SEPAK
BOLA. Duh kata yang satu ini benar-benar sudah menjadi bagian dari
perjalanan hidupku. Semua berawal dari masa SMA. Karena telat masuk kelas di
hari pertama sekolah, aku kebagian duduk di sebelah Daniel, yang merupakan penggemar
berat sepak bola. Aku tidak bisa memilih teman lain sebagai teman sebangku, karena semua bangku sudah penuh. Jadi, setiap detik, menit, jam, dia selalu bercerita mengenai sepak
bola kepadaku. Alhasil, lama-lama aku jadi ikut jadi penggila bola.
Pun ketika aku berada di rumah. Tetanggaku yang
bernama Pak Nudu memiliki lima anak yang semuanya laki-laki dan semuanya
penggila bola. Jadilah aku makin menggemari olahraga si kulit bundar ini.
Sebagai penggemar sepak bola, tentu aku harus
mengikuti berbagai berita mengenai sepak bola. Namun berhubung waktu itu aku masih
berstatus mahasiswa lengkap dengan kantong cekaknya, aku memutuskan untuk
patungan membeli tabloid olahraga dengan salah satu anak Pak Nudu.
Namanya Dony. Aku kerap memanggilnya Donell.
Dia mendapat jatah untuk membeli tabloid di hari Senin, sementara aku di hari
Kamis, karena tabloid sepak bola itu terbit dua kali seminggu. Sudah bisa
ditebak, kalau hari Senin tiba, aku pasti maen ke rumahnya untuk numpang baca.
Begitu pula yang sebaliknya dilakukan Donell di hari Kamis.
Namun yang lebih sering terjadi adalah Donell
yang kelupaan membeli tabloid tersebut. Aaaarrrggghhhh….
Dasaaaaaaaaarrrrrrrrrr!!!! Kalau sudah begitu aku langsung memaksa Donell
untuk membelinya. Setelah berhasil membelinya, aku harus membacanya duluan!
Curang ya?
Selain patungan membeli tabloid, kami juga
sahabat yang kompak untuk urusan menonton pertandingan sepak bola langsung ke
stadion. Karena kami tinggal di daerah Sleman, maka kami adalah suporter klub
sepak bola PSS Sleman.
Sebagai Slemania, julukan suporter PSS Sleman,
kami selalu rajin menonton hampir di setiap pertandingannya. Tapi karena sekali
lagi, kantong kami cekak, atribut suporter kami tak terlalu lengkap. Kami hanya
punya kaos jersey PSS Sleman. Kami
tak punya atribut lain seperti syal, topi, maupun bendera.
Nah untuk urusan terakhir, harganya cukup mahal
untuk ukuran kantong kami saat itu. Kami ingin beli bendera tapi tak ada uang.
Akhirnya kami berpikir untuk mencari kain warna hijau saja, yang merupakan
warna khas PSS Sleman. Tapi, kami tetap saja tak menemukan kain berwarna hijau
milik ibuku maupun mama Donell.
Haduh. Kami berdua pun kebingungan, karena tanpa
bendera, kami tak akan total sebagai suporter. Hahahahahaha…. Melihat kami kebingungan, mama Donell pun bertanya
kepada kami. “Ngapain kalian bengong
di situ?”
“Bingung cari kain hijau buat bikin bendera
PSS, ma,” jawabku. Aku juga turut memanggil mama kepada mama Donell.
“Warna hijau ya, sebentar mama carikan dulu.”
Mama pun membongkar lemarinya, namun tetap tak
menemukan kain warna hijau di sana.
“Mama adanya cuma punya daster hijau nih!”
teriak mama dari dalam kamar.
Daster? Memang itu bisa menyelesaikan masalah?
Tapi tak lama kemudian, aku malah mendapatkan ide cemerlang.
“Eh, kita pakai aja daster itu, Nel. Kita bikin
bendera daster ajaaaa…. Yang penting warna hijau bukan?” jawabku.
Meski masih ogah-ogahan, Donell pun menyetujui
usulku. Beruntung, daster yang dimiliki mama tak terlalu banyak bermotif, jadi
warna hijaunya masih kelihatan dominan.
Tak butuh waktu lama untuk menggunting daster
hijau semi polos tersebut menjadi bendera. Setelah dijahit mama di bagian
pinggir, kami pun jadi bersemangat melihat hasil akhir daster bendera tersebut.
Sudah terbayang muka-muka teman-temanku dan suporter lain, ketika daster
bendera itu berkibar nantinya. Hihihihhi…
NONTON ATAU PIKNIK?
Di hari H, kami sudah bersiap menonton
pertandingan. Kalau mama mempersiapkan bendera hijau, ibuku ikut
mempersiapkan makanan yang akan kami konsumsi selama pertandingan. Ehem, sebenarnya bukan mempersiapkan sih, lebih tepatnya aku yang mengangkut semua
makanan di rumah.
Semua isi toples di rumah langsung ludes
menjelang keberangkatan aku ke stadion. Begitu pula dengan air es di kulkas
yang akan aku angkut berikut botol-botolnya. Setiap kali melihat polah tingkahku
menjelang menonton pertandingan, ibuku selalu kebingungan.
“Sebenarnya kamu itu mau nonton sepak bola atau
mau piknik sih?” tanyanya.
Hihihi…. Maaf buk, daripada kami jajan di stadion, padahal kantong kami cekak, kan kami bisa menghemat dengan begini.
Ibuku masih tetap geleng-geleng kepala.
Memang begitu peraturannya. Sebagai
satu-satunya anggota wanita di kelompok suporter di kompleks rumah, aku
memang selalu didapuk sebagai seksi konsumsi. Tapi itu masih mending
dibandingkan larangan menonton sepak bola bagi salah satu teman di kompleks
rumah. Pasalnya setiap kali dia ikut menonton ke stadion, pertandingan selalu
ditunda akibat hujan! Jadilah, kami melarangnya untuk ikut menonton.
Ada juga larangan menonton bagi satu temanku
yang lain. Sebab jika dia ikut menonton, PSS selalu mengalami kekalahan. Jadi
dia dianggap sebagai biang kekalahan.
Hihihi…. Lucu kalau inget itu. Apa coba hubungan dua
temanku itu dengan hujan dan kekalahan? Sama sekali tak ada. Beruntung, dua
temanku ini sampai sekarang malah tertawa lebar ketika kami ungkit kenangan
itu lagi…. No hard feeling…. Hahahahahaha….
Biasanya pertandingan baru dimulai pukul 15.30,
namun kami selalu sudah berada di tribun penonton sekitar pukul 13.30! Demi
mendapatkan spot tempat duduk yang
bagus untuk menonton, kami pasti berangkat lebih cepat.
Niat banget ya? Waktu menunggu biasanya kami
pakai dengan mengobrol atau bercanda. Tapi aku juga pernah memakai waktu
menunggu untuk mengerjakan tugas kuliah. Malah suatu waktu aku dan beberapa
teman membantu mengerjakan tugas salah satu teman yang akan melamar kerja ke
Jepang! Jadi kami sibuk membuka buku-buku dan mengerjakan soal-soal di tribun
penonton sembari menunggu pertandingan dimulai!
Selama pengalaman menonton sepak bola langsung
ke stadion, ada satu pengalaman menarik yang pernah aku alami. Waktu itu
pertandingan sudah memasuki istirahat babak pertama. Tiba-tiba dari pengeras
suara stadion, terdengar pengumuman.
“Pengumuman bagi saudara …….. mohon untuk
segera pulang ke rumah, dikarenakan ibunda meninggal dunia!”
Sayang sekali aku sudah lupa siapa nama yang
disebut dalam pengumuman tersebut. Namun rasanya pengumuman itu terlalu kejam.
Kalau aku sendiri yang mengalaminya, aku pasti akan langsung pingsan di
lapangan. Histeris. Pengumuman itu kan
bisa diubah redaksi kalimatnya, mungkin bisa dengan mengatakan ibunda kritis
atau masuk RS atau bagaimanalah. Jangan langsung to the point begitu. Haduh….
Parah.
Berbagai pengalaman menarik inilah yang membuat
aku mencintai dunia sepak bola. Bahkan aku sampai pernah berniat kursus wasit
waktu itu. Tapi tak diizinkan oleh ibuku, hihihihi…. Baiklah buk, izin ibuk
untuk aku boleh pergi menonton sepak bola saja sudah sangat luar biasa untuk anaknya
yang bandel ini. Jadi aku nggak
protes sama sekali waktu dilarang kursus wasit.
Kecintaanku bagi dunia sepak bola membuat aku
bercita-cita menjadi wartawan sepak bola, meski akhirnya hanya aku tekuni
selama kurang lebih dua tahun. Tapi itu sudah membuatku cukup puas. Sekarang,
aku hanya menjadi penonton saja di dunia sepak bola. Tak lagi sibuk mengikuti
berbagai isu dan berita mengenai sepak bola. Kapan-kapan akan kutulis
pengalamanku sebagai jurnalis sepak bola deh.
Tetap semangat!(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar