SAYA
bukan penganut agama Buddha, tapi terus terang saya mengagumi agama yang satu
ini. Agama yang mengajarkan tentang keiklhasan, ketenangan, ketidakmelekatan,
dan sebagainya. Agama yang mengajarkan mengenai karma, baik itu karma buruk
maupun karma baik.
Karma
baik? Mungkin banyak yang belum merasa familiar dengan istilah karma baik. Yang
banyak diketahui orang-orang adalah karma buruk, yang akan menimpa seseorang
yang sudah berbuat kejahatan terhadap orang lain maupun terhadap alam semesta.
Dia akan mendapatkan ganjaran setimpal atas perbuatan yang dilakukannya, itulah
yang disebut karma buruk.
Namun
karma baik adalah hal baik yang kita petik setelah kita melakukan sebuah
perbuatan baik. Baik itu di kehidupan sekarang atau di kehidupan masa lalu
kita. Begitulah kira-kira pemahaman saya mengenai agama Buddha, yang belum
seberapa ini.
Nah,
karma baik ini saya alami sendiri ketika saya berada di Bali, dua tahun lalu
karena sebuah tugas kantor. Selesai menunaikan semua tugas, saya janjian hendak
bertemu teman saya yang tinggal di Pulau Dewata itu. Kami janjian ketemu di
Beachwalk Kuta.
Sayang,
teman saya itu terlambat datang. Padahal perut saya sudah keroncongan. Akhirnya
dengan membawa bawaan yang lumayan banyak, termasuk koper besar, kamera, dan
tas ransel, saya memilih sebuah restoran di salah satu sudut mall tersebut.
Restoran
tersebut mengharuskan pembelinya untuk membeli voucher terlebih dahulu dan tidak
menerima uang kontan sebagai alat pembayaran. Duh, padahal saya pas nggak bawa
uang cash untuk membeli voucher tersebut. Si mbak kasir mengatakan, sebenarnya
saya bisa membayar menggunakan kartu kredit atau kartu ATM, tapi kelebihan
pembayaran tidak bisa dikembalikan.
Akhirnya
dengan kembali mengangkut barang-barang saya tadi, saya melangkahkan kaki ke
ATM. Tapi mungkin baru 10 langkah, saya sadar kalau telepon pintar saya
ketinggalan di kasir. Saya pun segera balik dan mendapati ponsel tersebut sudah
tak ada di tempat.
Deg.
Saya bingung, saya langsung tanya kasir apakah ada yang menemukan ponsel saya.
Si kasir menggelengkan kepala. Langsung saya melapor kepada manajer restoran
yang langsung sigap membantu saya.
Saya
diminta duduk di salah satu sudut restoran itu untuk menunggu. Tak sampai 30
menit saya menunggu, tiba-tiba manajer restoran itu menghampiri saya.
“Mbak,
ini hape mbak sudah ketemu lagi. Tapi saya mohon, mbak nggak usah ketemu sama
yang ngambil hape mbak ya. Saya tak mau ada ribut-ribut di restoran ini,”
katanya.
Ribut-ribut?
Saya malah bingung. Sebingung saya setelah saya tahu hape saya ternyata bisa
kembali. Saya nggak pernah punya niatan ribut-ribut. Saya malah udah stres
duluan bayangin betapa banyak
data-data di hape saya yang hilang, karena saya sudah pesimis hape saya bisa
kembali ke tangan.
Tapi
hape ini kembali ke tangan saya. Rasanya seperti mukjizat. Hape yang biasanya
langsung hilang begitu ketinggalan, ini bisa kembali utuh. Tak lama setelah
hape saya kembali, teman saya pun datang. Dia juga ikut kaget mendengar kabar
hape saya sempat hilang lalu kembali.
“Wah,
you must have done something good, mbak.
Itu karma baik namanya. Hape yang sempat hilang lalu bisa kembali itu
kemungkinannya kecil. Bisa satu dibanding seribu atau bahkan 10 ribu. Tapi ini
balik. Luar biasa itu namanya. Itulah karma baik,” jelasnya. Maklum teman saya
ini katanya pemeluk buddha yang taat. Katanya lhooo….
Apapun
itu, saya seneng banget hape saya bisa balik. Karma baik? Itu saya aminkan
saja. Satu hal yang pasti, saya tak ingin berhenti berbuat kebaikan, supaya
karma baik itu sudi mampir ke saya lagi….
Amiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnnnnnnnnn….. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar