Senin, 07 Desember 2015

Ibuku dan Hujan




            PULANG sekolah harus segera pulang. Nggak boleh hujan-hujan nanti badanmu sakit. Jadi tiap hari kamu harus bawa payung ke sekolah, biar nggak kehujanan.” Itulah sederet nasihat ibuku saat aku duduk di bangku sekolah menengah pertama dulu. “Kalau sakit, ibu juga nanti kan yang repot.” Tetep aja ibuku nggak berhenti menasihatiku. Nah lo!
            Tapi itulah ibuku dengan semua peraturannya. Harus ditaati, karena kalau tidak, nanti aku bisa sakit beneran! Walau sakit itu sih yang sebenarnya aku tunggu-tunggu, jadi aku punya kesempatan untuk nggak sekolah! Hihihihi..... Maklum peraturan ibuku strict banget mengenai yang satu ini.
            Tiap kali aku mengeluh sakit kepala di pagi hari, berharap aku nggak harus sekolah hari itu, berkali-kali itu pula ibu menolak. Ibuku adalah seorang mantan suster rumah sakit. Sudah tentu beliau tahu ketika anaknya sakit beneran atau hanya pura-pura. Ukurannya sederhana, ibu pasti akan memegang dahiku. Kalau memang panas, aku diizinkan untuk tak masuk sekolah, dan sebaliknya.
            Begitu pula hari itu. Ada ulangan matematika di sekolah. Aduh, aku dah jiper duluan dengernya. Dikerjain or nggak, tetep aja nilainya bakal jelek. Alhasil, muncul ide licik nan cemerlang untuk membohongi ibu.
            “Bu, aku pusing, aku nggak berangkat sekolah ya. Kepalaku sakit banget,” kataku. Ibu pun langsung mengeluarkan “jurus andalan”, memegang dahiku. Dan tepat, dahiku nggak panas. “Nggak, kamu harus berangkat sekolah,” tegas ibu.
            Haduhhh, ibuku benar-benar tak bisa dibohongi untuk urusan yang satu ini. Akhirnya dengan langkah gontai, aku berangkat ke sekolah dan menghadapi ulangan matematika nan mengerikan bin mematikan itu.

****

            Jam sekolah hampir usai ketika mendung menggelayut di langit. “Aduh, aku lupa bawa payung,” gumamku. Gara-gara terlalu fokus membohongi ibu supaya tak berangkat sekolah, aku malah lupa membawa payungku.
            Apalagi ibu tahu kalau aku tak punya kegiatan usai pulang sekolah. Jadi aku harus langsung pulang ke rumah. No excuse at all. Mmmmm...daripada diceramahi ibu panjang kali lebar kali tinggi, lebih baik aku nekat pulang.
            Dan benar saja, hujan turun deras ketika aku berada di dalam bis menuju ke rumah. Aduh, pasti hujan belum berhenti pas aku sampai rumah. “Bahaya, nih,” kataku.
            Padahal aku masih harus berjalan kaki lumayan jauh dari halte bis menuju ke rumah. Bisa ditebak, aku bakal basah kuyup sampai rumah. Bener-bener berabe!
            Ibuku memang bukan sosok ibu yang galak. Tapi kalau peraturannya dilanggar, aduh bahaya deh pokoknya. Bahaya stadium 4! Bisa-bisa uang jajanku dipotong. Walah!
            Namun, tak ada satupun yang bisa kulakukan supaya aku tak basah kuyup ketika berjalan kaki dari halte nanti. Tak ada pohon pisang atau pohon berkuping lebar lainnya yang bisa aku gunakan. Intinya, aku bakal tetap basah kuyup. Titik.
            Benar saja. Ketika bis berhenti tepat di halte, hujan deras masih saja mengguyur bumi. Nggak mau berhenti sebentar saja demi aku. Hiks!
            Setelah menunggu sebentar di halte, hujan tak juga reda. Nggak ada pilihan lain, aku harus lari, meski dijamin bakalan basah kuyup. Haduh! Gaswaaaaattttt!!! Gaswat daruraaatttt!!!
            Aku pun berlari sekencang mungkin menembus hujan. Rasanya rute pulang ke rumah yang biasa aku tempuh dengan jalan kaki ini lebih panjang daripada biasanya. Mungkin karena aku panik ya? Hihihihi.....
            Aha! Itu rumahku. Sudah dekat! Tapi, ketika aku hendak membuka pagar rumahku dengan badan basah kuyup, tak sengaja mataku melihat sesuatu yang ganjil.
            Di lapangan voli yang terletak hanya beberapa meter dari rumahku, aku melihat sebuah taksi terperosok di got. Salah satu rodanya masuk ke got yang membuat taksi itu tak bisa berjalan.
            Aku menengok ke kanan-kiri. Tak ada orang. Tapi, kalau aku tak segera masuk rumah dan malah menolong sopir taksi itu, badanku bakal makin basah kuyup. Dan sebaliknya, kalau aku tak menolong sopir taksi itu, siapa yang bakal menolongnya?
            Ah, sebuah keputusan sulit. Tapi nuraniku mengatakan kalau aku harus menolong sopir taksi itu. Akhirnya kuurungkan niatku untuk masuk rumah, dan menolongnya.
            Aku pun kembali berlari. Berlari menuju ke sopir taksi itu. Dan kembali kehujanan tentunya. Aku ketok pintunya dan sopir itu cepat-cepat membuka jendelanya.
            “Tolong saya dik, saya nggak bisa keluar taksi ini. Pintu taksi kebentur got juga. Saya dari tadi bingung mau minta tolong sama siapa. Siang-siang gini jalanan pasti sepi, apalagi hujan begini” kata sopir itu memelas.
            “Sebentar ya pak, saya nggak mungkin ngangkat taksi bapak sendirian. Saya minta bantuan dulu ya,” kataku.
            Dengan cepat aku menggedor satu persatu pintu rumah-rumah di sekitarku. Meski ada yang keberatan karena hujan deras, tapi banyak juga bapak-bapak dan anak laki-lakinya yang datang membantu.
            Setelah melewati usaha yang lumayan keras, akhirnya taksi itu terangkat juga dari got. Aku hanya bisa melihat dari kejauhan, meski mencoba berlindung dari terpaan hujan.
            Tak lama kemudian, sopir taksi yang ternyata bernama Pak Tomo itu pun menghampiriku. “Terimakasih ya dik, saya nggak akan melupakan jasa adik. Berkat pertolongannya, akhirnya taksi saya bisa diangkat dari got,” kata dia.
            “Kalau tadi nggak ada adik, entah berapa lama lagi saya akan terjebak di dalam taksi. Padahal saya belum lama narik taksi ini, jadi masih banyak setoran yang harus saya kejar. Kalau setoran tak mencukupi, anak-anak saya makan apa, dik,” Pak Tomo terus saja menyerocos.
            Beruntung, dia segera sadar kalau aku kedinginan akibat badanku yang masih basah kuyup. Tak lama setelahnya, dia pun berpamitan sambil terus mengucapkan terimakasihnya kepadaku.

****

            Oke, aku sudah melakukan satu perbuatan baik buat Pak Tomo. Tapi, tapi, tapi, badanku benar-benar basah kuyup akibat terus diterpa hujan. Mana aku harus ngadepin ibu lagi! Aduh, benar-benar nggak kebayang, deh!
            Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju ke rumah. Sudah terbayang wajah ibu yang bakal berceramah di depanku.
            Benar saja, ketika pintu rumah terbuka, ibu sudah menunggu di sana. Aku tak berani menatapnya, apalagi dengan badanku yang basah kuyup begini.
            “Ibu, maaf, aku lupa bawa payung. Aku bener-bener lupa gara-gara tadi mau ulangan matematika. Maaf ya bu,” ujarku.
            “Tadi aku udah berusaha berlari kenceng banget ke rumah, tapi tetap aja basah bu,” lanjutku.
            “Terus?” tanya ibu.
            “Ya udah, aku kehujanan. Aku salah bu karena nggak bawa payung. Maaf ya bu,” kataku masih menunduk.
            “Cuma itu?” tanya ibu lagi.
“Iya.”
            “Nggak mau cerita sama ibu soal sopir taksi yang kau tolong?” ibu masih bertanya.
            Heh? Aku langsung menengadahkan kepala, ibu tahu dari mana ya? Aku pikir, keputusanku untuk menolong Pak Tomo tak akan membenarkan kesalahanku yang tak membawa payung sesuai peraturan ibu.
            “Kok ibu tahu? Tapi kan itu tak ada hubungannya dengan kesalahanku yang lupa membawa payung?” tanyaku.
            Ibu tak menjawab, dia hanya langsung memelukku erat, tak peduli badannya ikut basah kuyup gara-gara aku.
            “Ibu bangga kepadamu, nak. Kamu hebat. Kamu sudah membuat keputusan penting. Kamu rela menempuh resiko bakal kena marah ibu, karena kamu harus menolong sopir taksi itu. Kamu hebat, benar-benar hebat, nak!” kata ibu.
            “Tadi ada tetangga cerita ke ibu, pas ibu ke depan untuk nungguin kamu pulang. Ternyata anak ibu jadi pahlawan!” sambung ibu lagi.
            Aku bengong. Bayangan ibu bakal marah melihatku pulang kehujanan langsung sirna. Hihihi....Ternyata ibu malah menganggapku hebat. Hebat karena aku sudah menolong Pak Tomo. Senangnyaaaaaaaa!!!! Horeeeeeeeeee!!!!!
            “Tapi lain kali kamu nggak boleh lupa bawa payung! Selalu taruh payung dalam tas! Kalau kamu sakit, nanti ibu juga yang bakal repot!” Aduh, ibu mulai lagi dengan peraturan-peraturannya.
            “Terus jangan coba-coba untuk bohong sama ibu lagi. Standar ibu tetap sama, kalau dahi dan badanmu tak panas, berarti kamu tak sakit. Kalau badanmu panas, berarti ada infeksi di badanmu dan kamu boleh untuk tak berangkat sekolah,” cerocos ibu tanpa henti setelah dia melepaskan pelukannya.
            Mulai lagi deh. Tapi, betapapun ibuku punya seribu peraturan yang harus kutaati, ternyata beliau masih bisa bersikap objektif terhadap keputusan anak-anaknya. Terimakasih ibuku tercintaaaaaa!! I love u full!!!(*)