Rabu, 06 April 2016

Ibuku, Kehancuranku (A Fiction)



            “JLEBBBBB!!!!!!!!!” Akhirnya pisau itu menancap di dada ibuku. Matanya nanar menatapku. Tak ada suara apapun keluar dari mulutnya yang ternganga. Dia tak percaya aku bisa melakukan itu. Dia hanya bisa memegangi dadanya yang sudah bersimbah darah dan tergeletak di lantai kamar. Darah pun membasahi kebaya yang dipakainya.
            Mata ibuku tetap menghujamku saat tubuhnya masih mengejang akibat kesakitan hebat di dadanya. Dan nanar mata itu tak juga surut ketika dia akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di dunia. Dia mati. Ibuku mati.
            Senyum kepuasan pun segera mengembang di wajahku.Tak ada penyesalan sedikitpun di kepalaku. Malah sebuah kelegaan luar biasa terselip di dadaku sekarang. Ibuku sudah tak ada. Ibuku sudah mati. Tak ada lagi ibuku yang setiap saat selalu berkuasa atas diriku selama 30 tahun aku hidup. Tak ada lagi segala perintah yang selalu mengatur kehidupanku selama ini. Aku bebas. Bebas sebebas-bebasnya. Aku bisa melanjutkan hidup ini. Terasa indah rasanya, karena semua akan kujalani tanpa ibuku. Tanpa monster itu.
            Tak ada kebingungan atau ketakutan apapun muncul di benakku. Mayat ibu akan kutinggal di kamar terkutuk ini. Aku akan pergi. Minggat dari rumah ini. Sejauh-jauhnya. Tak ada lagi yang kini menghalangiku.
            Kubuka pintu lemari tua itu. Setumpuk pakaian sudah kusiapkan di sana. Tinggal aku masukkan ke koper bututku. Semua sudah siap. Cepat-cepat aku masukkan semuanya. Langkahku terasa ringan sekarang. Tak ada lagi yang melarangku pergi. Pergi meninggalkan rumah tua ini.
            Sebuah suara mengagetkanku. Ternyata itu suara Indra, adik bungsuku yang punya keterbelakangan mental. Dia memegang tanganku. Berharap aku tak harus pergi. Dia terus menatapku. Tapi, aku tetap harus pergi. Pendirianku tak boleh goyah sekarang. Meski adik bungsuku itu tak ada lagi yang mengurus, aku tetap harus pergi. Harus. Aku harus mengejar masa depanku. Impianku.

**
            Masa depan. Dua kata ini seakan menghantuiku selama aku hidup di bumi ini. Dua kata yang sudah sewajarnya menjadi hak hidup setiap manusia. Semua orang di dunia ini saling berlomba untuk mengejar masa depan yang lebih baik. Mereka menempuh pendidikan yang mereka inginkan untuk menggapai cita-citanya.
            Tapi itu semua tak berlaku bagiku. Masa depanku sudah ditentukan ibuku sejak kecil. “Sekolah nggak usah tinggi-tinggi. Kamu nggak usah kemana-mana. Cukup turuti semua kata-kata ibu mulai sekarang,” kata ibuku ketika aku berkata ingin bekerja mengumpulkan uang untuk menjejak bangku kuliah.
            Tak ada bantahan keluar dari mulutku. Ibu tak pernah mendidik kedelapan anaknya untuk membantah kata-katanya. Segala sesuatu di rumahku harus berjalan sesuai dengan keinginan ibu. Tak ada yang bisa membantahnya. Termasuk Bapak.
            Bapak selalu kalah di depan ibu. Belum pernah dalam ingatanku, bapak menang dalam segala urusan di rumah. Ibukulah yang menjadi presidennya. Ibukulah yang menjadi ketuanya. Segala keputusan ada di tangannya.
            Pun bapak juga tak pernah bersuara. Pernah sekali bapak bersuara, yang ada ibuku malah menaikkan suaranya dua kali lipat lebih keras dibandingkan biasanya. Tak hanya itu, piring-piring pun bertebaran di rumah. Pecah semuanya. Pecah berkeping-keping usai menjadi sasaran amukan ibuku.
            Sejak itu, bapak tak lagi bersuara. Bapak selalu diam ketika ibuku mengeluarkan segala perintahnya di rumah. Tak ada satupun dari anak-anaknya yang berani mengeluarkan pendapatnya di rumah. Kalau kami nekat, hukuman berat menanti.
           
***
            Satu per satu kakak-kakakku pergi dari rumah. Ada yang dititipkan ke kakek-nenekku di Jawa dan ada yang diizinkan pergi merantau. Tapi semua peraturan itu hanya berlaku bagi anak laki-laki. Sementara kami, aku dan Vina, adikku, tetap diwajibkan tinggal di rumah, dan tak diizinkan bekerja jauh dari rumah.
            Padahal saat itu aku mendapatkan pekerjaan yang lumayan bagus di Jakarta, hanya dengan berbekal ijazah SMA-ku. Tapi bisa ditebak, sebuah perintah larangan langsung turun, begitu aku mengutarakan keinginanku untuk pergi dari rumah.
            “Anak perempuan tak baik berjauhan dari keluarga. Nanti saja kalau sudah ada suami, baru boleh pergi kemanapun yang kau suka,” ujar ibuku. Tapi, bagaimana aku bisa punya suami? Bergaul dengan teman sebaya pun aku jarang, apalagi Vina. Belum lagi, wajah kami berdua yang tak menarik.
            Hidup kami hanya diisi kegiatan mengurus Indra, adik paling bontot yang memiliki keterbelakangan mental. Mulai dari memandikannya, memakaikannya baju, hingga ke urusan kamar mandi.
            Sifat otoriter ibuku jugalah yang membuat adikku ini tak bisa mandiri. Padahal, tubuh bagian kanannya masih bisa berfungsi normal. Kalau saja, dia dididik untuk mengurus dirinya sendiri, dia pasti bisa mandiri, paling tidak mengurus dirinya sendiri.
            Tapi ibu tak pernah tega melakukannya. Sebuah alasan klise selalu diusungnya. “Kasihan adikmu, kamu kan masih bisa mengurusnya. Ibu juga masih bisa, apalagi coba?” tegas ibu. Seperti biasa, kami tak boleh membantahnya.
            Sayang ibu lupa, ketika waktu berlalu, ibu semakin tua, dan Indra semakin besar. Ibu pasti lupa kalau separuh tubuh Indra masih bisa berfungsi normal, jadi ibu tak akan kuat membopongnya berjalan, seiring dengan usia yang menggerogotinya.
            Jadi siapa yang bakal jadi korban? Jawabannya tak sukar ditebak. Hanya aku dan Vina. Kami berdua-lah yang harus mengurusnya. Siapa lagi? Tak mungkin kami membiarkan bapak untuk mengurus Indra. Bapak pun sudah mulai sakit-sakitan.

***
            Kondisi Bapak jugalah yang akhirnya memaksa kami sekeluarga untuk meninggalkan tanah rantau dan kembali ke desa. Paling tidak, dengan uang pensiun bapak, kami masih bisa membiayai kehidupan kami sehari-hari.
            Di tengah segala kesulitan itu, ibu bukannya berubah. Dengan gengsinya yang masih tinggi, ibu terus berusaha menutupi kekurangan kami. Memang, almarhum kakek adalah tokoh terpandang di desa ini. Tapi itu semua sudah menjadi masa lalu. Sayangnya, masa lalu itu masih membuai ibu, yang tetap tak ingin kehilangan gengsinya.
            Rumah kakek boleh besar dan megah. Tapi kemegahan itu sudah lapuk digerogoti waktu. Catnya sudah banyak yang mengelupas. Kayunya pun sudah dimakan rayap. Kamar-kamar pun sudah banyak yang tak bisa dihuni. Hanya tertinggal satu kamar yang masih layak dihuni. Itupun dengan cat yang sudah mengelupas di mana-mana.
            Tak ada pilihan lain. Kami berlima harus tidur dalam satu kamar. Ya, bapak-ibu, aku, Vina, dan Indra harus tidur sekamar. Bisa dibayangkan betapa sumpeknya kamar itu. Belum lagi Indra yang selalu sembarangan pipis di kamar, jika dia sudah tak mampu menahannya lagi. Kamar yang sumpek sekaligus jorok.
            Kondisi itu tentu saja semakin memperburuk kesehatan bapak. Tak butuh waktu lama setelah memutuskan kembali ke desa, bapak akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Bapak meninggal.
            Kepergian bapak membuat ibu semakin berkuasa atas kami berdua. Kami harus bergantian mengurus Indra dan mengurus dapur bersama ibu. Ibu benar-benar tak memedulikan masa depanku dan Vina. Masa depan kami berdua sudah ditentukan. Mengurus Indra sampai tua. Kami tak diizinkan menikah dan mencari kebahagiaan kami sendiri. Semua sudah digariskan ibuku. Ibuku sudah menjadi Tuhan bagi kami berdua.

***
            Hingga hari itu akhirnya tiba. Dengan perlahan, Vina mengutarakan niatnya untuk menikah. Berita itu bagai petir di siang bolong bagiku. Vina menikah? Lalu dengan siapa aku harus mengurus Indra? Hanya aku kan pilihan terakhir?
            Seperti biasa, ibu menentang keinginan itu. Tapi entah mengapa, lama-lama dia luluh juga. Mungkin juga usia yang menggerogoti kekerasan hatinya. Ibu akhirnya menyetujui keinginan Vina untuk menikah, dan dibawa pergi suaminya yang tinggal di luar kota.
            Lalu hanya aku? Tinggal aku? Cuma aku yang tak punya masa depan. Semua saudaraku sudah menjemput masa depannya masing-masing. Jauh dari otoritas ibu. Sementara aku masih ada di bawah cengkeraman ibu.
            Tapi, aku tak boleh mengeluarkan suara. Aku tak boleh protes. Setiap hari aku mengurus Indra, mulai dari dia bangun hingga tidur. Ibu sudah tak kuat lagi melakukannya. Ibu hanya kebagian mengurus dapur dan memasak buat kami.
           
***
            Keputusan itu membuat aku terus bersama Indra selama 24 jam. Paling aku hanya sempat membantu ibu di dapur sebelum akhirnya aku kembali mengurus Indra.
            Berada 24 jam bersama Indra tentu saja membuatku tak sempat melihat dunia luar. Aku harus bergantian dengan ibu untuk menjaga Indra. Kalau ibu menjaga Indra, berarti aku ada di dapur. Aku hanya sekali-kali saja keluar rumah, itupun untuk menghadiri acara keluarga besar dan waktunya pun sangat dibatasi ibuku.
            Aku benar-benar terkungkung dalam duniaku bersama Indra. Di tengah segala keterbatasannya, Indra terkadang menjadi hiburan tersendiri buatku. Senang rasanya melihat dia tertawa terbahak-bahak saat menonton televisi, meski dia sama sekali tak mengerti artinya. Atau ketika melihat senyumnya saat dia tertidur dan bermimpi. Ah, menyenangkan.
            Sebagai wanita normal, tentu aku membutuhkan belaian kasih sayang dari laki-laki. Indra seakan mengerti kegundahanku. Tak jarang dia menghiburku dengan caranya sendiri. Dia sering tiba-tiba mengelus rambutku ketika aku menangis diam-diam di kamar. Dia seakan tahu, aku sudah mengorbankan hidupku untuk merawatnya sampai tua. Dia juga tahu, aku tak berhak memutuskan hidupku sendiri. Semua karena didikan ibu yang salah untuk Indra.
            Di tengah segala keterbatasannya, Indra benar-benar bisa mengerti aku. Mengerti kebutuhanku untuk berbagi dengan seseorang. Mengerti kebutuhanku untuk disayang. Walau hanya berupa elusan di rambutku, tapi itu berarti banyak untukku. Sangat berarti....
            Hingga suatu ketika.
            Ibuku barusan pergi ke sebuah tempat hajatan saudara di luar kota. Otomatis, aku harus menjaga Indra. Ditinggal hanya berdua di rumah, untuk jangka waktu lama, membuatku kembali meratapi nasibku. Sama sekali tak ada peluang untuk membantah keputusan ibu. Tak ada.
            Tak terasa, air mata kembali menetes di pipiku. Air mata yang sebenarnya tak berguna. Untuk apa aku mengeluarkan air mata kalau semuanya sia-sia. Ibu tak akan mungkin mengubah keputusannya!
            Hatiku pun semakin sendu rasanya ketika mendengar hujan turun deras di luar rumah. Di kamar, Indra hanya bisa menatapku. Dia pasti mengerti kegundahanku. Dia pasti ingin menghiburku dengan caranya sendiri.
            Secara perlahan, tangannya mengelus rambutku. Dia juga mendekatkan kepalanya ke kepalaku. Dia seakan membaca semua kesedihanku dan perlahan memelukku. Lama-lama aku pun lupa daratan. Sebagai wanita dewasa yang bisa dibilang sangat kuper, aku lupa kalau laki-laki yang ada di depanku ini, meski cacat, adalah adikku sendiri!
            Tak ada kalimat yang lebih menjijikkan untuk mendeskripsikan kondisiku saat ini selain dosa besar yang baru aku lakukan. Aku hanya bisa menatap Indra, yang hanya bengong melihatku.
            Aku juga tak bisa berkata apa-apa. Air mata masih membasahi pipiku ketika aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Aku ingin mati, aku ingin menghabisi hidupku yang penuh dosa ini. Aku sendiri merasa jijik pada tubuhku. Tubuh yang sudah dinodai adikku sendiri. Aku melakukan incest kepada adikku sendiri. Sungguh, masa depan yang aku dambakan selama ini, malah kuhempaskan dengan tanganku sendiri.
            Air mulai menggenangi kamar mandi. Pisau yang sudah kuambil dari dapur tadi masih kupegang. Aku benar-benar ingin menghabisi hidupku sendiri. Tapi, kenapa niat itu tak juga terlaksana? Aku malah punya niat busuk lain. Membunuh ibuku.

***
            Langkahku benar-benar terasa ringan. Koper berat yang kubawa pun terasa sangat ringan. Aku melangkahkan kakiku ke terminal untuk ke luar dari kota laknat ini. Ibuku sudah tak ada. Indra? Biarlah Tuhan yang mengurusnya. Aku benar-benar ingin menjemput masa depanku sendiri.
            Tapi, mengapa orang-orang di terminal ini berlarian? Lalu, sayup-sayup kudengar suara sirene polisi. Aduh, ternyata polisi mendekatiku dan menangkapku. Percuma aku meronta, tangan mereka begitu kuat mencengkeramku. Baru saja aku peroleh kebebasanku setelah terbebas dari ibuku, sekarang masa depanku benar-benar aku gadaikan, dengan tanganku sendiri.
            Aku tak ingat apa-apa lagi. Aku hanya mendapati diriku menjalani berbagai pemeriksaan hingga diajukan ke pengadilan. Selama berbulan-bulan aku benar-benar pasrah, hingga akhirnya sebuah vonis pengadilan dijatuhkan buatku. Hukuman mati.
            Ibuku ternyata tetap menentukan masa depanku, kendati aku sudah membunuhnya dengan tanganku sendiri. Di alam sana, dia pasti menertawakan keputusanku untuk menghabisi nyawanya. Ada atau tak ada ibuku di sisiku, aku tetap tak punya masa depan.
            Tapi, dimana Indra? Bagaimana nasibnya sekarang. Aku tak tahu. Dia juga tak pernah menjengukku di tahanan. Aku pun bertanya kepada pengacaraku. Sebuah jawaban mengejutkan meluncur dari mulutnya.
            “Kenapa mbak menanyakan itu? Bukannya mbak sudah....?” pengacaraku tak melanjutkan kalimatnya. Aku langsung menangis histeris. Kapan aku membunuhnya? Kapan aku membunuh adikku sendiri? Lalu siapa yang dulu memegang tanganku dulu, berharap aku tak harus pergi? Apakah peristiwa incest dengan Indra hanya ada di fantasiku semata? Apa aku benar-benar melakukannya? Kalau tidak, mengapa aku membunuh Indra? Mengapa???
            Seribu pertanyaan yang hanya bisa kujawab dengan lolongan histeris yang panjang. Dan ibuku pun semakin tersenyum lebar di alam sana. Tertawa. Menertawakan penderitaanku, yang tak lagi punya masa depan. Persis seperti yang diinginkannya… (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar