Pelaut yang Mabuk Laut
MENJADI seorang
pelaut tak pernah menjadi cita-cita saya. Terbersit di kepala saya pun tidak
pernah. Saya lahir di Pulau Jawa, besar di Pulau Jawa, bisa dibilang saya tak
pernah bepergian ke luar Pulau Jawa. Bahkan kultur di Pulau Jawa yang lebih
mendekat ke industri pertanian, semakin menjauhkan saya dari laut.
Belum lagi mitos-mitos mengenai laut yang
agak seram di Pulau Jawa, seperti mitos Nyi
Roro Kidul yang membuat kehidupan sebagian besar masyarakat di Pulau
Jawa “jauh” dari bidang kelautan. Mitos-mitos seperti itulah yang membuat
profesi sebagai pelaut semakin asing bagi saya.
Saya juga tak familiar dengan kapal. Pertama
kali saya menaiki kendaraan di lintas perairan adalah menaiki perahu jukung
yang menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat melewati Sungai Cisanggarung di
usia 13 tahun. Sungai ini terletak di perbatasan Provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila kondisi sungai
tenang pada saat musim kemarau tiba.
Pun ketika ada career day semasa saya duduk di bangku SMA. Saya sama sekali tak
tertarik dengan promosi kakak kelas yang sudah lulus sekolah dan sedang
menempuh studi di sebuah akademi pelayaran. Tapi sejauh apapun saya menghindar,
takdir sudah memiliki jalannya sendiri. Tak lama setelah lulus SMA, saya masuk
ke salah satu akademi pelayaran di Jakarta.
Saya menjadi salah satu dari 12 taruna
yang beruntung mendapatkan beasiswa dengan ikatan dinas dari salah satu perusahaan
pelayaran terkemuka di Jakarta. Otomatis, saya mudah mencari kapal untuk
praktek berlayar (prola).
Selama masa prola, tepatnya di akhir Maret
1995, saya bersama lima cadet lainnya
terbang menuju ke Tomakomai, Jepang, untuk menuju ke kapal tempat kami akan
hidup, belajar, bekerja, dan menempa diri sebagai cadet. Dari lima cadet
ini, tiga menjadi deck cadet dan dua
lainnya menjadi engine cadet.
Sama seperti orang-orang lain yang
bepergian ke luar negeri, kami berenam pun beramai-ramai diantar oleh keluarga
masing-masing ke Bandara Soekarno-Hatta. Setelah saling mengucapkan kata
perpisahan degan keluarga masing-masing, kami pun terbang menuju Bandara
Haneda, Tokyo, Jepang, dengan menggunakan pesawat Japan Airlines.
Keesokan harinya, sampailah kami berenam
di sebuah kapal yang sangat besar. Paling tidak bagi saya yang baru pertama
kali melihat kapal besar. Kapal yang memiliki lambung hitam merah itu merupakan
sebuah kapal log and bulk carrier
berkapasitas 38,000 DWT, buatan 1983 dan sedang discharge cargo.
DILANDA PANIK
Panik pun tiba-tiba melanda saya. Bukan
hanya panik menghadapi cuaca dingin di Jepang, saya juga panik menghadapi
“kehidupan baru” di atas kapal nanti. Bagaimana proses penerimaan crew-nya? Bagaimana nanti saya harus
beradaptasi dengan kehidupan kapal. Ribuan pikiran dan kepanikan pun berkecamuk
di otak saya.
Akhirnya, sampailah kami di atas kapal.
Sambil menggotong koper dan ransel, detak jantung saya tiba-tiba meningkat.
Mungkin akibat adrenalin yang terlalu membuncah atau campuran berbagai jenis bau-bauan
di pintu masuk kapal. Otomatis, badan saya pun gemetaran, pusing, dan seakan
mau mabuk.
Mabuk? Saya kan cadet ya? Calon pelaut? Orang yang akan menghabiskan sebagian
hidupnya di atas laut. Bagaimana mungkin saya sudah merasa mau mabuk saat baru
menginjak pintu masuk kapal? Bahkan ketika kapalnya masih bersandar di
pelabuhan! Nggak banget!
Saya pun sedikit menghibur diri, mungkin
kombinasi bau bahan bakar, bermacam zat kimia, cat, dan lain-lain yang membuat
aroma di pintu kapal menjadi khas dan membuat kepala saya pusing. Paling tidak
hiburan itu membuat beban saya untuk menjadi cadet yang baik, sedikit
berkurang.
Keesokan harinya, kapal pun berangkat
menuju Vancouver, Kanada. Di sinilah semua “kekacauan” itu dimulai. Hari
pertama, saya harus mengikuti program pengenalan para crew di engine room.
Kombinasi stres dan mabuk yang saya alami sehari sebelumnya, membuat saya
amnesia untuk menghapalkan nama para crew
kapal tersebut.
Mengapa wajah semua orang terlihat sama
semua? Mengapa tidak ada yang “baik” sama saya? Belum lagi semuanya itu selesai
saya pikirkan, saya harus mempelajari berbagai istilah baru dalam kapal. Ada OHN, majun, valve anu, kran itu, dan
berbagai istilah lainnya. Sampai saking bingungnya, ada salah satu crew yang
iseng ngerjain saya, kalau singkatan
dari OHN adalah Ongkos Haji Naik. Walaaaaahh...
Akhirnya, daripada stres dan bingung
disuruh membantu ini-itu, sementara saya belum tahu apa-apa, akhirnya saya
pilih kucing-kucingan alias ngumpet
dari para masinis kapal. Istilah septi
(dari kata safety, red) pun tercipta di antara para cadet setiap kali kami kucing-kucingan
dengan para masinis.
Oh
ya, jangan lupa, saya
masih dilanda mabuk. Belum lagi ditambah engine
room yang sudah mulai panas, uap oli, bahan bakar, cat, dan berbagai bahan
kimia yang memenuhi udara kamar mesin. Semuanya lengkap sudah buat saya. Saya
tumbang. Mabuk laut berat. Apapun yang saya lakukan untuk menyembuhkan mabuk
itu terasa salah.
Mau minum teh hangat, rasa tehnya sudah
tak karuan. Tak seperti teh di rumah yang rasanya enak. Mau minum susu, malah
saya tambah mabuk tak karuan. Mungkin karena lidah ndeso saya. Berbagai macam cara dan saran dari crew lain saya ikuti. Disuruh minum air jangkar, air jeruk, air
inilah, air itulah, tetap saja tak membuat kadar mabuk laut saya berkurang.
Mana masinis tak ada yang bersikap
kooperatif kepada para cadet.
Alasannya klise, supaya kami kuat, tangguh, dan tidak manja. Yang membuat mabuk
saya semakin parah, saya berada di kapal kosong yang harus melewati Samudera
Pasifik, jadi tak terbayang guncangan yang terjadi sepanjang perjalanan.
Semua hal itu seakan menjadi kombinasi
yang luar biasa bagi saya untuk mengusung alasan kalau saya menyesal masuk sekolah
pelayaran. Selama masa dua minggu perjalanan menuju ke Vancouver itu, saya
merasa hidup segan mati tak mau, karena saking parahnya mabuk laut yang saya
alami.
Akhirnya, sampailah saya di Vancouver,
Kanada. Alhamdulilah, segala “siksaan” itu berkurang. Sebagai hiburan, salah
satu masinis kapal mengajak saya “pesiar” alias turun ke darat. Tapi yang
namanya “pesiar” itu rasanya terlalu modern untuk anak ndeso seperti saya. Alhasil, saya pun hanya terbengong-bengong
selama pertunjukan berlangsung.
Belum
lagi sajian bir yang membuat kepala saya semakin pusing, meski mabuk laut sudah
berkurang. Namanya juga anak ndeso,
yang tak pernah minum bir. Mungkin inilah resiko menjadi pelaut, begitu pikir
saya.
Beberapa hari kemudian, kapal kembali ke
Jepang setelah kargo penuh. Herannya, saya sama sekali tidak mabuk kali ini.
Lah? Mungkin karena kapal penuh karena full
draft atau karena saya sudah mulai terbiasa dengan kehidupan sebagai pelaut?
Atau jangan-jangan mabuk laut saya terobati gara-gara melihat pertunjukan itu? Halaaaaaahhhh! (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar