“TUH ya nak, pintunya udah ditutup. Pak Ahoknya udah masuk ke dalem. Pintunya nggak bisa dibuka lagi. Nanti tunggu Pak Ahoknya keluar lagi yaaaa…..” Begitulah adegan yang saya
lihat saat berada di Balai Kota Jakarta, belum lama ini. Pemandangan seorang
ibu yang berdiri di luar ruangan Ahok dan tampak sibuk menenangkan bayinya yang
menangis kencang.
“Ya
begini ini. Dulu pas saya hamil, saya memang mengidam kepengen ketemu Pak Ahok, tapi nggak
kejadian. Jadi begini ini jadinya, anaknya jadi nge-fans banget sama Pak Ahok. Tadi aja pas Pak Ahok masuk ke ruang kerjanya dia langsung menangis
keras karena tak bisa lagi lihat Pak Ahok, padahal sebelumnya sudah diam saat
lihat Pak Ahok dari jauh,” kata ibu itu sambil terus menenangkan bayinya.
Saya
tak mengetahui nama bayi tersebut. Tapi kata sang ibu, dia masih berusia
sembilan bulan. Usia yang masih sangat muda untuk mengerti mengenai dunia
politik tentu saja. Namun menurut sang ibu, dia akan duduk terdiam ketika melihat
sosok Ahok di televisi. Dan sudah bisa ditebak, dia akan menangis kencang
ketika ada seseorang mengganti saluran televisi tersebut dan tak lagi bisa
melihat sosok Ahok di sana.
Saya
pun mengajaknya untuk sama-sama menunggu Ahok di luar ruangan kantor gubernur.
Pasti tak lama lagi Ahok akan ke luar ruangan. Dan benar saja, tak sampai
sepuluh menit kemudian, Ahok ke luar ruangan.
Saya
segera mengejar Ahok dan berhasil berdiri tepat di belakangnya. Di tengah kerumunan
pengunjung balai kota yang penuh sesak, saya pun mencoba menginformasikan
kepada Ahok jika ada bayi yang menjadi fans beratnya dan ingin berfoto bersama. Pak
Ahok sempat menoleh ke arah saya, namun suara saya kembali tenggelam di antara
riuhnya pengunjung yang ingin berfoto bersama Ahok, meski saya sempat
bersalaman dengan Ahok.
Akhirnya
sudah bisa ditebak, bayi itu tak bisa berjumpa dengan idolanya. Tangisnya pun
semakin keras ketika melihat Ahok tenggelam diantara kerumunan massa. Cup….cup…cupppp….
Fenomena
Ahok tak hanya melanda saya saja rupanya, tetapi juga bayi tersebut. Lucu
kedengarannya, tapi itulah kenyataannya. Kedatangan saya ke balaikota saat itu
sama sekali tak disengaja, apalagi saya sudah berulangkali ke sana. Saya hanya kebetulan diajak teman yang ingin mengunjungi balai kota. Tapi begitu melihat ramainya pengunjung di sekitar
ruangan kantor Ahok, saya sudah bisa menebak, Ahok pasti ada di dalamnya.
Baru
kali ini saya memiliki idola sampai saya rela menunggu di depan ruangannya.
Selama menjadi jurnalis, saya tak pernah punya tokoh idola, meski saya berpuluh-puluh kali mewawancarai artis, pejabat, atau pemain sepak bola.
Di
cabang olahraga sepak bola yang saya gemari pun, saya tak segila ini untuk ngebet bertemu dengan pemain sepak bola
dari klub manapun. Saat saya mewawancarai mereka, mengobrol dengan mereka, atau
bergaul dengan mereka, itu semua demi tuntutan pekerjaan. Tidak lebih. Tidak
kurang.
Tapi
beda dengan Ahok. Saya tak dituntut pekerjaan apapun. Saya sudah pensiun
sebagai jurnalis. Tak lagi berjumpa dengan deadline
demi deadline setiap harinya. Namun
saya dengan rela serela-relanya untuk menunggunya di depan ruangan Ahok untuk
sekadar melihat sosoknya dari dekat. Saya begitu mengidolakannya. Entah
mengapa.
Begini
toh rasanya saat alayers mengejar
idolanya setengah mati? Begini toh rasanya punya idola, sampai ngebet ingin sekadar selfie dengan
idolanya? Ah, apapun itu, saya berharap sosok Ahok dapat membawa perubahan di
Bumi Nusantara! Semangat, pak!(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar