sementara dunia politik penuh dengan intrik, tipu daya, dan tipu muslihat, yang membuat pelakunya tak pernah berpikir tentang kebaikan, malah mungkin hanya kebaikan untuk dirinya sendiri. Semua berbicara atas nama kepentingan. Hari ini kawan, bisa jadi esok hari akan menjadi lawan. Kepentingan sekali lagi menjadi agenda utama.
Sudahlah, sekali lagi pandang Ahok sebagai sosok pekerja. Titik. Itu saja. Jangan lihat dia dari sukunya, jangan lihat dia dari agamanya. Kalau boleh mengutip kalimat Gus Mus, "Gusti Allah kok diajak kampanye. Kebangeten tenan, kurang ajare nemen banget!" Saya setuju sekali dengan kalimat ini. Sangat mencerahkan! Saya pernah bertemu dengan seorang teman yang militan mendukung Ahok karena ke-kristen-annya dan ke-Tionghoa-annya. Dia juga sibuk mengutip ayat-ayat kitab suci setiap hari di akun facebook-nya untuk mendukung Ahok.
 Hellooooowwwww…. Percuma mengutip ayat-ayat kitab suci kalau perilaku kita sehari-hari masih jauh dari harapan. Kita masih sibuk bersikukuh jika agama kitalah yang paling benar. Kita masih sibuk mengkafirkan orang lain. Kita masih sibuk menjelek-jelekkan orang lain. Kita masih sibuk bergosip mengenai orang lain atau bahkan menganggap diri kita paling benar.
Dan ketika negara lain sudah bikin roket ke ruang angkasa, sudah menciptakan robot-robot versi tercanggih, sudah bikin mobil terbang, kita masih saja sibuk berdebat mengenai suku, agama, dan ras. Helllooooooooooowwww….(*)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar