Kamis, 03 Maret 2016

Dari Kisah Seorang Sahabat, Balada Seorang Pelaut (4-Habis)



Sebuah Pilihan Hidup

PROFESI apapun yang kita geluti, semua merupakan pilihan hidup. Ada resiko dan tanggungjawab yang harus kita pikul atas pilihan yang telah kita buat tersebut. Begitu pula dengan profesi pelaut yang telah saya pilih, memiliki resiko dan tanggungjawab yang tidak ringan, yakni membuat saya jauh dari keluarga.
Ketika saya mengawali karier sebagai pelaut setelah lulus dari akademi ilmu pelayaran pada 1996. Setelah kurang lebih tujuh tahun berada di perusahaan yang sama, saya pun memutuskan pindah ke perusahaan lain pada 2004. Di perusahaan ini, karier saya berkembang cukup baik karena beberapa kali menerima promosi kenaikan jabatan dari atas, hingga akhirnya menjadi chief engineer (CE) pada usia 33 tahun.
Jadi, sekitar 10 tahun setelah saya pertama kali bekerja di kapal, saya berhasil menjadi chief engineer. Jabatan tertinggi yang berhasil dicapai dengan jurusan ilmu yang saya miliki. Kapal pertama yang menugasi saya untuk bertugas sebagai CE adalah sebuah kapal chemical tanker dengan bobot DWT 19.900 T, ocean going trade vessel.
Meski saya sudah menjabat CE, banyak juga orang asing yang tidak percaya kalau anak muda yang sedang berhadapan dengan mereka adalah CE kapal tersebut. Mulai dari PSC officer di Rotterdam, Belanda, para supplier bunker, maupun third party di Amsterdam, Chile, sampai Argentina.
Mungkin mereka berharap bertemu orang yang sudah berumur, yang menjabat sebagai CE, namun kenyataannya yang mereka temui adalah saya, yang notabene masih muda dibandingkan mereka. Sebagian dari mereka agak kaget dan tak percaya ketika mengetahuinya. Bisa jadi penampilan saya tidak cukup meyakinkan sebagai CE saat itu. Atau jangan-jangan sampai sekarang penampilan saya tak kunjung meyakinkan ya? Hahahahahaha....
Bagi sebagian orang – terutama para pelaut sejati – masa kerja 14 tahun masih terlalu pendek untuk dibanggakan, apalagi untuk diceritakan. Tapi tidak untuk saya pribadi. Saya merasa jenjang karier saya di kapal sudah mentok setelah 14 tahun menggeluti profesi ini.
Pasalnya sesuai dengan bidang dan latar belakang pendidikan saya, posisi tertinggi di kapal yang bisa diraih adalah posisi CE. Tidak ada lagi posisi di atasnya. Karenanya, untuk berkembang, saya harus bekerja di darat. Kalau memungkinkan tentu saja bekerja di bidang yang masih berhubungan dengan dunia pelayaran.
Keputusan itu saya buat di tahun ketujuh masa kerja saya di perusahaan sebelumnya. Saat sedang dalam masa tunggu setelah sign-off, saya mencoba melamar pekerjaan di darat di beberapa perusahaan pelayaran. Tak terpikir bagi saya untuk pindah bekerja di bidang lain karena background pendidikan dan pengalaman saya hanya di bidang kelautan.
Salah satu perusahaan yang saya lamar adalah Arpeni. Perusahaan yang sebenarnya berada di gedung yang saya kerap datangi. Akhirnya, saya memutuskan memilih Arpeni dibandingkan perusahaan lainnya.

ALASAN LAIN
Sebuah alasan lain yang tak kalah penting juga melatarbelakangi kenapa saya memutuskan untuk bekerja di darat. Saat itu, anak pertama saya yang masih berumur tiga tahun selalu memanggil saya Om Ayah ketika saya berada di rumah pada masa tunggu.
Waduh, Om Ayah? Sebutan apalagi itu? Ternyata usut punya usut, pria dewasa yang biasa datang ke rumah adalah adik saya atau adik istri saya. Jadilah anak saya memberikan panggilan om untuk semua pria dewasa yang datang ke rumah. Mulai Om Ari, Om Yudi, Om Aan, dan satu lagi, Om Ayah, khusus untuk saya.
Satu hal lagi yang lebih parah. Setiap kali ditanya, “Ayah mana mas?” oleh siapapun juga, dia pasti akan sibuk mencari foto saya di dinding rumah dan langsung menunjuk foto saya yang kebetulan terpampang di dinding rumah. Padahal di saat yang sama, saya sedang menggendongnya! Tak hanya itu, anak saya juga melarang saya berada di kamar. Entah mengapa.
Saya baru bisa masuk kamar saat anak saya ini sudah tertidur. Kejadian ini terus berulang setiap kali saya pulang atau sign off sampai beberapa hari saya berada di rumah.
Secara sosial, kehidupan saya sebagai pelaut – menurut saya pribadi – rasanya kurang normal bagi saya. Sebagai orang Indonesia yang lahir dan besar di desa, yang lekat dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, kekeluargaan, dan keagamaan, rasanya ada yang hilang kalau saya terus bekerja di kapal.
Saya tak pernah memiliki waktu untuk terlibat dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan apapun, mengingat sebagian besar waktu saya dihabiskan di laut. Padahal saya dibesarkan dengan itu semua. Jadi, ada rasa yang hilang jika saya tetap bekerja di kapal.
Komunikasi saya dengan keluarga jadi sangat terbatas. Beberapa perjalanan membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk sampai ke pelabuhan tujuan. Misalnya saat memuat caustic soda dari Jepang ke Chile yang berada di Amerika Selatan. Perjalanannya saja membutuhkan waktu selama 31 hari. Di tengah perjalanan itu, saya kesulitan menghubungi keluarga. Artinya, paling tidak saya baru bisa telepon keluarga saya hanya sekali dalam satu bulan.
Dalam perjalanan, paling kami hanya bisa bertemu satu kapal di kawasan Pasifik. Kami juga jarang turun menginjak daratan, belum lagi jika kami berada di pelabuhan yang letaknya entah di antah berantah. Sinyal sulit didapat karena biasanya pelabuhan chemical selalu berada di kawasan industri yang biasanya terletak jauh dari pemukiman atau pusat keramaian.
Misalnya ketika kapal saya memuat palm oil di Dumai, Riau, kami bersandar bukan di Pelabuhan Dumai, melainkan di tengah hutan, yang dekat pabrik pengolahannya. Kami mesti menyewa mobil jika ingin menuju ke Kota Dumai. Itu pun dengan catatan kalau tidak hujan. Kalau hujan, berarti kita tidak bisa pulang ke kapal, mengingat kendaraan yang bisa lewat hanyalah kendaraan penggerak empat roda seperti jeep atau land cruiser, yang harga sewanya lebih mahal dibandingkan mobil biasa. Hal-hal seperti ini jamak terjadi di beberapa pelabuhan yang kami datangi.
Belum lagi kehidupan sosial sebagai bagian dari masyarakat dan warga negara. Seumur hidup saya, saya baru dua kali ikut ambil bagian dalam pesta demokrasi, yakni pada Pemilu 2009 dan 2014. Kondisi-kondisi inilah yang membuat saya harus memilih pada akhirnya. Saya memilih untuk lebih dekat dengan keluarga. Saya ingin ikut berperan dalam mendidik dan membesarkan anak-anak.
Keputusan ini saya buat, bukan karena tidak percaya dengan pasangan, tapi menurut saya, anak-anak akan merasa “lengkap” apabila tumbuh didampingi orang tua yang juga lengkap. Saya ingin mendampingi mereka sampai besar nanti. Pilihan ini membuat saya harus melepaskan kesempatan mendapatkan penghasilan yang cukup besar jika bekerja di kapal. Namun sekali lagi, hidup adalah sebuah pilihan. Kita sendiri yang menentukan.(*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar