PRESIDEN Depok. Cornelis Chastelein.
Jembatan Panus. Itulah beberapa pengetahuan baru yang
saya dapatkan dari menu jalan-jalan saya bersama Komunitas Love Our
Heritage (LOH) di Depok belum lama ini. Sudah lama sebenarnya saya ingin
mengikuti kegiatan komunitas ini, namun selalu saja saya tak mendapatkan
informasi yang update, sehingga saya selalu ketinggalan mengikuti kegiatan
mereka.
Kali
ini melalui jasa seorang teman, saya berhasil mengikuti kegiatan ini. Bertajuk
Jelajah Depok Dulu dan Kini, kami memulai perjalanan dengan berkumpul di area
Margo City Mall, Depok. Di sini kami berkumpul dengan peserta lain yang
mengikuti kegiatan ini. Heritage pertama yang kami kunjungi terletak di dalam
kawasan Margo City Mal sendiri, yakni bangunan Pondok Cina.
Bangunan
ini merupakan pondok yang dibangun untuk menampung para pedagang Tionghoa yang
datang dari Batavia. Pondok ini dibangun sebagai tempat menginap orang Tionghoa
yang hanya diizinkan untuk menginap di perbatasan Depok saja. Semua dilakukan tuan
tanah Belanda waktu itu, Cornelis Chastelein, guna melindungi warga Depok dari
pengaruh orang-orang Tionghoa.
Bangunan
Pondok Cina ini berarsitektur neo-classic yang dibangun pada 1841 oleh seorang
arsitek Belanda, lalu dibeli oleh Lauw Tek Lock dan diwariskan kepada anaknya,
Kapitan Der Chinezen Lauw Tjeng Shiang.
Dari
Pondok Cina, kami pun menuju ke Rumah Cimanggis yang dibangun pada masa
pemerintahan Herman Willem Daendels. Rumah Cimanggis dibangun oleh David J
Smith antara tahun 1775 hingga 1778. Pemiliknya adalah seorang janda kaya
Gubernur Jenderal Van der Parra. Setelah janda tersebut meninggal dunia, Smith
mewarisi rumah beserta perkebunan luas di sekitarnya.
Rumah
ini pernah mengalami kerusakan para saat terjadi gempa bumi pada 1834. Kini,
pengelolaan gedung tersebut diserahkan kepada Lembaga Radio Republik Indonesia
(RRI). Sayangnya, kami tidak diizinkan untuk masuk ke dalam kompleks rumah
tersebut, kendati sudah mengajukan izin terlebih dulu kepada RRI.
Dari
Rumah Cimanggis, kami menuju ke Jembatan Panus, yakni sebuah jembatan kuno yang
dahulu menghubungkan jalur Bogor-Depok. Mengapa dinamakan Jembatan Panus?
Karena jembatan yang dibangun pada 1917 ini terletak di sebelah rumah Bapak
Stevanus Leander. Lidah orang Indonesia pun melafalkan Stevanus menjadi Panus.
Di
bawah jembatan ini terdapat sebuah tiang ukur pemantau ketinggian air untuk
mewaspadai banjir di musim penghujan. Ketika ketinggian air di sana sudah
tinggi, maka sudah bisa dijamin banjir akan melanda Jakarta sekitar enam jam
kemudian. Karenanya, sekarang terdapat petugas yang terus memantau ketinggian
air tersebut.
Setelah
Jembatan Panus, rombongan menuju ke rumah Presiden Depok terakhir, Johannes Matheis
Jonathans, yang terletak di Jalan Pemuda. Rumah presiden ini berseberangan
dengan kantor Gemeente (pemerintahan) Depok.
Kedudukan
presiden ini diputuskan oleh Pemerintahan Hindia-Belanda. Adapun tugas seorang
Presiden Depok adalah mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan segi administrasi
Depok. Masa jabatan seorang presiden Depok selama tiga tahun. Selama itu pula
dia dibantu oleh seorang sekretaris, tenaga pembukuan, dan dua komisaris yang
dipilih setiap dua tahun sekali.
Dari
rumah Presiden Depok, kami meluncur ke Gereja GPIB Immanuel. Gereja pertama di Depok
ini dibangun beberapa tahun setelah kedatangan Cornelis Chastelein dan para
pekerjanya di Depok. Bentuk awal gereja ini dibangun dari kayu dan bambu saja
saking sederhananya.
Gereja
ini pernah direnovasi pada 1715 dan 1792. Gempa besar pada 1834 meruntuhkan
seluruh bangunan gereja dan jemaat kembali membangunnya pada 1854. Sayang,
renovasi besar-besaran pada 1998 banyak mengubah struktur dan bentuk bangunan,
sehingga bentuk asli gereja pun sudah tidak terlihat lagi.
Berjarak
beberapa meter dari bangunan gereja, terdapat bangunan milik Yayasan Lembaga
Cornelis Chastelein (YLCC). Bangunan ini merupakan perkumpulan ke-12 marga
keluarga Depok. Dibangun untuk memperingati dan menghormati jasa-jasa Cornelis
Chastelein. YLCC juga memelihara aset-aset tanah yang dulu dihibahkan
Chastelein kepada ke-12 marga tersebut.
Kini,
ke-12 marga keluarga Depok yang merupakan bekas budak yang dibebaskan oleh
Chastelein setelah memeluk agama Kristen. Kini ke-12 marga tersebut hanya
tinggal 11 marga, karena dengan sistem patrilineal yang dianut, marga Zadokh
sudah hilang, sebab seluruh keturunannya adalah wanita.
Kami pun segera menuju ke Kerkhof yang merupakan kompleks pemakaman 12 marga Depok yang sudah dimakamkan di sana secara turun-temurun. Bahkan ada satu makam yang dihuni 17 orang sekaligus secara turun-temurun. Kompleks makam itu memang sengaja dipertahankan guna memelihara sejarah 12 marga Belanda Depok.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar