HARUS saya akui, saya memang penggemar
Ahok yang lumayan militan. Apapun berita soal Ahok selalu saya baca, hampir
semua video mengenai dirinya di saluran You
Tube, sudah saya tonton. Saya juga berhasil mengumpulkan 135 KTP untuk Ahok
di lingkungan sekitar kantor saya. Jumlah itu akan bertambah karena saya masih on progress untuk pengumpulan KTP tahap
kedua.
Usaha
saya tak berhenti di situ. Saya juga selalu membagikan informasi dari Teman
Ahok melalui akun Facebook saya. Saya
juga sibuk mengompori bos-bos saya di kantor untuk membeli merchandise Ahok, saya sendiri juga sudah sampai mengeluarkan dana
pribadi untuk membeli berbagai merchandise
yang dijual Teman Ahok. Nanti kalau masa kampanye tiba, saya pasti rela mengeluarkan uang untuk menonton konser pendukung Ahok.
Paling
tidak dengan usaha saya ini, saya berharap Ahok bisa kembali menjadi gubernur DKI Jakarta.
Kalaupun tidak, menurut isu yang berembus, dia akan meminta kepada Jokowi untuk
menjadi Kepala Bulog dan bercita-cita memberantas mafia beras! Semangat, pak!
Sungguh,
saya yang tadinya benar-benar apolitik, kini serius mengikuti berbagai
perkembangan dunia politik sekaligus intrik-intrik di dalamnya. Namun ada satu
hal yang tak saya sukai di balik pencalonan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta
2017-2022 mendatang. Apalagi kalau bukan isu agama dan SARA yang kerap
menyerang Ahok?
Siapa
juga yang meminta dilahirkan sebagai kaum Tionghoa? Tidak ada. Siapa yang
meminta dilahirkan sebagai orang Kristen? Tidak ada. Tuhanlah yang mengatur di
suku dan ras apa kita akan dilahirkan. Agama itu buatan manusia, bahkan Tuhan
pun tak memiliki agama apapun. Kita sendiri yang sibuk berdebat mengenai masalah
agama dan menganggap agama lain itu buruk.
Mengenai
agama ini, saya sudah pernah protes kepada ibu saya. Mengapa saya harus memeluk
agama yang sama dengan orang tua saya? Beruntung saya masih punya keyakinan
yang dalam terhadap agama yang sudah saya anut sekarang. Tapi hal itu tak
menutupi kemungkinan saya mempelajari agama-agama lain, karena sekarang saya
sedang ingin sekali belajar tentang agama Buddha dan Islam.
Bahkan
ada satu pertanyaan yang saya sesali hingga saat ini. Saat itu saya benar-benar
tak paham mengenai masalah agama lain, lha
wong agama saya sendiri pun kadang saya tak mengerti. Saya pernah bertanya
begini kepada teman saya yang muslim. “Gimana
sih rasanya satu agama dengan orang-orang yang malah mengatasnamakan agama
sebagai alasan untuk melakukan bom bunuh diri atau membunuh orang lain?”
Sungguh,
sampai sekarang saya menyesal. Saya tak ingat apa jawaban teman saya waktu itu.
Tapi dia menjawabnya melalui perilakunya. Meski mengenakan hijab, dia selalu menjadi orang pertama yang
marah-marah sewaktu saya malas pergi ke gereja. Saya dan teman saya itu memang
waktu itu tinggal di dalam satu rumah susun di Batam.
“Aku yang
harus sholat lima kali sehari aja enggak
pernah ngeluh lho, mbak. Sampeyan yang cuma ke gereja seminggu sekali aja malesnya minta ampun!” Begitu omelannya
setiap akhir pekan tiba. Aduh,
daripada kena omelan dia terus-menerus, mending saya berangkat ke gereja, deh!
Itulah.
Saya belajar toleransi agama dari satu teman saya yang luar biasa ini. Dia tak
hanya berbicara mengenai toleransi. Dia juga mencontohkannya. Bahkan sampai
sekarang, kami sudah seperti saudara, meski sekarang dia tinggal di Lamongan,
Jawa Timur.
Saya
pun mencoba meneruskan kebaikan teman saya itu, dengan selalu mengingatkan
orang-orang di sekeliling saya untuk sholat maupun sholat Jumat, siapapun itu. Mungkin
awalnya ada beberapa yang mengernyitkan dahi, namun saya tetap rutin
melakukannya hingga saat ini. Saya juga berusaha menjadi orang pertama yang
mengucapkan selamat hari raya kepada semua teman saya yang berasal dari
berbagai agama. Bagi saya, perbedaan itu sungguh indah…
Balik
lagi ke Ahok. Semua juga sudah tahu kalau dia bersuku Tionghoa. Semua orang
juga tahu kalau dia beragama Kristen. Saya mendukung Ahok bukan karena dia sesama
non-muslim seperti saya. Saya hanya memandang Ahok sebagai sosok pekerja
politik yang masih berada di jalur yang benar dibandingkan pelaku-pelaku
politik lain yang masih sibuk berada dalam kubangan hitam.
Makanya
saya langsung mengernyitkan dahi ketika ada beberapa orang sesama non-muslim
yang sibuk mengutip ayat-ayat alkitab untuk mendukung Ahok. Bagi saya itu suatu
hal yang sama sekali tak masuk akal. Saya jamin, Ahok juga tak akan suka jika
ada orang mendukung dirinya hanya karena mereka satu agama maupun satu suku
dengannya. Dia tak berjuang demi sukunya saja. Dia tak berjuang demi agamanya saja. Dia berjuang untuk seluruh warga DKI, baik yang suka atau tak suka kepadanya. Karena itu saya salut sekali dengan keputusan Teman Ahok yang
melarang pengumpulan KTP di rumah-rumah ibadah, termasuk gereja. Itu luar biasa…
Saya
juga pernah memberikan pengertian kepada teman saya sesama non-muslim yang
pernah berkata begini, “Wah Ahok pasti menang di daerah Jakarta Barat, kan
banyak kaum Tionghoa dan kaum non-muslim di sana.” Miris saya mendengarnya.
Pola pikirnya sungguh SARA. Padahal sebagai non-muslim, pasti dia tak ingin diperlakukan secara SARA oleh rekan-rekan muslim, tapi malah dia sendiri yang berpikir SARA.Saya pikir dengan usia yang sudah jauh di atas saya bisa membuatnya lebih bijaksana
dalam memandang sesuatu. Ternyata tidak. Saya pun mengajaknya untuk sekali lagi
memandang Ahok sebagai sosok pekerja. Tanpa embel-embel apapun. Itu saja.
Agama
dan politik adalah dua hal yang sama sekali tak bisa disatukan. Agama adalah
alat kita untuk menuju kebaikan, menuju kepada Tuhan. Sementara dunia politik
penuh dengan intrik, tipu daya, dan tipu muslihat, yang membuat pelakunya tak pernah
berpikir tentang kebaikan, malah mungkin hanya kebaikan untuk dirinya sendiri.
Semua berbicara atas nama kepentingan. Hari ini kawan, bisa jadi esok hari akan
menjadi lawan. Kepentingan sekali lagi menjadi agenda utama.
Sudahlah,
sekali lagi pandang Ahok sebagai sosok pekerja. Titik. Itu saja. Jangan lihat
dia dari sukunya, jangan lihat dia dari agamanya. Kalau boleh mengutip kalimat Gus Mus, "Gusti Allah kok diajak kampanye. Kebangeten tenan, kurang ajare nemen banget!" Saya setuju sekali dengan kalimat ini. Sangat mencerahkan! Saya pernah bertemu dengan
seorang teman yang militan mendukung Ahok karena ke-kristen-annya dan
ke-Tionghoa-annya. Dia juga sibuk mengutip ayat-ayat kitab suci setiap hari di
akun facebook-nya untuk mendukung
Ahok.
Hellooooowwwww….
Percuma mengutip ayat-ayat kitab suci kalau perilaku kita sehari-hari masih
jauh dari harapan. Kita masih sibuk bersikukuh jika agama kitalah yang paling
benar. Kita masih sibuk mengkafirkan orang lain. Kita masih sibuk menjelek-jelekkan
orang lain. Kita masih sibuk bergosip mengenai orang lain atau bahkan menganggap
diri kita paling benar.
Dan
ketika negara lain sudah bikin roket
ke ruang angkasa, sudah menciptakan robot-robot versi tercanggih, sudah bikin mobil terbang, kita masih saja sibuk
berdebat mengenai suku, agama, dan ras. Helllooooooooooowwww….(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar