Sebuah Pilihan Hidup
PROFESI apapun yang
kita geluti, semua merupakan pilihan hidup. Ada resiko dan tanggungjawab yang
harus kita pikul atas pilihan yang telah kita buat tersebut. Begitu pula dengan
profesi pelaut yang telah saya pilih, memiliki resiko dan tanggungjawab yang
tidak ringan, yakni membuat saya jauh dari keluarga.
Ketika saya mengawali karier sebagai
pelaut setelah lulus dari akademi ilmu pelayaran pada 1996. Setelah kurang
lebih tujuh tahun berada di perusahaan yang sama, saya pun memutuskan pindah ke
perusahaan lain pada 2004. Di perusahaan ini, karier saya berkembang cukup baik
karena beberapa kali menerima promosi kenaikan jabatan dari atas, hingga
akhirnya menjadi chief engineer (CE) pada usia 33 tahun.
Jadi, sekitar 10 tahun setelah saya pertama
kali bekerja di kapal, saya berhasil menjadi chief engineer. Jabatan tertinggi yang
berhasil dicapai dengan jurusan ilmu yang saya miliki. Kapal pertama yang
menugasi saya untuk bertugas sebagai CE adalah sebuah kapal chemical tanker dengan bobot DWT 19.900
T, ocean going trade vessel.
Meski saya sudah menjabat CE, banyak juga
orang asing yang tidak percaya kalau anak muda yang sedang berhadapan dengan
mereka adalah CE kapal tersebut. Mulai dari PSC officer di Rotterdam, Belanda,
para supplier bunker, maupun third party di Amsterdam, Chile, sampai Argentina.
Mungkin mereka berharap bertemu orang yang
sudah berumur, yang menjabat sebagai CE, namun kenyataannya yang mereka temui
adalah saya, yang notabene masih muda dibandingkan mereka. Sebagian dari mereka
agak kaget dan tak percaya ketika mengetahuinya. Bisa jadi penampilan saya
tidak cukup meyakinkan sebagai CE saat itu. Atau jangan-jangan sampai sekarang
penampilan saya tak kunjung meyakinkan ya? Hahahahahaha....
Bagi sebagian orang – terutama para pelaut
sejati – masa kerja 14 tahun masih terlalu pendek untuk dibanggakan, apalagi
untuk diceritakan. Tapi tidak untuk saya pribadi. Saya merasa jenjang karier
saya di kapal sudah mentok setelah 14 tahun menggeluti profesi ini.
Pasalnya sesuai dengan bidang dan latar
belakang pendidikan saya, posisi tertinggi di kapal yang bisa diraih adalah
posisi CE. Tidak ada lagi posisi di atasnya. Karenanya, untuk berkembang, saya
harus bekerja di darat. Kalau memungkinkan tentu saja bekerja di bidang yang
masih berhubungan dengan dunia pelayaran.
Keputusan itu saya buat di tahun ketujuh
masa kerja saya di perusahaan sebelumnya. Saat sedang dalam masa tunggu setelah
sign-off, saya mencoba melamar pekerjaan di darat di beberapa perusahaan
pelayaran. Tak terpikir bagi saya untuk pindah bekerja di bidang lain karena background pendidikan dan pengalaman
saya hanya di bidang kelautan.
Salah satu perusahaan yang saya lamar
adalah Arpeni. Perusahaan yang sebenarnya berada di gedung yang saya kerap
datangi. Akhirnya, saya memutuskan memilih Arpeni dibandingkan perusahaan
lainnya.
ALASAN LAIN
Sebuah alasan lain yang tak kalah penting
juga melatarbelakangi kenapa saya memutuskan untuk bekerja di darat. Saat itu,
anak pertama saya yang masih berumur tiga tahun selalu memanggil saya Om Ayah
ketika saya berada di rumah pada masa tunggu.
Waduh, Om Ayah? Sebutan apalagi itu?
Ternyata usut punya usut, pria dewasa yang biasa datang ke rumah adalah adik
saya atau adik istri saya. Jadilah anak saya memberikan panggilan om untuk
semua pria dewasa yang datang ke rumah. Mulai Om Ari, Om Yudi, Om Aan, dan satu
lagi, Om Ayah, khusus untuk saya.
Satu hal lagi yang lebih parah. Setiap
kali ditanya, “Ayah mana mas?” oleh siapapun juga, dia pasti akan sibuk mencari
foto saya di dinding rumah dan langsung menunjuk foto saya yang kebetulan
terpampang di dinding rumah. Padahal di saat yang sama, saya sedang
menggendongnya! Tak hanya itu, anak saya juga melarang saya berada di kamar.
Entah mengapa.
Saya baru bisa masuk kamar saat anak saya
ini sudah tertidur. Kejadian ini terus berulang setiap kali saya pulang atau sign off sampai beberapa hari saya
berada di rumah.
Secara sosial, kehidupan saya sebagai
pelaut – menurut saya pribadi – rasanya kurang normal bagi saya. Sebagai orang
Indonesia yang lahir dan besar di desa, yang lekat dengan kehidupan sosial
kemasyarakatan, kekeluargaan, dan keagamaan, rasanya ada yang hilang kalau saya
terus bekerja di kapal.
Saya tak pernah memiliki waktu untuk terlibat
dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan apapun, mengingat sebagian besar
waktu saya dihabiskan di laut. Padahal saya dibesarkan dengan itu semua. Jadi,
ada rasa yang hilang jika saya tetap bekerja di kapal.
Komunikasi saya dengan keluarga jadi
sangat terbatas. Beberapa perjalanan membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk
sampai ke pelabuhan tujuan. Misalnya saat memuat caustic soda dari Jepang ke Chile yang berada di Amerika Selatan.
Perjalanannya saja membutuhkan waktu selama 31 hari. Di tengah perjalanan itu,
saya kesulitan menghubungi keluarga. Artinya, paling tidak saya baru bisa telepon
keluarga saya hanya sekali dalam satu bulan.
Dalam perjalanan, paling kami hanya bisa
bertemu satu kapal di kawasan Pasifik. Kami juga jarang turun menginjak daratan,
belum lagi jika kami berada di pelabuhan yang letaknya entah di antah berantah.
Sinyal sulit didapat karena biasanya pelabuhan chemical selalu berada di kawasan industri yang biasanya terletak
jauh dari pemukiman atau pusat keramaian.
Misalnya ketika kapal saya memuat palm oil di Dumai, Riau, kami bersandar
bukan di Pelabuhan Dumai, melainkan di tengah hutan, yang dekat pabrik
pengolahannya. Kami mesti menyewa mobil jika ingin menuju ke Kota Dumai. Itu
pun dengan catatan kalau tidak hujan. Kalau hujan, berarti kita tidak bisa
pulang ke kapal, mengingat kendaraan yang bisa lewat hanyalah kendaraan
penggerak empat roda seperti jeep
atau land cruiser, yang harga sewanya
lebih mahal dibandingkan mobil biasa. Hal-hal seperti ini jamak terjadi di
beberapa pelabuhan yang kami datangi.
Belum lagi kehidupan sosial sebagai bagian
dari masyarakat dan warga negara. Seumur hidup saya, saya baru dua kali ikut
ambil bagian dalam pesta demokrasi, yakni pada Pemilu 2009 dan 2014.
Kondisi-kondisi inilah yang membuat saya harus memilih pada akhirnya. Saya
memilih untuk lebih dekat dengan keluarga. Saya ingin ikut berperan dalam
mendidik dan membesarkan anak-anak.
Keputusan ini saya buat, bukan karena
tidak percaya dengan pasangan, tapi menurut saya, anak-anak akan merasa
“lengkap” apabila tumbuh didampingi orang tua yang juga lengkap. Saya ingin
mendampingi mereka sampai besar nanti. Pilihan ini membuat saya harus
melepaskan kesempatan mendapatkan penghasilan yang cukup besar jika bekerja di
kapal. Namun sekali lagi, hidup adalah sebuah pilihan. Kita sendiri yang
menentukan.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar