KAGET. Itulah kesan yang saya dapat
setelah saya menonton film Ada Apa Dengan Cinta? 2 (AADC?2) di bioskop belum lama ini. Saya tak mengira
sosok seorang Mira Lesmana bisa membuat film standar yang hanya memuaskan
keinginan penonton semata. Sebuah film mainstream
yang sudah bisa ditebak ujungnya, happy
ending.
Saya
memang bukan penggemar film sejati. Saya hanya menggemari film-film action, superhero, atau film drama yang
tentu saja harus happy ending. Adalah
buang-buang waktu bagi saya jika saya menonton film drama yang nggak happy ending. Jadi terkadang saya
mengintip dulu bagian akhirnya, atau membaca sinopsisnya, memastikan ceritanya happy ending, baru saya tonton filmnya.
Curang memang… Hahahahaha….
Film-film
seperti itu bisa saya harapkan dari film-film produksi Hallmark atau Lifetime,
yang memang selalu menjamin ceritanya berakhir bahagia. Film menye-menye, kalau orang bilang. Namun,
film standar ini sama sekali tak saya harapkan dari sosok seorang Miles yang
begitu hebat di mata saya. Saya lebih memilih supaya AADC?2 berakhir seperti AADC?1.
Berakhir bahagia yang tersamarkan. Ketika Rangga berjanji untuk kembali kepada
Cinta, satu purnama kemudian.
Akhir
cerita AADC?2 yang sudah bocor di You Tube channel, sebenarnya sudah
membuat saya bisa menebak akhir ceritanya. Happy
ending. Tapi entah mengapa, saya tetap saja ingin menonton filmnya, yang
sudah ditonton lebih dari 3,5 juta orang itu. Dan tebakan saya benar ternyata, film
standar ala Miles pun tersaji di depan mata. Ketika Rangga dan Cinta akhirnya
bersatu di New York, Amerika Serikat.
Sebuah
isu tak enak pun berembus seputar keputusan Miles membuat film ini. Menurut
kabar, katanya keberhasilan AADC?2
digunakan untuk menutupi kerugian yang dialami Miles saat memproduksi film Pendekar Tongkat Emas beberapa tahun
lalu. Keuntungan yang didapatkan bisa mengganti kerugian tersebut. Entah kabar ini benar atau tidak.
Ada
lagi yang menghujat jika obyek-obyek wisata di Yogyakarta yang disajikan dalam
film tersebut malah berpotensi merusak wisata Jogja. Mereka beralasan, jika
tanpa film itu, obyek-obyek wisata tersebut sebenarnya sudah banyak diketahui
kalangan Jogjaholic, atau traveler
yang menggemari Kota Jogja.
Ketika
obyek-obyek wisata tersebut ditayangkan di AADC?2,
tentu saja akan mengundang jumlah pengunjung dalam jumlah yang banyak. Padahal obyek-obyek
wisata tersebut merupakan tempat-tempat yang hanya bisa dinikmati dalam
kesunyian, dalam keheningan, dan bukan oleh kerumunan massa yang tergiur ke sana akibat film AADC?2.
Punthuk
Setumbu dan Gereja Ayam misalnya. Kedua obyek wisata yang letaknya saling
berdekatan di kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah ini, sungguh hanya bisa
dinikmati keindahannya ketika kita berada dalam kesunyian. Menikmati sinar
matahari terbit dari balik Gunung Merapi dan Merbabu yang terlihat dari Punthuk Setumbu atau dari celah-celah
pohon yang tumbuh di sekitar Gereja Ayam.
Belum lagi tangga untuk naik menuju ke bagian kepala ayam sudah terlihat rapuh.
Pas saya berkesempatan ke sana pada 2015 lalu, saya khawatir dengan kondisi
tangga tersebut, sehingga saya memutuskan untuk tak naik ke atas. Saya tak bisa membayangkan seandainya orang berduyun-duyun
mendatangi gereja tersebut dan naik ke atas kepala ayam. Entah apa jadinya.
Punthuk
Setumbu yang luasnya tak terlalu besar itu pun tak akan sanggup menampung
orang-orang yang ingin menyaksikan matahari terbit. Apalagi bagi para
fotografer, sudah dijamin bete
seandainya datang di akhir pekan, dan bersaing memotret sunrise dengan pengunjung yang hanya ingin ber-selfie ria di sana.
Apapun
itu, sekali lagi, saya bukan penggemar film sejati, saya hanya ingin
mengungkapkan apa yang ada di benak saya setelah menonton film AADC?2. Secara pribadi, saya memang menyukai film ini, namun saya hanya tak mengira seorang Miles akan melahirkan sebuah film standar bin mainstream seperti AADC?2. Itu saja. Dan benar apa kata sebagian orang,
cerita AADC sebaiknya berakhir di AADC?1 saja,
ketika Rangga berjanji kepada Cinta untuk kembali satu purnama kemudian…(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar