SUNGGUH, profesi ibuk yang satu ini memang agak menyeramkan, karena aku sendiri
sampai sekarang belum berani melakukannya. Namun aku maklum kalau ibuk punya keberanian ini, mengingat
latar belakang ibuk sebagai mantan perawat
rumah sakit, yang sudah terbiasa berhadapan dengan jenazah, baik laki-laki
maupun perempuan.
Namun
tetap saja menyeramkan menurutku. Betapa tidak, ibuk harus memulai persiapannya dari memandikan jenazah,
mengajaknya berbicara, memakaikannya pakaian, merapikannya, dan mulai
mendandaninya. Wait, sebentar,
mengajaknya berbicara? Kan yang
diajak bicara sudah meninggal?
“Bukan
begitu. Jika ada jenazah yang baru ditemukan setelah lewat dua jam setelah
meninggal dunia, biasanya kondisi badan sudah kaku. Kalau sudah begitu, ibuk sering mengajak ngobrol supaya
badannya tidak kaku dan bisa mengenakan pakaian,” kata ibuk.
“Ajak
ngobrol apa buk?” tanyaku.
“Ya
ajak ngobrol aja begini. Bapak atau ibu
kan mau menghadap Tuhan, jadi mesti rapi, yuk
dilemesin otot-ototnya, jadi bajunya bisa dipakai. Pas ngomong begitu, ibuk sambil memijit-mijit siku maupun
kaki jenazah yang sudah kaku. Lama-lama bisa lemas sendiri kok.”
Baiklah.
Aku sudah sedikit terbayang apa saja yang dilakukan ibuk sebagai perias jenazah. Tak semua orang diberkati naluri dan
kemampuan untuk menjadi perias jenazah. Namun ibuk secara luar biasa mampu melakukannya.
Sebelum
memakaikan pakaian, tahap pertama tentu saja adalah memandikan jenazah. Dalam
filosofi Jawa, jika anak-anak kandung sudah hadir sebelum proses memandikan
jenazah berlangsung, biasanya ibuk
meminta anak-anaknya untuk memangku jenazah orang tuanya saat dimandikan.
“Filosofi
itu sama seperti anak yang dipangku kedua orang tuanya saat kecil. Sekarang
gantian dong, giliran anak memangku jenazah
orang tuanya saat hendak dimandikan. Kalau orang Jawa, sebagian besar pasti
tahu filosofi ini,” jelas ibuk.
Namun
apapun sukunya, apapun agamanya, apapun jenis kelaminnya, ibuk akan dengan senang hati membantu mempersiapkan jenazah sampai
siap di peti. Hanya saja, kata ibuk, dia
belum terlalu mengerti tata cara pemakaman orang Islam, karena biasanya mereka
memiliki tim tersendiri yang menangani proses itu. Tapi kalau diizinkan untuk
membantu, ibuk akan tetap dengan
senang hati membantu.
“Biasanya
ibuk hanya membantu memegangi kain
yang digunakan untuk menutupi proses pemandian jenazah dalam tata cara agama
Islam. Paling ibuk hanya membantu
mengingatkan kalau ada yang kurang-kurang saja. Misalnya mendudukkan jenazah
supaya seluruh kotorannya keluar, jadi ketika hendak dipasangi kain kafan,
kondisinya sudah bersih,” papar ibuku.
LUKA JENAZAH
Mungkin
prosesnya terdengar gampang untuk dilakukan. Namun kita harus ingat jika proses
itu dilakukan untuk jenazah yang meninggal secara wajar atau hanya menderita
penyakit yang tak terlalu berat. Tapi bisa dibayangkan kesulitan yang ibuk alami ketika jenazah tersebut
menderita luka borok akibat diabetes atau mungkin jenazah korban pembunuhan.
“Luka borok
itu harus dikorek satu-satu supaya semuanya bersih. Begitu pula dengan
darah-darah yang mengalir. Semua harus dibersihkan,” jelas ibuk. Aku masih tetap geleng-geleng mendengar kisahnya. Ibuk memang luar biasa…
Selain
menjadi perias jenazah, ibuk juga
kerap diminta bantuan tetangga untuk mengecek kesehatan mereka. Misalnya ada
tetangga yang sudah harus menjalani suntik rutin karena menderita penyakit
diabetes. Kalau ibuk ada di rumah dan
ada waktu, pasti dia dengan senang hati membantu.
Pernah
suatu waktu, ibuk dihubungi salah
satu mantan rekannya sesama perawat saat bekerja di salah satu RS di Yogyakarta.
Dia hanya meminta ibuk untuk
menggantikannya menjaga ibunya yang sudah bed
rest akibat terkena diabetes. Satu jam saja katanya. Rekan ibuk itu butuh istirahat setelah lelah
menjaga ibunya selama ini dan ingin pergi sebentar saja.
Ibuk maklum mendengar keinginan temanku.
Sangat maklum. Menjaga orang tua yang sakit terus-menerus memang bukan
pekerjaan mudah. Butuh kesabaran luar biasa untuk melakukannya. Dan ibuk pun menjaga ibu rekannya itu dengan
senang hati hingga sekitar 1,5 jam kemudian. “Setelah dia pulang ke rumah,
wajahnya sudah ceria lagi, dan siap merawat ibunya kembali,” kata ibuk.
Well, apapun itu, sekecil apapun bantuan
kita, asalkan dilakukan dengan senang hati, maka manfaatnya akan luar biasa. Bahkan
ketika ibuk hanya menggantikan
menunggu selama 1,5 jam saja.
Profesi
ibuk yang lain adalah sebagai pendoa.
Nah, ini yang hebat lagi di mataku. Ibuk
rajin pergi ke RS yang pernah menjadi tempatnya bekerja dulu. Dia mendapatkan list pasien yang beragama Katolik di sana,
lalu dia datangi pasien itu satu-persatu. Sendirian.
Ibuk memohon izin kepada pasien untuk ikut
mendoakan supaya pasien bisa segera lekas sembuh. Namun pernah juga ada pasien
yang beragama Islam dan Kristen yang mengizinkan ibuk ikut mendoakannya secara Katolik di RS tersebut. Kata mereka,
semakin banyak yang mendoakan, apapun caranya, akan semakin besar juga
kemungkinan untuk sembuh. Ah,
perbedaan itu sungguh indah bukan?
Kadang-kadang
aku berpikir mengapa ibuk rajin
sekali melakukan berbagai kegiatan sosial seperti itu? Menurut ibuk, keluarga yang sedang terkena
musibah itu pasti sudah susah berpikir bagaimana menangani jenazah anggota
keluarganya. “Nah, kita sebagai orang
yang tidak terkena musibah harus siap membantu dan mengarahkan bagaimana
menangani jenazah sampai rapi di peti jenazah dan menguburkannya,” jelas ibuk.
“Lagipula
kita bekerja dengan hati, semuanya akan terasa menyenangkan kok. Nggak
ada yang seram….,” kata ibuk sambil
menutup pembicaraan. Aku masih tetap geleng-geleng. Ibuk yang hebat. Ibuku, sang perias jenazah.(*)