Dear Bapakku di
surga,
Aku enggak tahu musti mulai surat ini dari
mana, karena aku tak banyak merekam memori tentangmu. Engkau meninggalkanku
ketika aku masih berusia 13 tahun, usia di mana aku belum terlalu banyak bisa
merekam memori tentangmu. Yang aku ingat adalah sosok gendutmu yang membuatku
selalu merasa hangat bila berada dalam dekapanmu.
Atau kenangan ketika engkau memelintir
kumis dan jenggotmu dan membentuknya seperti tokoh Pak Raden di TVRI dulu.
Engkaupun meniru gerak-gerik Pak Raden, yang membuat kami bertiga tertawa
terbahak-bahak.
Aku ingat sore itu, ketika engkau
tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri di rumah, padahal waktu itu belum ada fasilitas
telepon apapun di rumah. Sembari panik, ibu langsung menyuruhku, yang masih
kelas 2 SMP, untuk menelepon RS dan memanggil taksi ke rumah.
Sejak itu, tak ada komunikasi sama sekali
denganmu di RS, karena engkau langsung masuk ICU. Sungguh, aku tak mengenalimu
waktu itu. Engkau yang biasanya berkumis dan berjenggot tebal tiba-tiba harus tampil
klimis karena berbagai selang yang harus dipasang lewat mulutmu. Bapak koma.
Aku tak tahu harus bagaimana. Aku cuma
bisa berdoa dan berdoa. Setiap malam aku terus berdoa, hingga suatu hari aku
melihat matamu terbuka. Sayang, belum ada kata-kata yang bisa keluar dari
mulutmu. Bapak hanya bisa menatap anak-anaknya dalam keheningan sambil
menitikkan air mata.
Aku menganggap perkembangan itu sebagai
suatu hal yang baik untuk kesehatanmu. Tapi sebuah hal konyol aku lakukan.
Sesuatu yang aku sesali hingga saat ini. Pada malam sebelum bapak dipanggil
menghadap-Nya, aku berhenti berdoa. Aku lupa berdoa. Aku baru ingat kalau aku
sudah lupa berdoa saat ada ketukan keras di pintu depan ketika subuh menjelang.
Aku melihat tetanggaku berdiri di depan
pintu. Dia hanya menangis dan terbata-bata ketika mengabarkan kepulanganmu ke pangkuan-Nya.
Aku hanya bisa teriak histeris, ini pasti karena aku lupa berdoa. Aku lupa
berdoa!!!!!! Sampai sekarang, itu adalah penyesalan terbesar buatku!!!!! Terlepas
dari kehendak Tuhan yang memang memanggil bapak pada malam itu, mungkin saja,
mungkin saja, Tuhan akan menunda pemanggilan-Nya, kalau aku berdoa malam itu….
Air mata ini selalu menetes tiap kali aku
mengingat penyesalanku yang satu itu. Aku tak pernah habis pikir kenapa aku
lupa berdoa untukmu malam itu. Mungkin saja Tuhan masih memberikan sedikit
waktu untukku kalau aku tak lupa berdoa.
Dengan begitu, paling tidak, kenanganku
tentangmu bisa sedikit bertambah. Tak hanya mengingat pelukanmu yang begitu
hangat itu ketika aku duduk di perut gendutmu atau gerak-gerikmu ketika meniru
tokoh Pak Raden. Atau kalimat-kalimatmu yang selalu mengkritik kemampuanku
dalam bidang matematika, padahal bapak sendiri adalah guru matematika.
BAPAK DAN
MATEMATIKA
Matematika memang sebuah kata yang
menakutkan bin mengerikan buatku,
mungkin sampai sekarang. Padahal engkau bukan guru matematika biasa, bapak adalah
seorang instruktur matematika, gurunya guru matematika, yang sering diminta
bantuan untuk memberikan training kepada guru-guru matematika se-Indonesia. Bapak
memang hebat!!!
Tapi sayang ya pak, aku bener-bener nol
untuk urusan yang satu ini. Pernah ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMP,
saat-saat terakhir aku bersamamu, bapak berkata akan mengunjungi sekolahku
suatu hari. Buat apalagi kalau bukan untuk melihat cara guru matematikaku
mengajar di depan kelas.
Aku seperti mau pingsan waktu itu.
Bagaimana bisa aku, anak seorang instruktur matematika seperti bapak, ternyata
sama sekali tak bisa matematika? Belum lagi guru yang akan dikunjungi bapak
ternyata adalah guruku sendiri. Bener-bener mau kiamat rasanya….
Akhirnya hari itu tiba. Badanku serasa
panas dingin ketika hendak berangkat ke sekolah. Aku grogi setengah mati pak,
sumpah! Apalagi hari itu ada pelajaran matematika di kelasku, kelas 2D. Apakah engkau akan masuk ke kelasku? Aduh!
Bisa pingsan beneran nanti. Masalahnya bapak tak mau memberitahu di kelas mana
dia akan memantau guru matematikaku.
Aku pun celingak-celinguk di dalam kelas
waktu itu, berharap-harap cemas engkau tak akan masuk ke kelasku.
Langkah-langkah itu semakin terdengar mendekat, terus mendekat dan mendekat.
Badanku makin panas dingin. Aku tak bisa membayangkan bagaimana aku harus
berhadapan dengan bapakku sendiri di dalam kelas??? Dan bagaimana kalau guruku
nanti menyuruhku ke depan kelas untuk mengerjakan soal? Bisa mati kutu aku di
depanmu pak…..!!! Bakal ketahuan kalau aku tak bisa matematika!!! Aaaarrrggghhhh!!!!
Tapi, tak lama kemudian, langkah itu
perlahan menghilang. Aku pun melihat keluar lewat jendela. Senyum lebar
menghiasi wajahku. Aha! Ternyata engkau masuk ke kelas 2C alias ke kelas
sebelah. Kelegaan luar biasa menyelimutiku. Fiuuuuuuuhhhhh…..
Sejak itu, semua guru matematika di
sekolahku tahu statusku sebagai anak bapak. Status itu malah semakin menjadi
beban buatku. Aku kan sama sekali tak
bisa matematika, pak. Setiap nilai
ulanganku pasti hancur, yang membuat bapak semakin geleng-geleng.
Alhasil, engkau pun menggelar sebuah
sidang. Bukan sidang dalam arti yang sebenarnya tentu saja. Hehehhehe….. Bapak rajin mengajariku
setiap malam. Tapi yang membuat aku semakin pusing, bapak selalu memberikan
penjelasan panjang kali lebar kali tinggi hanya untuk sebuah soal. Mungkin itu
karena jiwa guru di dalam dirimu kali ya? Dan ujung-ujungnya bisa ditebak,
PR-ku tak pernah selesai kukerjakan, karena aku sibuk mendengarkan penjelasan
bapak.
Otomatis, nilai-nilai matematikaku tetep
tak membanggakan. Tapi engkau selalu menghiburku. Bapak selalu berkata, “Enggak
apa-apa kalau PR-mu tak pernah selesai, yang penting kamu mengerti.” Aku hanya
bisa mengangguk, padahal dalam hati, aku memang tak pernah tertarik sama ilmu
yang satu ini. Hihihihi…..
Selain matematika, pelajaran lain yang tak
kunjung aku kuasai adalah bahasa Inggris. Tapi berbeda dengan matematika, aku
sangat menyukai pelajaran yang satu ini. Aku sungguh-sungguh ingin mahir Bahasa
Inggris. Entah mengapa.
Suatu hari, aku mendapatkan nilai 3 dalam
sebuah ulangan bahasa Inggris. Dan kertas ulangan itu harus ditandatangani
orang tua sebelum dikembalikan ke guruku. Begitu mendengarnya aku langsung
grogi. Grogi setengah mati.
Aku tak bisa membayangkan kekecewaan di
wajahmu nanti pak kalau mengetahui
nilai ulangan bahasa Inggrisku. Sudah jeblok di nilai matematika, sekarang
jeblok pula di pelajaran bahasa Inggris??? Aduh!!!!!
Sidang pun kembali digelar, begitu aku
memberikan kertas ulangan Bahasa Inggrisku. Beruntung, sekali lagi, bapak tak
marah. Bapak mencoba memberikan pengertian buatku dan hebatnya, engkau malah
memberikan jalan keluar untukku!!!! Sosok bapak memang superhero buatku!!!
Tanpa kunyana, ternyata bapak juga jago bahasa Inggris!!! Karena aku tertarik
dengan pelajaran ini, aku selalu mendengarkan penjelasanmu dengan seksama.
Alhasil, setelah insiden nilai 3 itu, aku tak pernah lagi mendapat nilai buruk
di bidang Bahasa Inggris. Bahkan, nilai bahasa inggris di rapor yang tadinya
enam di semester 3 bisa naik menjadi nilai 9 di semester berikutnya.
Bisa ditebak, aku selalu menjadi sasaran
contekan ketika ulangan bahasa Inggris tiba. Teman-teman berebut duduk di
sebelahku, pak. Mereka tentu ingin
mendapatkan nilai bagus tanpa berusaha, walau aku sudah menularkan ilmu ini
kepada mereka. Tentu saja hal ini tak akan terjadi kalau bapak tak mengajariku.
Sayang, engkau tak pernah mengetahui
keberhasilanku ini. Bapak keburu dipanggil Yang Maha Kuasa pada 6 Mei 1993 atau
sekitar sebulan sebelum pembagian rapor. Hari Kamis paling kelabu buatku.
Padahal pada keesokan harinya, kakak laki-lakiku dan adik perempuanku harus
menempuh ujian akhir SMP dan SD, mengingat mereka tengah duduk di kelas 3 SMP
dan 6 SD.
BAPAK DAN
KETULUSAN
Punya kakak dan adik yang hanya berjarak
usia sangat dekat itu memang tak mudah pak.
Tapi aku bisa kok menjalaninya, karena itu memang pilihanmu kan pak? Bapak menikah di usia 41 tahun,
sementara ibu baru 22 tahun. Dengan rentang jarak usia 19 tahun, tentu engkau
tak ingin terlalu tua saat anak-anakmu tumbuh dewasa kelak. Walau pada
kenyataannya, engkau tak lama bersama kami.
Lalu, kenapa bapak baru menikah di usia 41
tahun? Ini juga yang membuatku semakin bangga padamu pak! Sebagai laki-laki paling sulung dari sembilan bersaudara,
engkau memilih membantu orang tuamu membiayai pendidikan adik-adikmu, hingga
mereka lulus kuliah. Bahkan engkau pun rela dilangkahi beberapa orang adikmu yang
kebetulan menemukan jodohnya lebih dulu.
Ah, betapa luas hatimu. Betapa tulus
hatimu bapak. Engkau sama sekali tak egois. Engkau memilih membahagiakan
keluargamu lebih dulu daripada mencari kebahagiaan dirimu sendiri.
Dari mereka jugalah, secara perlahan aku
mengenal sosokmu ketika aku sudah lebih mampu merekam memori dan data yang
lebih banyak di otakku. Cerita-cerita
tentangmu dari semua saudaramu, bahkan saudara jauhmu sekalipun, satupun tak
ada yang negatif.
“Bapakmu ki pengen adik-adiknya rampung sekolah sik, lagi kawin nduk,”
begitu kata salah satu budheku. Suatu hal yang membuat sosokmu semakin hebat di
mataku.
Belum lagi jika mendengar soal
perjuanganmu ketika bersekolah. Rumahmu yang terletak di pegunungan membuatmu
harus rela berjalan kaki sepanjang 50 kilometer pulang pergi setiap hari untuk
sampai ke sekolah.
Saat itu tentu saja belum ada sarana
transportasi yang memadai, bahkan sebuah sepeda pun tak kau miliki.
Satu-satunya jalan untuk menuju ke sekolah tentu saja dengan berjalan kaki. Sama
sekali bukan hal mudah, karena engkau mengarungi rute jauh itu dengan
bertelanjang kaki. Aku semakin bangga kepadamu pak!!! Bangga
sebangga-bangganya!!!!
“Nek
bapakmu iki ora sekolah, pasti yo ming macul ning Gondang,” begitu katamu
suatu hari. (Kalau bapakmu tak sekolah, pasti juga cuma akan bertani di Gondang-red). Gondang sendiri adalah sebuah
desa kecil nan asri di daerah Magelang, Jawa Tengah, tempat bapak kini
beristirahat dalam damai.
BAPAK DAN MUSIK
Selain hebat dalam bidang matematika, engkau
juga hebat dalam bermusik. Bahkan anak laki-lakimu kau beri nama depan Cuk,
salah satu nama alat musik yang kau kuasai. Salah satu lagu favoritmu adalah Juwita Malam. Awalnya dulu aku merasa
aneh mendengar lagu itu. Menurutku lagu itu sangat “tua”, tapi ternyata lagu
itu malah dinyanyikan kembali oleh Bebi Romeo beberapa tahun lalu.
Dengan sisa penghasilanmu, akhirnya engkau
berhasil membeli sebuah organ sederhana. Lagu pertama yang kau mainkan apalagi
kalau bukan lagu Juwita Malam. Tapi
lama-lama, selera laguku juga berubah sepertimu pak. Bahkan sekarang, suamiku
selalu bilang kalau selera laguku itu “tua” banget….hehehheheee………
Setelah kepergianmu, tak ada lagi yang
memencet organ itu pak. Aku akhirnya nekad memainkan organ itu. Aku belajar
secara otodidak hingga akhirnya aku juga berhasil memainkan lagu Juwita Malam
itu. Jelas, air mataku menetes ketika Bebi Romeo menyanyikan lagu itu kembali.
Lagu yang selalu mengingatkanku padamu pak.
Sekarang, pasti engkau tak membutuhkan
organ tua itu lagi untuk bernyanyi. Engkau pasti dikelilingi nyanyian
malaikat-malaikat surga. Walau lagunya bukan Juwita Malam, tapi aku yakin engkau bahagia mendengar nyanyian
mereka, pak!!!
Cuma itu pak, tak banyak yang aku ingat tentangmu, karena aku hanya
mengenalmu selama 13 tahun pertama masa hidupku, belum cukup pak rasanya!! Ingin rasanya protes sama
Tuhan, mengapa Dia mengambil orang sebaik dirimu???? Aku tak pernah tahu
jawabannya pak…..sampai sekarang….
-End-