Kamis, 26 Mei 2016

AADC?2, Film Standar ala Miles



KAGET. Itulah kesan yang saya dapat setelah saya menonton film Ada Apa Dengan Cinta? 2 (AADC?2)  di bioskop belum lama ini. Saya tak mengira sosok seorang Mira Lesmana bisa membuat film standar yang hanya memuaskan keinginan penonton semata. Sebuah film mainstream yang sudah bisa ditebak ujungnya, happy ending.
Saya memang bukan penggemar film sejati. Saya hanya menggemari film-film action, superhero, atau film drama yang tentu saja harus happy ending. Adalah buang-buang waktu bagi saya jika saya menonton film drama yang nggak happy ending. Jadi terkadang saya mengintip dulu bagian akhirnya, atau membaca sinopsisnya, memastikan ceritanya happy ending, baru saya tonton filmnya. Curang memang… Hahahahaha….
Film-film seperti itu bisa saya harapkan dari film-film produksi Hallmark atau Lifetime, yang memang selalu menjamin ceritanya berakhir bahagia. Film menye-menye, kalau orang bilang. Namun, film standar ini sama sekali tak saya harapkan dari sosok seorang Miles yang begitu hebat di mata saya. Saya lebih memilih supaya AADC?2 berakhir seperti AADC?1. Berakhir bahagia yang tersamarkan. Ketika Rangga berjanji untuk kembali kepada Cinta, satu purnama kemudian.
Akhir cerita AADC?2 yang sudah bocor di You Tube channel, sebenarnya sudah membuat saya bisa menebak akhir ceritanya. Happy ending. Tapi entah mengapa, saya tetap saja ingin menonton filmnya, yang sudah ditonton lebih dari 3,5 juta orang itu. Dan tebakan saya benar ternyata, film standar ala Miles pun tersaji di depan mata. Ketika Rangga dan Cinta akhirnya bersatu di New York, Amerika Serikat.
Sebuah isu tak enak pun berembus seputar keputusan Miles membuat film ini. Menurut kabar, katanya keberhasilan AADC?2 digunakan untuk menutupi kerugian yang dialami Miles saat memproduksi film Pendekar Tongkat Emas beberapa tahun lalu. Keuntungan yang didapatkan bisa mengganti kerugian tersebut. Entah kabar ini benar atau tidak.
Ada lagi yang menghujat jika obyek-obyek wisata di Yogyakarta yang disajikan dalam film tersebut malah berpotensi merusak wisata Jogja. Mereka beralasan, jika tanpa film itu, obyek-obyek wisata tersebut sebenarnya sudah banyak diketahui kalangan Jogjaholic, atau traveler yang menggemari Kota Jogja.
Ketika obyek-obyek wisata tersebut ditayangkan di AADC?2, tentu saja akan mengundang jumlah pengunjung dalam jumlah yang banyak. Padahal obyek-obyek wisata tersebut merupakan tempat-tempat yang hanya bisa dinikmati dalam kesunyian, dalam keheningan, dan bukan oleh kerumunan massa yang tergiur ke sana akibat film AADC?2.
Punthuk Setumbu dan Gereja Ayam misalnya. Kedua obyek wisata yang letaknya saling berdekatan di kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah ini, sungguh hanya bisa dinikmati keindahannya ketika kita berada dalam kesunyian. Menikmati sinar matahari terbit dari balik Gunung Merapi dan Merbabu yang terlihat dari Punthuk Setumbu atau dari celah-celah pohon yang tumbuh di sekitar Gereja Ayam.
Belum lagi tangga untuk naik menuju ke bagian kepala ayam sudah terlihat rapuh. Pas saya berkesempatan ke sana pada 2015 lalu, saya khawatir dengan kondisi tangga tersebut, sehingga saya memutuskan untuk tak naik ke atas. Saya tak bisa membayangkan seandainya orang berduyun-duyun mendatangi gereja tersebut dan naik ke atas kepala ayam. Entah apa jadinya.
Punthuk Setumbu yang luasnya tak terlalu besar itu pun tak akan sanggup menampung orang-orang yang ingin menyaksikan matahari terbit. Apalagi bagi para fotografer, sudah dijamin bete seandainya datang di akhir pekan, dan bersaing memotret sunrise dengan pengunjung yang hanya ingin ber-selfie ria di sana.
Apapun itu, sekali lagi, saya bukan penggemar film sejati, saya hanya ingin mengungkapkan apa yang ada di benak saya setelah menonton film AADC?2. Secara pribadi, saya memang menyukai film ini, namun saya hanya tak mengira seorang Miles akan melahirkan sebuah film standar bin mainstream seperti AADC?2. Itu saja. Dan benar apa kata sebagian orang, cerita AADC sebaiknya berakhir di AADC?1 saja, ketika Rangga berjanji kepada Cinta untuk kembali satu purnama kemudian…(*)

Senin, 09 Mei 2016

Panggil Saya Ruri




FRANCISCA Xaveria Hanonsari Paramita Hargiyono Putri. Begitulah nama asli yang diberikan oleh kedua orang tua saya. Nama yang terdiri dari nama baptis, nama asli, dan nama keluarga. Namun di akta kelahiran, nama itu disingkat menjadi Hanonsari Paramita. Tapi cukup panggil saya dengan nama yang lebih singkat, Ruri.
Nggak nyambung? Ya begitulah. Itulah nama panggilan saya sejak kecil. Di botol air saya sewaktu masih TK, di buku-buku pelajaran SD-SMA sampai kuliah sekalipun, itulah nama yang tertera di sana. Siapapun teman saya, mulai dari TK sampai rekan kerja saya sekarang, semua mengenal saya dengan nama Ruri.
Kok bisa dipanggil Ruri? Nah, kalau ada yang bertanya begitu saya mempersilakannya untuk bertanya kepada ibuk saya. Jawabannya ternyata sederhana. Sewaktu menjadi perawat di salah satu rumah sakit di Yogyakarta, rupanya ibuk saya pernah menjadi pemain figuran di sebuah serial sandiwara TVRI yang dibintangi Marlia Hardi.
Serial yang berjudul Keluarga Marlia Hardi itu sangat populer di kalangan pemirsa sejak 1973-1984. Dalam serial tersebut, Marlia Hardi berperan sebagai Bu Mar, yang tinggal bersama suami dan tiga anaknya, Didu, Kiki, dan Ruri.
Ibuku tak ingat siapa artis cilik pemeran Ruri di serial tersebut. Pas saya googling, saya berhasil menemukan nama pemerannya, Endang Mustikawati. Tapi begitu saya mencari di mana Endang Mustikawati sekarang, saya tak berhasil menemukannya. Namun satu hal yang pasti, ibuku sangat terkesan dengan sosok Ruri saat itu, sesosok anak perempuan yang lincah dan periang.
Begitulah. Nama Ruri begitu lekat di diri saya. Dengan siapapun saya berkenalan, pasti saya menyebut nama tersebut. Selama hidup, baru dua kali saya bertemu langsung dengan orang yang bernama sama. Tapi nama Ruri memang tertera dalam nama asli mereka, yakni Ruri Aulia dan Ruri Megawati, bukan hanya nama panggilan seperti saya. Lucunya, Ruri Aulia berjenis kelamin laki-laki, tapi Ruri Megawati itu seorang perempuan. Hihihi
Kalau saya googling di internet, nama Ruri memang bisa diperuntukkan bagi laki-laki atau perempuan. Ada satu website yang saya temukan di google, yang sebagian besar penjelasan nama Ruri di situs tersebut sangat sesuai dengan saya sekarang, hahahahaha, berikut link-nya http://www.namekun.com/name-meaning-of/ruri.
Lucu terdengarnya. Namun itulah nama panggilan saya. Saya jamin saya tak akan menoleh saat dipanggil dengan nama lain. Pernah suatu kali, guru Bahasa Inggris di SMP memanggil saya untuk maju ke depan dan mengerjakan soal-soal. Hanya saja dia memanggil saya dengan nama Hanon, diambil dari kepanjangan nama depan saya. Alhasil, saya pun tak ngeh ketika dipanggil. Baru ketika ada teman yang mengingatkan hal tersebut, saya baru ngeh kalau guru tersebut memanggil nama saya.
Begitu pula guru Matematika saya di SMA. Saya kembali dipanggil untuk mengerjakan soal di depan. Hanya saja,kali ini beliau memanggil saya dengan nama Sari. Bisa ditebak, saya kembali tak menoleh saat dipanggil.
Sedikit merepotkan memang. Saya membuat semua orang yang berada di sekitar saya untuk memanggil nama saya, Ruri dan membuat mereka menghapalkan kalau si Hanonsari Paramita itu hanya bisa dipanggil dengan nama Ruri. Tidak ada nama panggilan lain. Kalau saya protes kepada ibuk, beliau hanya menjelaskan kalau Ruri itu diambil dari suku kata Ri, dalam kata Hanonsari. Padahal sebenarnya penjelasan itu tetap saja tidak nyambung, buk! Hihihihi…
Saat saya awal-awal bekerja di kantor saya sekarang, saya sempat membuat orang kebingungan, karena saya memilih menggunakan nama panggilan untuk alamat email saya. Alhasil, sejak itu, seluruh alamat email tidak diizinkan menggunakan nama panggilan, melainkan harus nama lengkap resmi sesuai KTP. Tapi, alamat email saya tetap tak berubah dong yaaaa…. Hihihihi….
Meski dipanggil Ruri, nama resmi saya tetap Hanonsari Paramita. Nama Hanonsari berarti mata inti dan Paramita diambil dari nama Dewi Pradnya Paramita, dewi ilmu pengetahuan. Jadi arti keseluruhannya adalah mata inti pengetahuan.
Nama Hanonsari diberikan ayah saya dan nama Paramita diberikan oleh ibu saya. Sementara nama kakak saya dirancang seluruhnya oleh ayah saya, dan nama adik saya dirancang seluruhnya oleh ibu saya. Jadi, cuma saya yang memiliki nama gabungan hasil patungan ayah dan ibu saya.
Ah sudahlah, yang penting, tetap saja panggil saya, Ruri.(*)


Minggu, 08 Mei 2016

Bayi Fans Berat Ahok




“TUH ya nak, pintunya udah ditutup. Pak Ahoknya udah masuk ke dalem. Pintunya nggak bisa dibuka lagi. Nanti tunggu Pak Ahoknya keluar lagi yaaaa…..” Begitulah adegan yang saya lihat saat berada di Balai Kota Jakarta, belum lama ini. Pemandangan seorang ibu yang berdiri di luar ruangan Ahok dan tampak sibuk menenangkan bayinya yang menangis kencang.
“Ya begini ini. Dulu pas saya hamil, saya memang mengidam kepengen ketemu Pak Ahok, tapi nggak kejadian. Jadi begini ini jadinya, anaknya jadi nge-fans banget sama Pak Ahok. Tadi aja pas Pak Ahok masuk ke ruang kerjanya dia langsung menangis keras karena tak bisa lagi lihat Pak Ahok, padahal sebelumnya sudah diam saat lihat Pak Ahok dari jauh,” kata ibu itu sambil terus menenangkan bayinya.
Saya tak mengetahui nama bayi tersebut. Tapi kata sang ibu, dia masih berusia sembilan bulan. Usia yang masih sangat muda untuk mengerti mengenai dunia politik tentu saja. Namun menurut sang ibu, dia akan duduk terdiam ketika melihat sosok Ahok di televisi. Dan sudah bisa ditebak, dia akan menangis kencang ketika ada seseorang mengganti saluran televisi tersebut dan tak lagi bisa melihat sosok Ahok di sana.
Saya pun mengajaknya untuk sama-sama menunggu Ahok di luar ruangan kantor gubernur. Pasti tak lama lagi Ahok akan ke luar ruangan. Dan benar saja, tak sampai sepuluh menit kemudian, Ahok ke luar ruangan.
Saya segera mengejar Ahok dan berhasil berdiri tepat di belakangnya. Di tengah kerumunan pengunjung balai kota yang penuh sesak, saya pun mencoba menginformasikan kepada Ahok jika ada bayi yang menjadi fans beratnya dan ingin berfoto bersama. Pak Ahok sempat menoleh ke arah saya, namun suara saya kembali tenggelam di antara riuhnya pengunjung yang ingin berfoto bersama Ahok, meski saya sempat bersalaman dengan Ahok.
Akhirnya sudah bisa ditebak, bayi itu tak bisa berjumpa dengan idolanya. Tangisnya pun semakin keras ketika melihat Ahok tenggelam diantara kerumunan massa. Cup….cup…cupppp….
Fenomena Ahok tak hanya melanda saya saja rupanya, tetapi juga bayi tersebut. Lucu kedengarannya, tapi itulah kenyataannya. Kedatangan saya ke balaikota saat itu sama sekali tak disengaja, apalagi saya sudah berulangkali ke sana. Saya hanya kebetulan diajak teman yang ingin mengunjungi balai kota. Tapi begitu melihat ramainya pengunjung di sekitar ruangan kantor Ahok, saya sudah bisa menebak, Ahok pasti ada di dalamnya.
Baru kali ini saya memiliki idola sampai saya rela menunggu di depan ruangannya. Selama menjadi jurnalis, saya tak pernah punya tokoh idola, meski saya berpuluh-puluh kali mewawancarai artis, pejabat, atau pemain sepak bola.
Di cabang olahraga sepak bola yang saya gemari pun, saya tak segila ini untuk ngebet bertemu dengan pemain sepak bola dari klub manapun. Saat saya mewawancarai mereka, mengobrol dengan mereka, atau bergaul dengan mereka, itu semua demi tuntutan pekerjaan. Tidak lebih. Tidak kurang.
Tapi beda dengan Ahok. Saya tak dituntut pekerjaan apapun. Saya sudah pensiun sebagai jurnalis. Tak lagi berjumpa dengan deadline demi deadline setiap harinya. Namun saya dengan rela serela-relanya untuk menunggunya di depan ruangan Ahok untuk sekadar melihat sosoknya dari dekat. Saya begitu mengidolakannya. Entah mengapa.
Begini toh rasanya saat alayers mengejar idolanya setengah mati? Begini toh rasanya punya idola, sampai ngebet ingin sekadar selfie dengan idolanya? Ah, apapun itu, saya berharap sosok Ahok dapat membawa perubahan di Bumi Nusantara! Semangat, pak!(*)