Senin, 04 Juli 2016

Pengalaman Pertama Naik Helikopter


Saya di depan helikopter yang saya naiki. Photo by: Tata

WAKTU masih menunjukkan pukul 04.00 dinihari, ketika saya dan dua teman sudah duduk manis di mobil yang terparkir di halaman Bandara Halim Perdanakusumah, Jakarta. Kami memang sudah harus berada di sana pada pagi buta, karena hendak menjalani proses syuting saat salah satu kapal yang dimiliki kantor tempat saya bekerja melintas di Laut Jawa guna keperluan pembuatan Video Company Profile. Ya, saya akan naik helikopter untuk menjalani proses syuting ini.
Naik helikopter? Saya memang agak norak sebetulnya karena saya belum pernah naik helikopter sebelumnya. Lucunya beberapa waktu sebelum hari H, saya pernah mengatakan kepada seorang teman jika selama menjadi jurnalis, saya sama sekali belum pernah naik helikopter, karena itu saya penasaran sekali ingin naik helikopter. Hihihihi….
Sebenarnya pengalaman saya ini sudah terjadi sekitar tiga tahun lalu, namun entah mengapa saya tak pernah menuliskannya. Ok baiklah, saya akan memulai ceritanya. Persiapan syuting di helikopter tak sesederhana yang dibayangkan. Pasalnya, saya bersama tim harus memastikan jika pada waktu yang sudah ditentukan, kapal harus melintas di koordinat tertentu dan helikopter kami harus melintas tepat di atasnya guna mendapatkan gambar yang bagus.
Saya juga tiba-tiba harus mempelajari peta Laut Jawa guna mengetahui pergerakan kapal yang akan kami rekam. Padahal seumur-umur saya benci sekali dengan yang namanya pelajaran Geografi, apalagi ketidaksukaan saya tersebut seperti mendapat pembenaran dari kalimat ini, Why Men Don’t Listen and Women Can’t Read Maps. Ya sudah, saya paling menyerah kalau diminta membaca peta. Hahaha!
Persiapan  ini sudah dilakukan beberapa bulan sebelumnya. Sudah tak terhitung lagi berapa kali saya mesti berkoordinasi dengan Departemen terkait di kantor saya dan kapten kapal yang bertugas. Saya juga harus mencari vendor penyedia sewa helikopter yang termurah. Beruntung saya memiliki sepupu seorang pilot yang merekomendasikan vendor tersebut, dan dengan harga miring tentunya.
Setelah menyelesaikan seluruh pembayaran dengan vendor tersebut, karena helikopter tidak akan terbang jika semua pembayaran belum selesai, saya akhirnya naik helikopter. Awalnya saya ragu, karena sama sekali belum pernah naik helikopter sebelumnya. Apalagi sebelum terbang, pilot sudah bertanya berapa total berat badan kami bertiga, apakah sesuai dengan daya tampung helikopter tersebut. Beruntung, total berat badan kami bertiga memenuhi syarat untuk naik helikopter.
Sebelum naik helikopter pun, saya dan dua kameramen yang menyertai saya harus memasang berbagai peralatan rekam di beberapa bagian badan helikopter, supaya kami bisa mendapatkan gambar dari berbagai angle. Proses pemasangan memakan waktu sekitar satu jam. Setelah memastikan semuanya terpasang dengan baik, kami pun segera bersiap terbang.

CUACA MENDUNG

Cuaca mendung yang terlihat dari helikopter. Photo by: Ruri

Prakiraan cuaca di Bandara Halim memang cerah. Namun Pak Dodi, pilot yang bertugas menerbangkan kami, mengatakan, meski di darat cerah, belum tentu cerah kondisi cuaca di laut nanti. Saya hanya bisa berdoa, semoga cuaca mendukung proses syuting ini.
Belum lagi kami terbang, sebuah masalah baru sudah muncul. Kameramen yang saya bawa butuh untuk merekam pergerakan kapal dari pintu helikopter yang terbuka. Sementara kalau pintu helikopter sudah dibuka sebelum terbang, kami akan dikenakan biaya tambahan oleh pihak bandara.
Saya sudah memastikan kalau kantor saya tak akan mengeluarkan dana tambahan supaya pintu helikopter dibuka demi proses syuting ini. Akhirnya, Pak Dodi memberikan solusi dengan membawa salah satu teknisi helikopter ikut terbang. Nantinya teknisi tersebut akan diminta untuk melepas pintu helikopter di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu, dan menjaga pintu tersebut sementara kami terbang menjalani proses syuting. Semua pun menganggukkan kepala tanda setuju.
Setelah semua bersiap di dalam helikopter, Pak Dodi pun bersiap menerbangkannya. Sungguh, saya yang takut ketinggian ini benar-benar diuji keberaniannya saat menaiki helikopter tersebut. Ketika helikopter perlahan naik, otomatis saya yang duduk di samping pilot harus disuguhi pemandangan di sisi kiri dan depan saya melalui kaca. Keringat dingin membanjiri tangan saya…. Duh!
Saya benar-benar nervous. Beruntung Pak Dodi mengetahuinya dan mengajak saya mengobrol sepanjang penerbangan. Kami juga harus mampir ke Pulau Onrust selama kurang lebih 10 menit sebelum menuju ke Laut Jawa supaya bisa berada tepat di atas kapal.
Teknisi tersebut harus cepat-cepat melepas pintu karena saya hanya menyewa helikopter itu selama dua jam, tidak kurang dan tidak lebih. Waktu dua jam itu kami perkirakan cukup untuk menuju ke atas kapal, proses syuting, dan kembali lagi ke Bandara Halim. Jadi kami harus benar-benar memaksimalkan waktu yang tersedia.
Usai melepas pintu, kami berempat segera terbang ke titik koordinat yang sudah disepakati. Benar saja, begitu kami bisa berkomunikasi dengan kapten kapal, cuaca sudah sangat mendung di atas laut. Kami pun ragu-ragu, namun semua harus dipertaruhkan. Pak Dodi juga harus mengambil resiko untuk nekad terbang diantara awan-awan yang mendung.
Uniknya, di bagian kanan kapal cuaca sangat cerah, namun sebaliknya di bagian kiri jauh kapal, cuaca sangatlah mendung. Jadi kami memilih untuk mengambil gambar dari sisi kanan, meski kami juga terkadang harus mengambil gambar dari sisi kiri. Nah, di sisi kiri inilah, nyawa kami menjadi taruhan karena mendung menggelayut dan mulai menumpahkan air hujan. Melihat kondisi tersebut, Pak Dodi tak butuh waktu lama untuk segera melakukan manuver ke sisi kanan kapal. Jadi, helikopter yang kami naiki tak terus terguncang-guncang akibat pengaruh cuaca buruk.
Sekitar satu jam lamanya, kami berputar-putar di atas kapal untuk mengambil kapal yang tengah melintas. Namun waktu satu jam itu terasa sangat lama karena rasa khawatir yang melanda akibat cuaca buruk yang terjadi selama proses syuting.
Beruntung, dengan semua keterbatasan, kami akhirnya berhasil menyelesaikan proses syuting tersebut dan kembali ke Pulau Onrust untuk memasang pintu helikopter sekaligus menjemput teknisi helikopter yang ditinggal di sana. Usai memasang pintu, kami pun segera kembali ke Halim.
Sungguh, rasanya begitu menyenangkan ketika helikopter berhasil mendarat, saya pun merasa lega, karena pengalaman naik helikopter ini sungguh berbeda dengan pengalaman naik pesawat komersil. Badan helikopter yang kecil sungguh tak sebanding dengan badan pesawat komersial yang besar. Belum lagi guncangan-guncangan yang kami alami akibat cuaca buruk yang melanda.
Well, apapun itu, saya sudah mengalami bagaimana rasanya naik helikopter, meski saya tak tahu kapan saya akan memiliki kesempatan untuk kembali menaiki moda transportasi yang satu itu lagi. Tetap semangat!(*)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar