Kamis, 03 Maret 2016

Dari Kisah Seorang Sahabat, Balada Seorang Pelaut (1)



Pelaut yang Mabuk Laut

MENJADI seorang pelaut tak pernah menjadi cita-cita saya. Terbersit di kepala saya pun tidak pernah. Saya lahir di Pulau Jawa, besar di Pulau Jawa, bisa dibilang saya tak pernah bepergian ke luar Pulau Jawa. Bahkan kultur di Pulau Jawa yang lebih mendekat ke industri pertanian, semakin menjauhkan saya dari laut.
Belum lagi mitos-mitos mengenai laut yang agak seram di Pulau Jawa, seperti mitos Nyi  Roro Kidul yang membuat kehidupan sebagian besar masyarakat di Pulau Jawa “jauh” dari bidang kelautan. Mitos-mitos seperti itulah yang membuat profesi sebagai pelaut semakin asing bagi saya.
Saya juga tak familiar dengan kapal. Pertama kali saya menaiki kendaraan di lintas perairan adalah menaiki perahu jukung yang menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat melewati Sungai Cisanggarung di usia 13 tahun. Sungai ini terletak di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila kondisi sungai tenang pada saat musim kemarau tiba.
Pun ketika ada career day semasa saya duduk di bangku SMA. Saya sama sekali tak tertarik dengan promosi kakak kelas yang sudah lulus sekolah dan sedang menempuh studi di sebuah akademi pelayaran. Tapi sejauh apapun saya menghindar, takdir sudah memiliki jalannya sendiri. Tak lama setelah lulus SMA, saya masuk ke salah satu akademi pelayaran di Jakarta.
Saya menjadi salah satu dari 12 taruna yang beruntung mendapatkan beasiswa dengan ikatan dinas dari salah satu perusahaan pelayaran terkemuka di Jakarta. Otomatis, saya mudah mencari kapal untuk praktek berlayar (prola).
Selama masa prola, tepatnya di akhir Maret 1995, saya bersama lima cadet lainnya terbang menuju ke Tomakomai, Jepang, untuk menuju ke kapal tempat kami akan hidup, belajar, bekerja, dan menempa diri sebagai cadet. Dari lima cadet ini, tiga menjadi deck cadet dan dua lainnya menjadi engine cadet.
Sama seperti orang-orang lain yang bepergian ke luar negeri, kami berenam pun beramai-ramai diantar oleh keluarga masing-masing ke Bandara Soekarno-Hatta. Setelah saling mengucapkan kata perpisahan degan keluarga masing-masing, kami pun terbang menuju Bandara Haneda, Tokyo, Jepang, dengan menggunakan pesawat Japan Airlines.
Keesokan harinya, sampailah kami berenam di sebuah kapal yang sangat besar. Paling tidak bagi saya yang baru pertama kali melihat kapal besar. Kapal yang memiliki lambung hitam merah itu merupakan sebuah kapal log and bulk carrier berkapasitas 38,000 DWT, buatan 1983 dan sedang discharge cargo.

DILANDA PANIK
Panik pun tiba-tiba melanda saya. Bukan hanya panik menghadapi cuaca dingin di Jepang, saya juga panik menghadapi “kehidupan baru” di atas kapal nanti. Bagaimana proses penerimaan crew-nya? Bagaimana nanti saya harus beradaptasi dengan kehidupan kapal. Ribuan pikiran dan kepanikan pun berkecamuk di otak saya.
Akhirnya, sampailah kami di atas kapal. Sambil menggotong koper dan ransel, detak jantung saya tiba-tiba meningkat. Mungkin akibat adrenalin yang terlalu membuncah atau campuran berbagai jenis bau-bauan di pintu masuk kapal. Otomatis, badan saya pun gemetaran, pusing, dan seakan mau mabuk.
Mabuk? Saya kan cadet ya? Calon pelaut? Orang yang akan menghabiskan sebagian hidupnya di atas laut. Bagaimana mungkin saya sudah merasa mau mabuk saat baru menginjak pintu masuk kapal? Bahkan ketika kapalnya masih bersandar di pelabuhan! Nggak banget!
Saya pun sedikit menghibur diri, mungkin kombinasi bau bahan bakar, bermacam zat kimia, cat, dan lain-lain yang membuat aroma di pintu kapal menjadi khas dan membuat kepala saya pusing. Paling tidak hiburan itu membuat beban saya untuk menjadi cadet yang baik, sedikit berkurang.
Keesokan harinya, kapal pun berangkat menuju Vancouver, Kanada. Di sinilah semua “kekacauan” itu dimulai. Hari pertama, saya harus mengikuti program pengenalan para crew di engine room. Kombinasi stres dan mabuk yang saya alami sehari sebelumnya, membuat saya amnesia untuk menghapalkan nama para crew kapal tersebut.
Mengapa wajah semua orang terlihat sama semua? Mengapa tidak ada yang “baik” sama saya? Belum lagi semuanya itu selesai saya pikirkan, saya harus mempelajari berbagai istilah baru dalam kapal. Ada OHN, majun, valve anu, kran itu, dan berbagai istilah lainnya. Sampai saking bingungnya, ada salah satu crew yang iseng ngerjain saya, kalau singkatan dari OHN adalah Ongkos Haji Naik. Walaaaaahh...
Akhirnya, daripada stres dan bingung disuruh membantu ini-itu, sementara saya belum tahu apa-apa, akhirnya saya pilih kucing-kucingan alias ngumpet dari para masinis kapal. Istilah septi (dari kata safety, red) pun tercipta di antara para cadet setiap kali kami kucing-kucingan dengan para masinis.
Oh ya, jangan lupa, saya masih dilanda mabuk. Belum lagi ditambah engine room yang sudah mulai panas, uap oli, bahan bakar, cat, dan berbagai bahan kimia yang memenuhi udara kamar mesin. Semuanya lengkap sudah buat saya. Saya tumbang. Mabuk laut berat. Apapun yang saya lakukan untuk menyembuhkan mabuk itu terasa salah.
Mau minum teh hangat, rasa tehnya sudah tak karuan. Tak seperti teh di rumah yang rasanya enak. Mau minum susu, malah saya tambah mabuk tak karuan. Mungkin karena lidah ndeso saya. Berbagai macam cara dan saran dari crew lain saya ikuti. Disuruh minum air jangkar, air jeruk, air inilah, air itulah, tetap saja tak membuat kadar mabuk laut saya berkurang.
Mana masinis tak ada yang bersikap kooperatif kepada para cadet. Alasannya klise, supaya kami kuat, tangguh, dan tidak manja. Yang membuat mabuk saya semakin parah, saya berada di kapal kosong yang harus melewati Samudera Pasifik, jadi tak terbayang guncangan yang terjadi sepanjang perjalanan.
Semua hal itu seakan menjadi kombinasi yang luar biasa bagi saya untuk mengusung alasan kalau saya menyesal masuk sekolah pelayaran. Selama masa dua minggu perjalanan menuju ke Vancouver itu, saya merasa hidup segan mati tak mau, karena saking parahnya mabuk laut yang saya alami.
Akhirnya, sampailah saya di Vancouver, Kanada. Alhamdulilah, segala “siksaan” itu berkurang. Sebagai hiburan, salah satu masinis kapal mengajak saya “pesiar” alias turun ke darat. Tapi yang namanya “pesiar” itu rasanya terlalu modern untuk anak ndeso seperti saya. Alhasil, saya pun hanya terbengong-bengong selama pertunjukan berlangsung.
 Belum lagi sajian bir yang membuat kepala saya semakin pusing, meski mabuk laut sudah berkurang. Namanya juga anak ndeso, yang tak pernah minum bir. Mungkin inilah resiko menjadi pelaut, begitu pikir saya.
Beberapa hari kemudian, kapal kembali ke Jepang setelah kargo penuh. Herannya, saya sama sekali tidak mabuk kali ini. Lah? Mungkin karena kapal penuh karena full draft atau karena saya sudah mulai terbiasa dengan kehidupan sebagai pelaut? Atau jangan-jangan mabuk laut saya terobati gara-gara melihat pertunjukan itu? Halaaaaaahhhh! (bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar