Minggu, 03 Juli 2016

Yuk Jalan-Jalan ke Baduy Dalam!

Saya dengan Ralim, salah satu warga asli Baduy Dalam. Foto by: Ajun


“KAMU nggak papa, kan? Jarimu masih utuh kan? Kamu nggak diapa-apain kan di sana?”. “Di sana mandinya gimana? Makannya gimana? Tidurnya gimana? Nggak ada listrik ya? Nggak bisa motret ya? Nggak boleh pake sepatu ya? Nanti jalannya jauh nggak?”
Begitulah kira-kira sederet pertanyaan dari teman-teman yang saya dapatkan sebelum dan sesudah saya berkunjung ke Baduy, Lebak, Banten, beberapa waktu lalu. Sederet pertanyaan yang saya sendiri bingung menjawabnya. Karena semua yang dibayangkan oleh teman-teman saya itu sama sekali tak perlu dikhawatirkan, bahkan tak perlu dipertanyakan, karena everything is fun at Baduy!
Jujur, pertama kali saya mendengar ada trip ke Baduy, memang ada sedikit kekhawatiran yang muncul. Namun, kekhawatiran itu tak lama tergantikan dengan kegembiraan karena saya akan mendapatkan pengalaman baru dengan berkunjung ke sana.
Maklum latar belakang saya sebagai jurnalis sungguh membuat saya selalu ingin melakukan traveling alias jalan-jalan dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru, berjumpa dengan orang-orang baru, dan memperbanyak jaringan pertemanan saya. Karena saya kini menjadi pegawai kantoran, terpaksa saya hanya bisa bepergian pada saat akhir pekan tiba. Well, apapun itu, yang penting saya bisa jalan-jalan ke Baduy!
Hari H pun tiba. Saya menuju ke Stasiun Tanah Abang untuk bertemu dengan anggota rombongan saya yang lain. Setelah semua berkumpul, kami naik Kereta Api Rangkas Jaya hanya dengan ongkos lima ribu rupiah saja.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam, kami pun tiba di Stasiun Rangkas Bitung. Menurut vendor jalan-jalan yang kami gunakan, kami akan segera naik mobil ELF untuk menuju ke Cijahe yang berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari Stasiun Rangkas Bitung.
Ok. Dalam hati saya membayangkan mobil ELF yang bagus dan nyaman untuk dinaiki. Tapi ternyata, jreng-jreng, sebuah mobil ELF butut terpampang di depan mata. Baiklah, saya pasti bisa. Saya pasti mampu. Saya pernah naik mobil lebih butut dari ini. Pasti saya bisa.
Sayang, keyakinan saya tak berbanding lurus dengan kondisi jalan raya menuju ke Cijahe, yang merupakan titik terakhir sebelum berjalan kaki menuju ke Baduy Dalam. Kondisi jalan menuju ke sana sungguh sangat buruk. Kami harus berulangkali terguncang di dalam mobil karena banyak jalan berlubang.
Kondisi itu terasa semakin menyesakkan, karena tak ada AC mobil dan membuat kami harus rela menggunakan udara luar untuk mengurangi pengapnya mobil. Meski kami terguncang-guncang, namun ada beberapa teman yang bisa tidur dengan nyenyak, mungkin lelah karena mesti bangun terlalu pagi sebelum menuju ke stasiun tadi yaaaa….

JULI DAN IDONG

Saya bersama Juli dan Idong di ladang. Foto by: Ajun
Setelah kurang lebih tiga jam terguncang-guncang dalam mobil, kami pun sampai ke Cijahe. Di sini kami langsung disambut dua anak suku Baduy Dalam, Juli dan Idong. Mereka juga yang akan mengawal dan menjadi porter hingga menuju ke Baduy Dalam. Tas ransel yang lumayan berat dan kamera yang harus saya tenteng pun membuat saya memilih menggunakan jasa Juli untuk membawakan tas ransel saya. Hehehehe….
Perjalanan kami pun dimulai. Sebuah papan ucapan selamat datang di perbatasan Baduy pun menyambut kedatangan rombongan kami di Cijahe. Setelah membeli bekal tambahan, kami pun segera mulai berjalan kaki menuju ke Baduy Dalam.
Medan yang tak terlalu mendaki membuat perjalanan ini tak terasa berat. Apalagi melihat Juli dan Idong yang tak mengenakan alas kaki selama perjalanan dan semangat menempuh perjalanan ini, membuat kami yang mengenakan sepatu semakin bersemangat berjalan kaki.
Kami termasuk beruntung mendapatkan vendor yang mengetahui jalur terdekat menuju ke Baduy Dalam, sehingga kami hanya perlu berjalan kaki selama 45 menit. Menurut beberapa teman yang pernah berkunjung ke Baduy, mereka paling tidak harus berjalan kaki selama 5-6 jam guna menuju ke Baduy Dalam. Untuuuunggg......
Sepanjang perjalanan kami habiskan dengan mengobrol satu sama lain, hingga akhirnya perjalanan selama 45 menit itu tak terasa berat. Kami sempat mampir ke ladang yang menjadi lokasi terakhir di mana kami boleh mengambil gambar. Ladang itu sendiri berjarak sekitar 10 menit dari kampung Baduy Dalam.
Aturan pelarangan memotret memang harus benar-benar kami taati. Jangan pernah melanggar apa yang sudah menjadi larangan di Baduy Dalam, hormati kearifan lokal, dan kita sebagai pendatang, pasti akan diterima dengan baik di sana.
Puas mengambil gambar, kami pun tiba di rumah Ayah, salah satu warga asli Baduy Dalam, yang rumahnya akan menjadi tempat kami menginap selama satu malam. Ayah, istri, dan cucu perempuannya ramah menyambut kedatangan kami, yang tiba di sana sekitar pukul 15.00 WIB. Setelah menyimpan bawaan dan sedikit beristirahat, kami pun berjalan keliling kampung Baduy Dalam.
Di kampung tersebut, keaslian masih sangat dijaga. Di sebuah lapangan tempat warga biasa berkumpul bila ada acara, terdapat sebuah bambu panjang yang diletakkan secara melintang. Ketika kami tanya apa fungsi bambu tersebut, Juli menjawab jika bambu tersebut merupakan batas akhir wilayah rumah Pu’un atau kepala suku Baduy Dalam.
Warga biasa maupun pengunjung tidak boleh melewati pembatas tersebut jika tidak memiliki kepentingan untuk bertemu Pu’un. Bagi yang berkepentingan pun, harus menemui dua pejabat di bawah Pu’un untuk mengutarakan maksud dan tujuan bertemu dengan Pu’un. Dua pejabat itulah yang akan menentukan apakah warga atau pengunjung itu boleh bertemu dengan Pu’un. Banyak pertanyaan lain yang kami ajukan kepada Juli, beruntung pria berusia 18 tahun itu selalu dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.

JAGA KEASLIAN
Selesai tur keliling kampung, kami pun kembali ke rumah Ayah. Hari sudah mulai gelap, tapi listrik memang tak disambung ke kampung Baduy Dalam. Kampung ini masih memilih menjaga keasliannya dengan menolak penggunaan listrik dan bahan-bahan kimia di sungai tempat mereka mandi. Jadi kami sebagai pengunjung ya hanya menggunakan air untuk mandi, pun dengan sikat gigi yang tanpa menggunakan pasta gigi.
Selain itu, warga Baduy Dalam juga dilarang menaiki kendaraan dan bersekolah. Seperti Ralim misalnya. Pria berusia sekitar 50 tahun itu pernah diundang datang ke studio Trans7 Jakarta untuk menjalani proses syuting di acara Hitam Putih yang dipandu Deddy Corbuzier.
Karena dilarang menaiki kendaraan, Ralim pun berjalan kaki menuju Jakarta. Perjalanan yang ditempuh selama 3,5 hari itu dilalui melewati jalur kereta sehingga dia tak tersesat. Sepanjang perjalanan, dia tidur di emperan rumah warga atau di masjid. Makanan? Banyak orang sepanjang perjalanan yang senang hati memberinya makanan, jika mengetahui dirinya yang berasal dari Baduy Dalam.
Unik memang. Di tengah arus modernisasi saat ini, masih ada beberapa orang yang menolak kecanggihan teknologi. Amanat Buyut yang diwariskan secara turun-temurun, sangat dijaga kelestariannya oleh warga Baduy Dalam hingga saat ini. Luar biasa.
Kembali ke rumah Ayah. Saat malam menjelang, kami pun siap-siap menyantap makan malam bersama. Sebelum berangkat menuju Baduy, masing-masing dari kami sudah diminta untuk membawa satu liter beras, dua bungkus mi instan, dan satu butir telur. Semua akan kami santap untuk makan malam dan sarapan. Jadi kedatangan kami sama sekali tak memberatkan pemilik rumah.
Dan percayalah, mi instan yang kami santap bersama di tengah temaramnya lampu minyak di rumah Ayah itu menjadi mi instan paling nikmat seluruh dunia. Sederhananya menu kami tak sesederhana pengalaman yang saya dapatkan dengan makan bersama warga Baduy Dalam. Etika dan kesopanan sangat mereka junjung tinggi setiap kali ada tamu berkunjung. Saat sesi makan bersama tiba, mereka tidak akan mengambil makanan terlebih dulu sebelum memastikan seluruh tamu sudah mengambil makanan. Keren bukan?
Setelah makan malam bersama, kami pun kembali mengobrol dan kembali bertanya-tanya kepada Juli, Idong, Ralim, dan Ayah, mengenai seluk-beluk kehidupan warga Baduy Dalam. Mulai dari pertanyaan mengenai agama mereka, cara berpuasa, kehidupan perkawinan, kelahiran anak, hingga kematian. Beruntung, mereka berempat dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
Setelah puas mengobrol, kami pun segera mengambil posisi tidur. Di rumah ukuran sekitar lima kali lima meter tersebut, kami bersepuluh tidur berdampingan. Meski hanya tidur beralaskan tikar, namun kami tak merasakan dingin yang menyengat, dan bisa tidur nyenyak sepanjang malam.

MENGABADIKAN SUNRISE

Sunrise di Baduy Dalam. foto by: Ruri
Waktu masih menunjukkan pukul 05.00 pagi ketika saya terbangun dan ingin segera pergi ke ladang untuk memotret sunrise. Saya pun segera membangunkan teman-teman saya untuk bersiap ke sana. Melihat Juli dan Idong yang tak mengenakan alas kaki, saya pun memutuskan untuk bertelanjang kaki guna menuju ke ladang.
Tapi percayalah, berjalan tanpa mengenakan alas kaki bukanlah pekerjaan yang mudah. Tanah yang basah akibat terpaan hujan di malam sebelumnya, membuat rute menuju ke ladang begitu licin. Mengenakan sepatu tentu akan membuat segalanya lebih mudah, namun saya sudah terlanjur berjalan tanpa alas kaki. Alhasil, saya harus benar-benar berhati-hati sepanjang jalan. Juli dan Idong? Wah, mereka orang asli Baduy Dalam, jadi mereka cepat sekali berjalan meski tanpa mengenakan alas kaki.
Setelah puas memotret, kami segera antre untuk mandi di sungai. Para wanita bisa mandi di sungai dekat rumah Ayah, sementara para pria harus berjalan kaki ke tempat mandi pria yang letaknya agak jauh dari rumah Ayah.
Setelah kami semua selesai mandi, kami pun segera bersiap untuk pulang. Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi hari ketika kami berpamitan kepada Ayah dan berjalan keluar dari Baduy Dalam menuju ke Baduy Luar. Waktu yang dibutuhkan untuk berjalan kaki ke Baduy Luar sekitar satu jam. Namun di sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan alam yang indah, sehingga perjalanan itu tak terlalu melelahkan.
Di Baduy Luar, kami sempat berfoto-foto, karena di tempat ini tak ada larangan untuk mengambil gambar. Namun kami tak menghabiskan banyak waktu di Baduy Luar karena masih harus menempuh perjalanan selama tiga jam untuk mengejar jadwal kereta pukul 15.00 WIB di Stasiun Rangkas Bitung guna kembali ke Jakarta. Sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan! Terlalu menyenangkan malah, sehingga saya sampai ingin kembali ke sana suatu hari nanti. Semangat!!!(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar