Rabu, 27 April 2016

Daster Bendera Piknik



SEPAK BOLA. Duh kata yang satu ini benar-benar sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupku. Semua berawal dari masa SMA. Karena telat masuk kelas di hari pertama sekolah, aku kebagian duduk di sebelah Daniel, yang merupakan penggemar berat sepak bola. Aku tidak bisa memilih teman lain sebagai teman sebangku, karena semua bangku sudah penuh. Jadi, setiap detik, menit, jam, dia selalu bercerita mengenai sepak bola kepadaku. Alhasil, lama-lama aku jadi ikut jadi penggila bola.
Pun ketika aku berada di rumah. Tetanggaku yang bernama Pak Nudu memiliki lima anak yang semuanya laki-laki dan semuanya penggila bola. Jadilah aku makin menggemari olahraga si kulit bundar ini.
Sebagai penggemar sepak bola, tentu aku harus mengikuti berbagai berita mengenai sepak bola. Namun berhubung waktu itu aku masih berstatus mahasiswa lengkap dengan kantong cekaknya, aku memutuskan untuk patungan membeli tabloid olahraga dengan salah satu anak Pak Nudu.
Namanya Dony. Aku kerap memanggilnya Donell. Dia mendapat jatah untuk membeli tabloid di hari Senin, sementara aku di hari Kamis, karena tabloid sepak bola itu terbit dua kali seminggu. Sudah bisa ditebak, kalau hari Senin tiba, aku pasti maen ke rumahnya untuk numpang baca. Begitu pula yang sebaliknya dilakukan Donell di hari Kamis.
Namun yang lebih sering terjadi adalah Donell yang kelupaan membeli tabloid tersebut. Aaaarrrggghhhh…. Dasaaaaaaaaarrrrrrrrrr!!!! Kalau sudah begitu aku langsung memaksa Donell untuk membelinya. Setelah berhasil membelinya, aku harus membacanya duluan! Curang ya?
Selain patungan membeli tabloid, kami juga sahabat yang kompak untuk urusan menonton pertandingan sepak bola langsung ke stadion. Karena kami tinggal di daerah Sleman, maka kami adalah suporter klub sepak bola PSS Sleman.
Sebagai Slemania, julukan suporter PSS Sleman, kami selalu rajin menonton hampir di setiap pertandingannya. Tapi karena sekali lagi, kantong kami cekak, atribut suporter kami tak terlalu lengkap. Kami hanya punya kaos jersey PSS Sleman. Kami tak punya atribut lain seperti syal, topi, maupun bendera.
Nah untuk urusan terakhir, harganya cukup mahal untuk ukuran kantong kami saat itu. Kami ingin beli bendera tapi tak ada uang. Akhirnya kami berpikir untuk mencari kain warna hijau saja, yang merupakan warna khas PSS Sleman. Tapi, kami tetap saja tak menemukan kain berwarna hijau milik ibuku maupun mama Donell.
Haduh. Kami berdua pun kebingungan, karena tanpa bendera, kami tak akan total sebagai suporter. Hahahahahaha…. Melihat kami kebingungan, mama Donell pun bertanya kepada kami. “Ngapain kalian bengong di situ?”
“Bingung cari kain hijau buat bikin bendera PSS, ma,” jawabku. Aku juga turut memanggil mama kepada mama Donell.
“Warna hijau ya, sebentar mama carikan dulu.”
Mama pun membongkar lemarinya, namun tetap tak menemukan kain warna hijau di sana.
“Mama adanya cuma punya daster hijau nih!” teriak mama dari dalam kamar.
Daster? Memang itu bisa menyelesaikan masalah? Tapi tak lama kemudian, aku malah mendapatkan ide cemerlang.
“Eh, kita pakai aja daster itu, Nel. Kita bikin bendera daster ajaaaa…. Yang penting warna hijau bukan?”  jawabku.
Meski masih ogah-ogahan, Donell pun menyetujui usulku. Beruntung, daster yang dimiliki mama tak terlalu banyak bermotif, jadi warna hijaunya masih kelihatan dominan.
Tak butuh waktu lama untuk menggunting daster hijau semi polos tersebut menjadi bendera. Setelah dijahit mama di bagian pinggir, kami pun jadi bersemangat melihat hasil akhir daster bendera tersebut. Sudah terbayang muka-muka teman-temanku dan suporter lain, ketika daster bendera itu berkibar nantinya. Hihihihhi…

NONTON ATAU PIKNIK?
Di hari H, kami sudah bersiap menonton pertandingan. Kalau mama mempersiapkan bendera hijau, ibuku ikut mempersiapkan makanan yang akan kami konsumsi selama pertandingan. Ehem, sebenarnya bukan mempersiapkan sih, lebih tepatnya aku yang mengangkut semua makanan di rumah.
Semua isi toples di rumah langsung ludes menjelang keberangkatan aku ke stadion. Begitu pula dengan air es di kulkas yang akan aku angkut berikut botol-botolnya. Setiap kali melihat polah tingkahku menjelang menonton pertandingan, ibuku selalu kebingungan.
“Sebenarnya kamu itu mau nonton sepak bola atau mau piknik sih?” tanyanya.
Hihihi…. Maaf buk, daripada kami jajan di stadion, padahal kantong kami cekak, kan kami bisa menghemat dengan begini.
Ibuku masih tetap geleng-geleng kepala.
Memang begitu peraturannya. Sebagai satu-satunya anggota wanita di kelompok suporter di kompleks rumah, aku memang selalu didapuk sebagai seksi konsumsi. Tapi itu masih mending dibandingkan larangan menonton sepak bola bagi salah satu teman di kompleks rumah. Pasalnya setiap kali dia ikut menonton ke stadion, pertandingan selalu ditunda akibat hujan! Jadilah, kami melarangnya untuk ikut menonton.
Ada juga larangan menonton bagi satu temanku yang lain. Sebab jika dia ikut menonton, PSS selalu mengalami kekalahan. Jadi dia dianggap sebagai biang kekalahan.
Hihihi…. Lucu kalau inget itu. Apa coba hubungan dua temanku itu dengan hujan dan kekalahan? Sama sekali tak ada. Beruntung, dua temanku ini sampai sekarang malah tertawa lebar ketika kami ungkit kenangan itu lagi…. No hard feeling…. Hahahahahaha….
Biasanya pertandingan baru dimulai pukul 15.30, namun kami selalu sudah berada di tribun penonton sekitar pukul 13.30! Demi mendapatkan spot tempat duduk yang bagus untuk menonton, kami pasti berangkat lebih cepat.
Niat banget ya? Waktu menunggu biasanya kami pakai dengan mengobrol atau bercanda. Tapi aku juga pernah memakai waktu menunggu untuk mengerjakan tugas kuliah. Malah suatu waktu aku dan beberapa teman membantu mengerjakan tugas salah satu teman yang akan melamar kerja ke Jepang! Jadi kami sibuk membuka buku-buku dan mengerjakan soal-soal di tribun penonton sembari menunggu pertandingan dimulai!
Selama pengalaman menonton sepak bola langsung ke stadion, ada satu pengalaman menarik yang pernah aku alami. Waktu itu pertandingan sudah memasuki istirahat babak pertama. Tiba-tiba dari pengeras suara stadion, terdengar pengumuman.
“Pengumuman bagi saudara …….. mohon untuk segera pulang ke rumah, dikarenakan ibunda meninggal dunia!”
Sayang sekali aku sudah lupa siapa nama yang disebut dalam pengumuman tersebut. Namun rasanya pengumuman itu terlalu kejam. Kalau aku sendiri yang mengalaminya, aku pasti akan langsung pingsan di lapangan. Histeris. Pengumuman itu kan bisa diubah redaksi kalimatnya, mungkin bisa dengan mengatakan ibunda kritis atau masuk RS atau bagaimanalah. Jangan langsung to the point begitu. Haduh…. Parah.
Berbagai pengalaman menarik inilah yang membuat aku mencintai dunia sepak bola. Bahkan aku sampai pernah berniat kursus wasit waktu itu. Tapi tak diizinkan oleh ibuku, hihihihi…. Baiklah buk, izin ibuk untuk aku boleh pergi menonton sepak bola saja sudah sangat luar biasa untuk anaknya yang bandel ini. Jadi aku nggak protes sama sekali waktu dilarang kursus wasit.
Kecintaanku bagi dunia sepak bola membuat aku bercita-cita menjadi wartawan sepak bola, meski akhirnya hanya aku tekuni selama kurang lebih dua tahun. Tapi itu sudah membuatku cukup puas. Sekarang, aku hanya menjadi penonton saja di dunia sepak bola. Tak lagi sibuk mengikuti berbagai isu dan berita mengenai sepak bola. Kapan-kapan akan kutulis pengalamanku sebagai jurnalis sepak bola deh. Tetap semangat!(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar