“JLEBBBBB!!!!!!!!!” Akhirnya
pisau itu menancap di dada ibuku. Matanya nanar menatapku. Tak ada suara apapun
keluar dari mulutnya yang ternganga. Dia tak percaya aku bisa melakukan itu.
Dia hanya bisa memegangi dadanya yang sudah bersimbah darah dan tergeletak di
lantai kamar. Darah pun membasahi kebaya yang dipakainya.
Mata ibuku tetap menghujamku saat
tubuhnya masih mengejang akibat kesakitan hebat di dadanya. Dan nanar mata itu
tak juga surut ketika dia akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di dunia.
Dia mati. Ibuku mati.
Senyum kepuasan pun segera
mengembang di wajahku.Tak ada penyesalan sedikitpun di kepalaku. Malah sebuah
kelegaan luar biasa terselip di dadaku sekarang. Ibuku sudah tak ada. Ibuku
sudah mati. Tak ada lagi ibuku yang setiap saat selalu berkuasa atas diriku
selama 30 tahun aku hidup. Tak ada lagi segala perintah yang selalu mengatur
kehidupanku selama ini. Aku bebas. Bebas sebebas-bebasnya. Aku bisa melanjutkan
hidup ini. Terasa indah rasanya, karena semua akan kujalani tanpa ibuku. Tanpa
monster itu.
Tak ada kebingungan atau ketakutan
apapun muncul di benakku. Mayat ibu akan kutinggal di kamar terkutuk ini. Aku
akan pergi. Minggat dari rumah ini. Sejauh-jauhnya. Tak ada lagi yang kini
menghalangiku.
Kubuka pintu lemari tua itu. Setumpuk
pakaian sudah kusiapkan di sana. Tinggal aku masukkan ke koper bututku. Semua
sudah siap. Cepat-cepat aku masukkan semuanya. Langkahku terasa ringan
sekarang. Tak ada lagi yang melarangku pergi. Pergi meninggalkan rumah tua ini.
Sebuah suara mengagetkanku. Ternyata
itu suara Indra, adik bungsuku yang punya keterbelakangan mental. Dia memegang
tanganku. Berharap aku tak harus pergi. Dia terus menatapku. Tapi, aku tetap
harus pergi. Pendirianku tak boleh goyah sekarang. Meski adik bungsuku itu tak ada
lagi yang mengurus, aku tetap harus pergi. Harus. Aku harus mengejar masa
depanku. Impianku.
**
Masa depan. Dua kata ini seakan
menghantuiku selama aku hidup di bumi ini. Dua kata yang sudah sewajarnya
menjadi hak hidup setiap manusia. Semua orang di dunia ini saling berlomba
untuk mengejar masa depan yang lebih baik. Mereka menempuh pendidikan yang
mereka inginkan untuk menggapai cita-citanya.
Tapi itu semua tak berlaku bagiku.
Masa depanku sudah ditentukan ibuku sejak kecil. “Sekolah nggak usah tinggi-tinggi.
Kamu nggak usah kemana-mana. Cukup turuti semua kata-kata ibu mulai sekarang,”
kata ibuku ketika aku berkata ingin bekerja mengumpulkan uang untuk menjejak
bangku kuliah.
Tak ada bantahan keluar dari
mulutku. Ibu tak pernah mendidik kedelapan anaknya untuk membantah
kata-katanya. Segala sesuatu di rumahku harus berjalan sesuai dengan keinginan
ibu. Tak ada yang bisa membantahnya. Termasuk Bapak.
Bapak selalu kalah di depan ibu.
Belum pernah dalam ingatanku, bapak menang dalam segala urusan di rumah.
Ibukulah yang menjadi presidennya. Ibukulah yang menjadi ketuanya. Segala
keputusan ada di tangannya.
Pun bapak juga tak pernah bersuara.
Pernah sekali bapak bersuara, yang ada ibuku malah menaikkan suaranya dua kali
lipat lebih keras dibandingkan biasanya. Tak hanya itu, piring-piring pun
bertebaran di rumah. Pecah semuanya. Pecah berkeping-keping usai menjadi
sasaran amukan ibuku.
Sejak itu, bapak tak lagi bersuara.
Bapak selalu diam ketika ibuku mengeluarkan segala perintahnya di rumah. Tak
ada satupun dari anak-anaknya yang berani mengeluarkan pendapatnya di rumah.
Kalau kami nekat, hukuman berat menanti.
***
Satu per satu kakak-kakakku pergi
dari rumah. Ada yang dititipkan ke kakek-nenekku di Jawa dan ada yang diizinkan
pergi merantau. Tapi semua peraturan itu hanya berlaku bagi anak laki-laki.
Sementara kami, aku dan Vina, adikku, tetap diwajibkan tinggal di rumah, dan
tak diizinkan bekerja jauh dari rumah.
Padahal saat itu aku mendapatkan
pekerjaan yang lumayan bagus di Jakarta, hanya dengan berbekal ijazah SMA-ku.
Tapi bisa ditebak, sebuah perintah larangan langsung turun, begitu aku
mengutarakan keinginanku untuk pergi dari rumah.
“Anak perempuan tak baik berjauhan
dari keluarga. Nanti saja kalau sudah ada suami, baru boleh pergi kemanapun
yang kau suka,” ujar ibuku. Tapi, bagaimana aku bisa punya suami? Bergaul
dengan teman sebaya pun aku jarang, apalagi Vina. Belum lagi, wajah kami berdua
yang tak menarik.
Hidup kami hanya diisi kegiatan
mengurus Indra, adik paling bontot yang memiliki keterbelakangan mental. Mulai
dari memandikannya, memakaikannya baju, hingga ke urusan kamar mandi.
Sifat otoriter ibuku jugalah yang
membuat adikku ini tak bisa mandiri. Padahal, tubuh bagian kanannya masih bisa
berfungsi normal. Kalau saja, dia dididik untuk mengurus dirinya sendiri, dia
pasti bisa mandiri, paling tidak mengurus dirinya sendiri.
Tapi ibu tak pernah tega
melakukannya. Sebuah alasan klise selalu diusungnya. “Kasihan adikmu, kamu kan
masih bisa mengurusnya. Ibu juga masih bisa, apalagi coba?” tegas ibu. Seperti
biasa, kami tak boleh membantahnya.
Sayang ibu lupa, ketika waktu
berlalu, ibu semakin tua, dan Indra semakin besar. Ibu pasti lupa kalau separuh
tubuh Indra masih bisa berfungsi normal, jadi ibu tak akan kuat membopongnya
berjalan, seiring dengan usia yang menggerogotinya.
Jadi siapa yang bakal jadi korban?
Jawabannya tak sukar ditebak. Hanya aku dan Vina. Kami berdua-lah yang harus
mengurusnya. Siapa lagi? Tak mungkin kami membiarkan bapak untuk mengurus
Indra. Bapak pun sudah mulai sakit-sakitan.
***
Kondisi Bapak jugalah yang akhirnya
memaksa kami sekeluarga untuk meninggalkan tanah rantau dan kembali ke desa.
Paling tidak, dengan uang pensiun bapak, kami masih bisa membiayai kehidupan
kami sehari-hari.
Di tengah segala kesulitan itu, ibu
bukannya berubah. Dengan gengsinya yang masih tinggi, ibu terus berusaha
menutupi kekurangan kami. Memang, almarhum kakek adalah tokoh terpandang di
desa ini. Tapi itu semua sudah menjadi masa lalu. Sayangnya, masa lalu itu
masih membuai ibu, yang tetap tak ingin kehilangan gengsinya.
Rumah kakek boleh besar dan megah.
Tapi kemegahan itu sudah lapuk digerogoti waktu. Catnya sudah banyak yang
mengelupas. Kayunya pun sudah dimakan rayap. Kamar-kamar pun sudah banyak yang
tak bisa dihuni. Hanya tertinggal satu kamar yang masih layak dihuni. Itupun
dengan cat yang sudah mengelupas di mana-mana.
Tak ada pilihan lain. Kami berlima
harus tidur dalam satu kamar. Ya, bapak-ibu, aku, Vina, dan Indra harus tidur
sekamar. Bisa dibayangkan betapa sumpeknya kamar itu. Belum lagi Indra yang
selalu sembarangan pipis di kamar, jika dia sudah tak mampu menahannya lagi.
Kamar yang sumpek sekaligus jorok.
Kondisi itu tentu saja semakin
memperburuk kesehatan bapak. Tak butuh waktu lama setelah memutuskan kembali ke
desa, bapak akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Bapak meninggal.
Kepergian bapak membuat ibu semakin
berkuasa atas kami berdua. Kami harus bergantian mengurus Indra dan mengurus
dapur bersama ibu. Ibu benar-benar tak memedulikan masa depanku dan Vina. Masa
depan kami berdua sudah ditentukan. Mengurus Indra sampai tua. Kami tak
diizinkan menikah dan mencari kebahagiaan kami sendiri. Semua sudah digariskan
ibuku. Ibuku sudah menjadi Tuhan bagi kami berdua.
***
Hingga hari itu akhirnya tiba.
Dengan perlahan, Vina mengutarakan niatnya untuk menikah. Berita itu bagai
petir di siang bolong bagiku. Vina menikah? Lalu dengan siapa aku harus
mengurus Indra? Hanya aku kan pilihan terakhir?
Seperti biasa, ibu menentang
keinginan itu. Tapi entah mengapa, lama-lama dia luluh juga. Mungkin juga usia
yang menggerogoti kekerasan hatinya. Ibu akhirnya menyetujui keinginan Vina
untuk menikah, dan dibawa pergi suaminya yang tinggal di luar kota.
Lalu hanya aku? Tinggal aku? Cuma
aku yang tak punya masa depan. Semua saudaraku sudah menjemput masa depannya masing-masing.
Jauh dari otoritas ibu. Sementara aku masih ada di bawah cengkeraman ibu.
Tapi, aku tak boleh mengeluarkan
suara. Aku tak boleh protes. Setiap hari aku mengurus Indra, mulai dari dia
bangun hingga tidur. Ibu sudah tak kuat lagi melakukannya. Ibu hanya kebagian
mengurus dapur dan memasak buat kami.
***
Keputusan itu membuat aku terus
bersama Indra selama 24 jam. Paling aku hanya sempat membantu ibu di dapur
sebelum akhirnya aku kembali mengurus Indra.
Berada 24 jam bersama Indra tentu
saja membuatku tak sempat melihat dunia luar. Aku harus bergantian dengan ibu
untuk menjaga Indra. Kalau ibu menjaga Indra, berarti aku ada di dapur. Aku
hanya sekali-kali saja keluar rumah, itupun untuk menghadiri acara keluarga
besar dan waktunya pun sangat dibatasi ibuku.
Aku benar-benar terkungkung dalam
duniaku bersama Indra. Di tengah segala keterbatasannya, Indra terkadang
menjadi hiburan tersendiri buatku. Senang rasanya melihat dia tertawa
terbahak-bahak saat menonton televisi, meski dia sama sekali tak mengerti
artinya. Atau ketika melihat senyumnya saat dia tertidur dan bermimpi. Ah,
menyenangkan.
Sebagai wanita normal, tentu aku
membutuhkan belaian kasih sayang dari laki-laki. Indra seakan mengerti
kegundahanku. Tak jarang dia menghiburku dengan caranya sendiri. Dia sering
tiba-tiba mengelus rambutku ketika aku menangis diam-diam di kamar. Dia seakan
tahu, aku sudah mengorbankan hidupku untuk merawatnya sampai tua. Dia juga
tahu, aku tak berhak memutuskan hidupku sendiri. Semua karena didikan ibu yang
salah untuk Indra.
Di tengah segala keterbatasannya,
Indra benar-benar bisa mengerti aku. Mengerti kebutuhanku untuk berbagi dengan
seseorang. Mengerti kebutuhanku untuk disayang. Walau hanya berupa elusan di
rambutku, tapi itu berarti banyak untukku. Sangat berarti....
Hingga suatu ketika.
Ibuku barusan pergi ke sebuah tempat
hajatan saudara di luar kota. Otomatis, aku harus menjaga Indra. Ditinggal
hanya berdua di rumah, untuk jangka waktu lama, membuatku kembali meratapi
nasibku. Sama sekali tak ada peluang untuk membantah keputusan ibu. Tak ada.
Tak terasa, air mata kembali menetes
di pipiku. Air mata yang sebenarnya tak berguna. Untuk apa aku mengeluarkan air
mata kalau semuanya sia-sia. Ibu tak akan mungkin mengubah keputusannya!
Hatiku pun semakin sendu rasanya
ketika mendengar hujan turun deras di luar rumah. Di kamar, Indra hanya bisa
menatapku. Dia pasti mengerti kegundahanku. Dia pasti ingin menghiburku dengan
caranya sendiri.
Secara perlahan, tangannya mengelus
rambutku. Dia juga mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Dia seakan membaca semua
kesedihanku dan perlahan memelukku. Lama-lama aku pun lupa daratan. Sebagai
wanita dewasa yang bisa dibilang sangat kuper, aku lupa kalau laki-laki yang
ada di depanku ini, meski cacat, adalah adikku sendiri!
Tak ada kalimat yang lebih
menjijikkan untuk mendeskripsikan kondisiku saat ini selain dosa besar yang
baru aku lakukan. Aku hanya bisa menatap Indra, yang hanya bengong melihatku.
Aku juga tak bisa berkata apa-apa.
Air mata masih membasahi pipiku ketika aku langsung berlari menuju ke kamar
mandi. Aku ingin mati, aku ingin menghabisi hidupku yang penuh dosa ini. Aku
sendiri merasa jijik pada tubuhku. Tubuh yang sudah dinodai adikku sendiri. Aku
melakukan incest kepada adikku
sendiri. Sungguh, masa depan yang aku dambakan selama ini, malah kuhempaskan
dengan tanganku sendiri.
Air mulai menggenangi kamar mandi.
Pisau yang sudah kuambil dari dapur tadi masih kupegang. Aku benar-benar ingin
menghabisi hidupku sendiri. Tapi, kenapa niat itu tak juga terlaksana? Aku
malah punya niat busuk lain. Membunuh ibuku.
***
Langkahku benar-benar terasa ringan.
Koper berat yang kubawa pun terasa sangat ringan. Aku melangkahkan kakiku ke
terminal untuk ke luar dari kota laknat ini. Ibuku sudah tak ada. Indra?
Biarlah Tuhan yang mengurusnya. Aku benar-benar ingin menjemput masa depanku
sendiri.
Tapi, mengapa orang-orang di
terminal ini berlarian? Lalu, sayup-sayup kudengar suara sirene polisi. Aduh,
ternyata polisi mendekatiku dan menangkapku. Percuma aku meronta, tangan mereka
begitu kuat mencengkeramku. Baru saja aku peroleh kebebasanku setelah terbebas
dari ibuku, sekarang masa depanku benar-benar aku gadaikan, dengan tanganku
sendiri.
Aku tak ingat apa-apa lagi. Aku
hanya mendapati diriku menjalani berbagai pemeriksaan hingga diajukan ke
pengadilan. Selama berbulan-bulan aku benar-benar pasrah, hingga akhirnya
sebuah vonis pengadilan dijatuhkan buatku. Hukuman mati.
Ibuku ternyata tetap menentukan masa
depanku, kendati aku sudah membunuhnya dengan tanganku sendiri. Di alam sana,
dia pasti menertawakan keputusanku untuk menghabisi nyawanya. Ada atau tak ada
ibuku di sisiku, aku tetap tak punya masa depan.
Tapi, dimana Indra? Bagaimana nasibnya
sekarang. Aku tak tahu. Dia juga tak pernah menjengukku di tahanan. Aku pun
bertanya kepada pengacaraku. Sebuah jawaban mengejutkan meluncur dari mulutnya.
“Kenapa mbak menanyakan itu?
Bukannya mbak sudah....?” pengacaraku tak melanjutkan kalimatnya. Aku langsung
menangis histeris. Kapan aku membunuhnya? Kapan aku membunuh adikku sendiri?
Lalu siapa yang dulu memegang tanganku dulu, berharap aku tak harus pergi?
Apakah peristiwa incest dengan Indra
hanya ada di fantasiku semata? Apa aku benar-benar melakukannya? Kalau tidak,
mengapa aku membunuh Indra? Mengapa???
Seribu pertanyaan yang hanya bisa
kujawab dengan lolongan histeris yang panjang. Dan ibuku pun semakin tersenyum
lebar di alam sana. Tertawa. Menertawakan penderitaanku, yang tak lagi punya
masa depan. Persis seperti yang diinginkannya… (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar