SIAPAPUN mengetahui jika Demam Ahok kini sudah melanda Jakarta.
Mulai dari rakyat kecil hingga pemilik kendaraan-kendaraan mewah, semuanya rela
antre demi bisa mengisi formulir di booth-booth Teman Ahok. Tak ubahnya seperti
orang-orang yang hendak antre menonton bioskop untuk melihat film yang mereka
gemari.
Begitulah. Semua terkena demam Ahok.
Meski berbagai isu black campaign
selalu melanda Ahok, semua tak menyurutkan kecintaan penggemar Ahok kepada
gubernur mereka yang tercinta ini. Isu agama, isu rasial, dan berbagai isu lain
digelontorkan untuk menjatuhkan Ahok. Nama Ahok tercemar karena isu-isu
tersebut? Tidak. Ahok tetap menjadi fenomena. Semua ingin membantunya. Untuk tetap
menjadi gubernur.
Meski bukan warga Jakarta, namun
saya getol mendukung Ahok, meski awalnya saya tak menyukai dunia politik. Saya
rajin mengumpulkan KTP yang saya kumpulkan ke posko Teman Ahok sebagai syarat
untuk maju sebagai gubernur melalui jalur independen.
Ternyata bukan hanya saya yang
terkena demam ini. Suatu hari saya naik taxi dari arah Kota Tua, menuju ke
kantor saya. Di sepanjang jalan, saya sibuk membuka media sosial yang
menampilkan video mengenai Teman Ahok. Saat saya asyik menonton video tersebut,
tiba-tiba sopir taksinya menyeletuk.
“Maaf mbak, bukannya saya
bermaksud untuk menguping. Tapi mbak relawan Teman Ahok ya?”
“Oh iya pak. Ngga papa, saya
hanya mengumpulkan KTP temen-temen kantor yang saya kirim ke posko Ahok kok
pak. Kenapa?” tanya saja lagi.
“Anu mbak, kalau boleh saya ikut mengumpulkan fotokopi KTP buat Ahok
ya?”
“Wah dengan senang hati saya
terima.”
“Saya pendukung Ahok mbak. Saya
muslim, tapi saya dukung Ahok, begitu pula dengan keluarga saya. Soalnya saya
hidup di jalan mbak, saya tahu jalan-jalan mana saja yang sekarang kondisinya
lebih baik di zaman Ahok. Misalnya banjir di Jatinegara itu mbak, dulu saya
bingung mesti cari jalan untuk menghindari banjir, tapi sekarang nggak lagi,”
ujarnya berapi-api.
“Saya nggak suka kalau Ahok
diserang-serang gitu, apalagi diserang soal isu SARA. Padahal di agama apapun,
tak ada yang mengajarkan untuk menyerang orang lain. Adanya ajaran untuk selalu
berbuat kebaikan dan menjauhi dosa. Nah, bukannya menyerang orang lain, apalagi
dengan isu SARA itu juga merupakan dosa ya?”
Saya masih tetap
mengangguk-anggukan kepala mendengar celotehan si sopir taksi ini. Mata saya
pun melirik ke papan nama sebagai identitas pengemudi. Legowo. Begitu nama
lengkap bapak itu. Singkat, padat, dan berisi. Nama yang seharusnya diingat
oleh semua pihak yang ingin menyerang Ahok dengan isu SARA maupun isu lainnya.
Legowolah kalian, Ahok memang masih sangat dicintai warganya! Apapun isu
negatif yang kalian sebar, Legowo, saya, dan jutaan warga DKI masih setia
mendukungnya! Semangat Pak Ahok!(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar