Minggu, 31 Juli 2016

Yuk Wisata Malam ke Monas!



Monas dari kejauhan. Photo by: Ruri



INGIN menikmati pemandangan malam Jakarta dari ketinggian? Puncak Monas jadi jawabannya. Ya, sejak April lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menawarkan satu hiburan alternatif bagi warga DKI yang ingin menikmati pemandangan malam Jakarta dari ketinggian.
Jika selama ini pengunjung hanya bisa naik ke Monas mulai 08.00 – 16.00 WIB mulai Selasa-Minggu, kini pengunjung bisa naik pada malam hari pukul 19.00 – 22.00 WIB pada Selasa – Jumat dan pukul 19.00 WIB – 00.00 WIB pada Sabtu, Minggu, dan hari libur. Hari Senin digunakan untuk perawat lift dan Monas, supaya tetap bekerja dengan baik.
Namun satu hal yang harus diingat, tiket yang disediakan terbatas, mengingat kapasitas di puncak Monas. Setiap harinya Pemprov DKI hanya menyediakan 1.800 tiket untuk siang hari dan 700 tiket di malam harinya. Pembatasan ini dilakukan demi mengakomodir kapasitas puncak Monas dan supaya satu-satunya lift yang digunakan dapat terawat dengan baik.
Biaya yang diperlukan untuk naik ke puncak Monas ini sangat terjangkau. Anda cukup mengeluarkan dana sebesar lima ribu rupiah untuk masuk ke pelataran dan ke Museum Sejarah Indonesia dan Rp10 ribu untuk bisa naik ke puncak Monas. Jadi totalnya adalah Rp15 ribu.
Namun mengingat jumlah tiket yang terbatas, sebaiknya Anda sudah mengantre untuk mendapatkan tiket setelah pukul 18.00 WIB. Pasalnya, warga DKI yang juga ingin naik ke puncak Monas pada malam hari, jumlahnya tak sedikit, lho! Jadi, sabar-sabar aja ya waktu mengantre naik lift menuju ke puncak, karena satu lift hanya bisa mengangkut maksimal 11 orang.
Di puncak Monas, Anda juga bisa menggunakan teropong yang terletak di empat penjuru arah mata angin. Cukup dengan memasukkan uang koin, Anda bisa menikmati pemandangan malam yang indah dari ketinggian.
Sebelum ke Monas, siapkan juga mental untuk berjalan kaki yang lumayan jauh. Mulai dari pintu gerbang hingga ke puncak Monas membutuhkan energi yang lumayan juga, lho. Tapi jangan khawatir, begitu Anda turun dari Monas, Pemprov DKI sudah menyediakan moda transportasi untuk mengantar Anda kembali ke pintu gerbang Monas.
Oh ya, sebelum Anda turun hingga lantai 1 atau ke pelataran Monas, pastikan dulu untuk mampir ke lantai 2 atau ke cawan Monas, ya. Di bagian cawan Monas ini, Anda bisa berfoto dengan latar belakang Masjid Istiqlal juga lho. Ok, tunggu apalagi? Yuk wisata malam ke Monas!(*)

Salah satu pemandangan Jakarta waktu malam diabadikan dari puncak Monas. Photo by: Ruri



Senin, 04 Juli 2016

Pengalaman Pertama Naik Helikopter


Saya di depan helikopter yang saya naiki. Photo by: Tata

WAKTU masih menunjukkan pukul 04.00 dinihari, ketika saya dan dua teman sudah duduk manis di mobil yang terparkir di halaman Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta. Kami memang sudah harus berada di sana pada pagi buta, karena hendak menjalani proses syuting saat salah satu kapal yang dimiliki kantor tempat saya bekerja melintas di Laut Jawa guna keperluan pembuatan Video Company Profile. Ya, saya akan naik helikopter untuk menjalani proses syuting ini.
Naik helikopter? Saya memang agak norak sebetulnya karena saya belum pernah naik helikopter sebelumnya. Lucunya beberapa waktu sebelum hari H, saya pernah mengatakan kepada seorang teman jika selama menjadi jurnalis, saya sama sekali belum pernah naik helikopter, karena itu saya penasaran sekali ingin naik helikopter. Hihihihi….
Sebenarnya pengalaman saya ini sudah terjadi sekitar tiga tahun lalu, namun entah mengapa saya tak pernah menuliskannya. Ok baiklah, saya akan memulai ceritanya. Persiapan syuting di helikopter tak sesederhana yang dibayangkan. Pasalnya, saya bersama tim harus memastikan jika pada waktu yang sudah ditentukan, kapal harus melintas di koordinat tertentu dan helikopter kami harus melintas tepat di atasnya guna mendapatkan gambar yang bagus.
Saya juga tiba-tiba harus mempelajari peta Laut Jawa guna mengetahui pergerakan kapal yang akan kami rekam. Padahal seumur-umur saya benci sekali dengan yang namanya pelajaran Geografi, apalagi ketidaksukaan saya tersebut seperti mendapat pembenaran dari kalimat ini, Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read Maps. Ya sudah, saya paling menyerah kalau diminta membaca peta. Hahaha!
Persiapan  ini sudah dilakukan beberapa bulan sebelumnya. Sudah tak terhitung lagi berapa kali saya mesti berkoordinasi dengan Departemen terkait di kantor saya dan kapten kapal yang bertugas. Saya juga harus mencari vendor penyedia sewa helikopter yang termurah. Beruntung saya memiliki sepupu seorang pilot yang merekomendasikan vendor tersebut, dan dengan harga miring tentunya.
Setelah menyelesaikan seluruh pembayaran dengan vendor tersebut, karena helikopter tidak akan terbang jika semua pembayaran belum selesai, saya akhirnya naik helikopter. Awalnya saya ragu, karena sama sekali belum pernah naik helikopter sebelumnya. Apalagi sebelum terbang, pilot sudah bertanya berapa total berat badan kami bertiga, apakah sesuai dengan daya tampung helikopter tersebut. Beruntung, total berat badan kami bertiga memenuhi syarat untuk naik helikopter.
Sebelum naik helikopter pun, saya dan dua kameramen yang menyertai saya harus memasang berbagai peralatan rekam di beberapa bagian badan helikopter, supaya kami bisa mendapatkan gambar dari berbagai angle. Proses pemasangan memakan waktu sekitar satu jam. Setelah memastikan semuanya terpasang dengan baik, kami pun segera bersiap terbang.

CUACA MENDUNG

Cuaca mendung yang terlihat dari helikopter. Photo by: Ruri

Prakiraan cuaca di Bandara Halim memang cerah. Namun Pak Dodi, pilot yang bertugas menerbangkan kami, mengatakan, meski di darat cerah, belum tentu cerah kondisi cuaca di laut nanti. Saya hanya bisa berdoa, semoga cuaca mendukung proses syuting ini.
Belum lagi kami terbang, sebuah masalah baru sudah muncul. Kameramen yang saya bawa butuh untuk merekam pergerakan kapal dari pintu helikopter yang terbuka. Sementara kalau pintu helikopter sudah dibuka sebelum terbang, kami akan dikenakan biaya tambahan oleh pihak bandara.
Saya sudah memastikan kalau kantor saya tak akan mengeluarkan dana tambahan supaya pintu helikopter dibuka demi proses syuting ini. Akhirnya, Pak Dodi memberikan solusi dengan membawa salah satu teknisi helikopter ikut terbang. Nantinya teknisi tersebut akan diminta untuk melepas pintu helikopter di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, dan menjaga pintu tersebut sementara kami terbang menjalani proses syuting. Semua pun menganggukkan kepala tanda setuju.
Setelah semua bersiap di dalam helikopter, Pak Dodi pun bersiap menerbangkannya. Sungguh, saya yang takut ketinggian ini benar-benar diuji keberaniannya saat menaiki helikopter tersebut. Ketika helikopter perlahan naik, otomatis saya yang duduk di samping pilot harus disuguhi pemandangan di sisi kiri dan depan saya melalui kaca. Keringat dingin membanjiri tangan saya…. Duh!
Saya benar-benar nervous. Beruntung Pak Dodi mengetahuinya dan mengajak saya mengobrol sepanjang penerbangan. Kami juga harus mampir ke Pulau Onrust selama kurang lebih 10 menit sebelum menuju ke Laut Jawa supaya bisa berada tepat di atas kapal.
Teknisi tersebut harus cepat-cepat melepas pintu karena saya hanya menyewa helikopter itu selama dua jam, tidak kurang dan tidak lebih. Waktu dua jam itu kami perkirakan cukup untuk menuju ke atas kapal, proses syuting, dan kembali lagi ke Bandara Halim. Jadi kami harus benar-benar memaksimalkan waktu yang tersedia.
Usai melepas pintu, kami berempat segera terbang ke titik koordinat yang sudah disepakati. Benar saja, begitu kami bisa berkomunikasi dengan kapten kapal, cuaca sudah sangat mendung di atas laut. Kami pun ragu-ragu, namun semua harus dipertaruhkan. Pak Dodi juga harus mengambil resiko untuk nekad terbang diantara awan-awan yang mendung.
Uniknya, di bagian kanan kapal cuaca sangat cerah, namun sebaliknya di bagian kiri jauh kapal, cuaca sangatlah mendung. Jadi kami memilih untuk mengambil gambar dari sisi kanan, meski kami juga terkadang harus mengambil gambar dari sisi kiri. Nah, di sisi kiri inilah, nyawa kami menjadi taruhan karena mendung menggelayut dan mulai menumpahkan air hujan. Melihat kondisi tersebut, Pak Dodi tak butuh waktu lama untuk segera melakukan manuver ke sisi kanan kapal. Jadi, helikopter yang kami naiki tak terus terguncang-guncang akibat pengaruh cuaca buruk.
Sekitar satu jam lamanya, kami berputar-putar di atas kapal untuk mengambil kapal yang tengah melintas. Namun waktu satu jam itu terasa sangat lama karena rasa khawatir yang melanda akibat cuaca buruk yang terjadi selama proses syuting.
Beruntung, dengan semua keterbatasan, kami akhirnya berhasil menyelesaikan proses syuting tersebut dan kembali ke Pulau Onrust untuk memasang pintu helikopter sekaligus menjemput teknisi helikopter yang ditinggal di sana. Usai memasang pintu, kami pun segera kembali ke Halim.
Sungguh, rasanya begitu menyenangkan ketika helikopter berhasil mendarat, saya pun merasa lega, karena pengalaman naik helikopter ini sungguh berbeda dengan pengalaman naik pesawat komersil. Badan helikopter yang kecil sungguh tak sebanding dengan badan pesawat komersial yang besar. Belum lagi guncangan-guncangan yang kami alami akibat cuaca buruk yang melanda.
Well, apapun itu, saya sudah mengalami bagaimana rasanya naik helikopter, meski saya tak tahu kapan saya akan memiliki kesempatan untuk kembali menaiki moda transportasi yang satu itu lagi. Tetap semangat!(*)



Minggu, 03 Juli 2016

Yuk Jalan-Jalan ke Baduy Dalam!

Saya dengan Ralim, salah satu warga asli Baduy Dalam. Foto by: Ajun


“KAMU nggak papa, kan? Jarimu masih utuh kan? Kamu nggak diapa-apain kan di sana?”. “Di sana mandinya gimana? Makannya gimana? Tidurnya gimana? Nggak ada listrik ya? Nggak bisa motret ya? Nggak boleh pake sepatu ya? Nanti jalannya jauh nggak?”
Begitulah kira-kira sederet pertanyaan dari teman-teman yang saya dapatkan sebelum dan sesudah saya berkunjung ke Baduy, Lebak, Banten, beberapa waktu lalu. Sederet pertanyaan yang saya sendiri bingung menjawabnya. Karena semua yang dibayangkan oleh teman-teman saya itu sama sekali tak perlu dikhawatirkan, bahkan tak perlu dipertanyakan, karena everything is fun at Baduy!
Jujur, pertama kali saya mendengar ada trip ke Baduy, memang ada sedikit kekhawatiran yang muncul. Namun, kekhawatiran itu tak lama tergantikan dengan kegembiraan karena saya akan mendapatkan pengalaman baru dengan berkunjung ke sana.
Maklum latar belakang saya sebagai jurnalis sungguh membuat saya selalu ingin melakukan traveling alias jalan-jalan dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru, berjumpa dengan orang-orang baru, dan memperbanyak jaringan pertemanan saya. Karena saya kini menjadi pegawai kantoran, terpaksa saya hanya bisa bepergian pada saat akhir pekan tiba. Well, apapun itu, yang penting saya bisa jalan-jalan ke Baduy!
Hari H pun tiba. Saya menuju ke Stasiun Tanah Abang untuk bertemu dengan anggota rombongan saya yang lain. Setelah semua berkumpul, kami naik Kereta Api Rangkas Jaya hanya dengan ongkos lima ribu rupiah saja.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam, kami pun tiba di Stasiun Rangkas Bitung. Menurut vendor jalan-jalan yang kami gunakan, kami akan segera naik mobil ELF untuk menuju ke Cijahe yang berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari Stasiun Rangkas Bitung.
Ok. Dalam hati saya membayangkan mobil ELF yang bagus dan nyaman untuk dinaiki. Tapi ternyata, jreng-jreng, sebuah mobil ELF butut terpampang di depan mata. Baiklah, saya pasti bisa. Saya pasti mampu. Saya pernah naik mobil lebih butut dari ini. Pasti saya bisa.
Sayang, keyakinan saya tak berbanding lurus dengan kondisi jalan raya menuju ke Cijahe, yang merupakan titik terakhir sebelum berjalan kaki menuju ke Baduy Dalam. Kondisi jalan menuju ke sana sungguh sangat buruk. Kami harus berulangkali terguncang di dalam mobil karena banyak jalan berlubang.
Kondisi itu terasa semakin menyesakkan, karena tak ada AC mobil dan membuat kami harus rela menggunakan udara luar untuk mengurangi pengapnya mobil. Meski kami terguncang-guncang, namun ada beberapa teman yang bisa tidur dengan nyenyak, mungkin lelah karena mesti bangun terlalu pagi sebelum menuju ke stasiun tadi yaaaa….

JULI DAN IDONG

Saya bersama Juli dan Idong di ladang. Foto by: Ajun
Setelah kurang lebih tiga jam terguncang-guncang dalam mobil, kami pun sampai ke Cijahe. Di sini kami langsung disambut dua anak suku Baduy Dalam, Juli dan Idong. Mereka juga yang akan mengawal dan menjadi porter hingga menuju ke Baduy Dalam. Tas ransel yang lumayan berat dan kamera yang harus saya tenteng pun membuat saya memilih menggunakan jasa Juli untuk membawakan tas ransel saya. Hehehehe….
Perjalanan kami pun dimulai. Sebuah papan ucapan selamat datang di perbatasan Baduy pun menyambut kedatangan rombongan kami di Cijahe. Setelah membeli bekal tambahan, kami pun segera mulai berjalan kaki menuju ke Baduy Dalam.
Medan yang tak terlalu mendaki membuat perjalanan ini tak terasa berat. Apalagi melihat Juli dan Idong yang tak mengenakan alas kaki selama perjalanan dan semangat menempuh perjalanan ini, membuat kami yang mengenakan sepatu semakin bersemangat berjalan kaki.
Kami termasuk beruntung mendapatkan vendor yang mengetahui jalur terdekat menuju ke Baduy Dalam, sehingga kami hanya perlu berjalan kaki selama 45 menit. Menurut beberapa teman yang pernah berkunjung ke Baduy, mereka paling tidak harus berjalan kaki selama 5-6 jam guna menuju ke Baduy Dalam. Untuuuunggg......
Sepanjang perjalanan kami habiskan dengan mengobrol satu sama lain, hingga akhirnya perjalanan selama 45 menit itu tak terasa berat. Kami sempat mampir ke ladang yang menjadi lokasi terakhir di mana kami boleh mengambil gambar. Ladang itu sendiri berjarak sekitar 10 menit dari kampung Baduy Dalam.
Aturan pelarangan memotret memang harus benar-benar kami taati. Jangan pernah melanggar apa yang sudah menjadi larangan di Baduy Dalam, hormati kearifan lokal, dan kita sebagai pendatang, pasti akan diterima dengan baik di sana.
Puas mengambil gambar, kami pun tiba di rumah Ayah, salah satu warga asli Baduy Dalam, yang rumahnya akan menjadi tempat kami menginap selama satu malam. Ayah, istri, dan cucu perempuannya ramah menyambut kedatangan kami, yang tiba di sana sekitar pukul 15.00 WIB. Setelah menyimpan bawaan dan sedikit beristirahat, kami pun berjalan keliling kampung Baduy Dalam.
Di kampung tersebut, keaslian masih sangat dijaga. Di sebuah lapangan tempat warga biasa berkumpul bila ada acara, terdapat sebuah bambu panjang yang diletakkan secara melintang. Ketika kami tanya apa fungsi bambu tersebut, Juli menjawab jika bambu tersebut merupakan batas akhir wilayah rumah Pu’un atau kepala suku Baduy Dalam.
Warga biasa maupun pengunjung tidak boleh melewati pembatas tersebut jika tidak memiliki kepentingan untuk bertemu Pu’un. Bagi yang berkepentingan pun, harus menemui dua pejabat di bawah Pu’un untuk mengutarakan maksud dan tujuan bertemu dengan Pu’un. Dua pejabat itulah yang akan menentukan apakah warga atau pengunjung itu boleh bertemu dengan Pu’un. Banyak pertanyaan lain yang kami ajukan kepada Juli, beruntung pria berusia 18 tahun itu selalu dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.

JAGA KEASLIAN
Selesai tur keliling kampung, kami pun kembali ke rumah Ayah. Hari sudah mulai gelap, tapi listrik memang tak disambung ke kampung Baduy Dalam. Kampung ini masih memilih menjaga keasliannya dengan menolak penggunaan listrik dan bahan-bahan kimia di sungai tempat mereka mandi. Jadi kami sebagai pengunjung ya hanya menggunakan air untuk mandi, pun dengan sikat gigi yang tanpa menggunakan pasta gigi.
Selain itu, warga Baduy Dalam juga dilarang menaiki kendaraan dan bersekolah. Seperti Ralim misalnya. Pria berusia sekitar 50 tahun itu pernah diundang datang ke studio Trans7 Jakarta untuk menjalani proses syuting di acara Hitam Putih yang dipandu Deddy Corbuzier.
Karena dilarang menaiki kendaraan, Ralim pun berjalan kaki menuju Jakarta. Perjalanan yang ditempuh selama 3,5 hari itu dilalui melewati jalur kereta sehingga dia tak tersesat. Sepanjang perjalanan, dia tidur di emperan rumah warga atau di masjid. Makanan? Banyak orang sepanjang perjalanan yang senang hati memberinya makanan, jika mengetahui dirinya yang berasal dari Baduy Dalam.
Unik memang. Di tengah arus modernisasi saat ini, masih ada beberapa orang yang menolak kecanggihan teknologi. Amanat Buyut yang diwariskan secara turun-temurun, sangat dijaga kelestariannya oleh warga Baduy Dalam hingga saat ini. Luar biasa.
Kembali ke rumah Ayah. Saat malam menjelang, kami pun siap-siap menyantap makan malam bersama. Sebelum berangkat menuju Baduy, masing-masing dari kami sudah diminta untuk membawa satu liter beras, dua bungkus mi instan, dan satu butir telur. Semua akan kami santap untuk makan malam dan sarapan. Jadi kedatangan kami sama sekali tak memberatkan pemilik rumah.
Dan percayalah, mi instan yang kami santap bersama di tengah temaramnya lampu minyak di rumah Ayah itu menjadi mi instan paling nikmat seluruh dunia. Sederhananya menu kami tak sesederhana pengalaman yang saya dapatkan dengan makan bersama warga Baduy Dalam. Etika dan kesopanan sangat mereka junjung tinggi setiap kali ada tamu berkunjung. Saat sesi makan bersama tiba, mereka tidak akan mengambil makanan terlebih dulu sebelum memastikan seluruh tamu sudah mengambil makanan. Keren bukan?
Setelah makan malam bersama, kami pun kembali mengobrol dan kembali bertanya-tanya kepada Juli, Idong, Ralim, dan Ayah, mengenai seluk-beluk kehidupan warga Baduy Dalam. Mulai dari pertanyaan mengenai agama mereka, cara berpuasa, kehidupan perkawinan, kelahiran anak, hingga kematian. Beruntung, mereka berempat dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
Setelah puas mengobrol, kami pun segera mengambil posisi tidur. Di rumah ukuran sekitar lima kali lima meter tersebut, kami bersepuluh tidur berdampingan. Meski hanya tidur beralaskan tikar, namun kami tak merasakan dingin yang menyengat, dan bisa tidur nyenyak sepanjang malam.

MENGABADIKAN SUNRISE

Sunrise di Baduy Dalam. foto by: Ruri
Waktu masih menunjukkan pukul 05.00 pagi ketika saya terbangun dan ingin segera pergi ke ladang untuk memotret sunrise. Saya pun segera membangunkan teman-teman saya untuk bersiap ke sana. Melihat Juli dan Idong yang tak mengenakan alas kaki, saya pun memutuskan untuk bertelanjang kaki guna menuju ke ladang.
Tapi percayalah, berjalan tanpa mengenakan alas kaki bukanlah pekerjaan yang mudah. Tanah yang basah akibat terpaan hujan di malam sebelumnya, membuat rute menuju ke ladang begitu licin. Mengenakan sepatu tentu akan membuat segalanya lebih mudah, namun saya sudah terlanjur berjalan tanpa alas kaki. Alhasil, saya harus benar-benar berhati-hati sepanjang jalan. Juli dan Idong? Wah, mereka orang asli Baduy Dalam, jadi mereka cepat sekali berjalan meski tanpa mengenakan alas kaki.
Setelah puas memotret, kami segera antre untuk mandi di sungai. Para wanita bisa mandi di sungai dekat rumah Ayah, sementara para pria harus berjalan kaki ke tempat mandi pria yang letaknya agak jauh dari rumah Ayah.
Setelah kami semua selesai mandi, kami pun segera bersiap untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi hari ketika kami berpamitan kepada Ayah dan berjalan keluar dari Baduy Dalam menuju ke Baduy Luar. Waktu yang dibutuhkan untuk berjalan kaki ke Baduy Luar sekitar satu jam. Namun di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan alam yang indah, sehingga perjalanan itu tak terlalu melelahkan.
Di Baduy Luar, kami sempat berfoto-foto, karena di tempat ini tak ada larangan untuk mengambil gambar. Namun kami tak menghabiskan banyak waktu di Baduy Luar karena masih harus menempuh perjalanan selama tiga jam untuk mengejar jadwal kereta pukul 15.00 WIB di Stasiun Rangkas Bitung guna kembali ke Jakarta. Sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan! Terlalu menyenangkan malah, sehingga saya sampai ingin kembali ke sana suatu hari nanti. Semangat!!!(*)