Saya di depan helikopter yang saya naiki. Photo by: Tata |
WAKTU masih menunjukkan pukul 04.00
dinihari, ketika saya dan dua teman sudah duduk manis di mobil yang terparkir
di halaman Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta. Kami memang sudah harus
berada di sana pada pagi buta, karena hendak menjalani proses syuting saat salah
satu kapal yang dimiliki kantor tempat saya bekerja melintas di Laut Jawa guna
keperluan pembuatan Video Company Profile. Ya, saya akan naik helikopter untuk menjalani
proses syuting ini.
Naik
helikopter? Saya memang agak norak sebetulnya karena saya belum pernah naik
helikopter sebelumnya. Lucunya beberapa waktu sebelum hari H, saya pernah
mengatakan kepada seorang teman jika selama menjadi jurnalis, saya sama sekali belum
pernah naik helikopter, karena itu saya penasaran sekali ingin naik helikopter.
Hihihihi….
Sebenarnya
pengalaman saya ini sudah terjadi sekitar tiga tahun lalu, namun entah mengapa
saya tak pernah menuliskannya. Ok baiklah, saya akan memulai ceritanya.
Persiapan syuting di helikopter tak sesederhana yang dibayangkan. Pasalnya, saya
bersama tim harus memastikan jika pada waktu yang sudah ditentukan, kapal harus
melintas di koordinat tertentu dan helikopter kami harus melintas tepat di
atasnya guna mendapatkan gambar yang bagus.
Saya
juga tiba-tiba harus mempelajari peta Laut Jawa guna mengetahui pergerakan
kapal yang akan kami rekam. Padahal seumur-umur saya benci sekali dengan yang
namanya pelajaran Geografi, apalagi ketidaksukaan saya tersebut seperti mendapat
pembenaran dari kalimat ini, Why Men
Don’t Listen and Women Can’t Read Maps. Ya sudah, saya paling menyerah
kalau diminta membaca peta. Hahaha!
Persiapan
ini sudah dilakukan beberapa bulan
sebelumnya. Sudah tak terhitung lagi berapa kali saya mesti berkoordinasi
dengan Departemen terkait di kantor saya dan kapten kapal yang bertugas. Saya
juga harus mencari vendor penyedia
sewa helikopter yang termurah. Beruntung saya memiliki sepupu seorang pilot
yang merekomendasikan vendor tersebut,
dan dengan harga miring tentunya.
Setelah
menyelesaikan seluruh pembayaran dengan vendor
tersebut, karena helikopter tidak akan terbang jika semua pembayaran belum
selesai, saya akhirnya naik helikopter. Awalnya saya ragu, karena sama sekali
belum pernah naik helikopter sebelumnya. Apalagi sebelum terbang, pilot sudah
bertanya berapa total berat badan kami bertiga, apakah sesuai dengan daya
tampung helikopter tersebut. Beruntung, total berat badan kami bertiga memenuhi
syarat untuk naik helikopter.
Sebelum
naik helikopter pun, saya dan dua kameramen yang menyertai saya harus memasang
berbagai peralatan rekam di beberapa bagian badan helikopter, supaya kami bisa
mendapatkan gambar dari berbagai angle.
Proses pemasangan memakan waktu sekitar satu jam. Setelah memastikan semuanya
terpasang dengan baik, kami pun segera bersiap terbang.
CUACA MENDUNG
Cuaca mendung yang terlihat dari helikopter. Photo by: Ruri |
Prakiraan
cuaca di Bandara Halim memang cerah. Namun Pak Dodi, pilot yang bertugas
menerbangkan kami, mengatakan, meski di darat cerah, belum tentu cerah kondisi
cuaca di laut nanti. Saya hanya bisa berdoa, semoga cuaca mendukung proses
syuting ini.
Belum lagi
kami terbang, sebuah masalah baru sudah muncul. Kameramen yang saya bawa butuh
untuk merekam pergerakan kapal dari pintu helikopter yang terbuka. Sementara
kalau pintu helikopter sudah dibuka sebelum terbang, kami akan dikenakan biaya
tambahan oleh pihak bandara.
Saya
sudah memastikan kalau kantor saya tak akan mengeluarkan dana tambahan supaya
pintu helikopter dibuka demi proses syuting ini. Akhirnya, Pak Dodi memberikan
solusi dengan membawa salah satu teknisi helikopter ikut terbang. Nantinya
teknisi tersebut akan diminta untuk melepas pintu helikopter di Pulau Onrust,
Kepulauan Seribu, dan menjaga pintu tersebut sementara kami terbang menjalani
proses syuting. Semua pun menganggukkan kepala tanda setuju.
Setelah
semua bersiap di dalam helikopter, Pak Dodi pun bersiap menerbangkannya.
Sungguh, saya yang takut ketinggian ini benar-benar diuji keberaniannya saat
menaiki helikopter tersebut. Ketika helikopter perlahan naik, otomatis saya
yang duduk di samping pilot harus disuguhi pemandangan di sisi kiri dan depan
saya melalui kaca. Keringat dingin membanjiri tangan saya…. Duh!
Saya
benar-benar nervous. Beruntung Pak
Dodi mengetahuinya dan mengajak saya mengobrol sepanjang penerbangan. Kami juga
harus mampir ke Pulau Onrust selama kurang lebih 10 menit sebelum menuju ke
Laut Jawa supaya bisa berada tepat di atas kapal.
Teknisi
tersebut harus cepat-cepat melepas pintu karena saya hanya menyewa helikopter
itu selama dua jam, tidak kurang dan tidak lebih. Waktu dua jam itu kami perkirakan
cukup untuk menuju ke atas kapal, proses syuting, dan kembali lagi ke Bandara
Halim. Jadi kami harus benar-benar memaksimalkan waktu yang tersedia.
Usai
melepas pintu, kami berempat segera terbang ke titik koordinat yang sudah
disepakati. Benar saja, begitu kami bisa berkomunikasi dengan kapten kapal,
cuaca sudah sangat mendung di atas laut. Kami pun ragu-ragu, namun semua harus
dipertaruhkan. Pak Dodi juga harus mengambil resiko untuk nekad terbang
diantara awan-awan yang mendung.
Uniknya,
di bagian kanan kapal cuaca sangat cerah, namun sebaliknya di bagian kiri jauh
kapal, cuaca sangatlah mendung. Jadi kami memilih untuk mengambil gambar dari
sisi kanan, meski kami juga terkadang harus mengambil gambar dari sisi kiri. Nah, di sisi kiri inilah, nyawa kami
menjadi taruhan karena mendung menggelayut dan mulai menumpahkan air hujan. Melihat
kondisi tersebut, Pak Dodi tak butuh waktu lama untuk segera melakukan manuver
ke sisi kanan kapal. Jadi, helikopter yang kami naiki tak terus
terguncang-guncang akibat pengaruh cuaca buruk.
Sekitar
satu jam lamanya, kami berputar-putar di atas kapal untuk mengambil kapal yang
tengah melintas. Namun waktu satu jam itu terasa sangat lama karena rasa
khawatir yang melanda akibat cuaca buruk yang terjadi selama proses syuting.
Beruntung,
dengan semua keterbatasan, kami akhirnya berhasil menyelesaikan proses syuting
tersebut dan kembali ke Pulau Onrust untuk memasang pintu helikopter sekaligus
menjemput teknisi helikopter yang ditinggal di sana. Usai memasang pintu, kami
pun segera kembali ke Halim.
Sungguh,
rasanya begitu menyenangkan ketika helikopter berhasil mendarat, saya pun
merasa lega, karena pengalaman naik helikopter ini sungguh berbeda dengan
pengalaman naik pesawat komersil. Badan helikopter yang kecil sungguh tak
sebanding dengan badan pesawat komersial yang besar. Belum lagi
guncangan-guncangan yang kami alami akibat cuaca buruk yang melanda.
Well, apapun itu, saya sudah mengalami
bagaimana rasanya naik helikopter, meski saya tak tahu kapan saya akan memiliki
kesempatan untuk kembali menaiki moda transportasi yang satu itu lagi. Tetap
semangat!(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar