|
Saya dengan Ralim, salah satu warga asli Baduy Dalam. Foto by: Ajun |
“KAMU nggak papa, kan? Jarimu masih utuh kan? Kamu nggak diapa-apain kan di sana?”. “Di sana mandinya gimana? Makannya gimana? Tidurnya gimana? Nggak ada listrik ya? Nggak bisa motret ya? Nggak boleh pake sepatu ya? Nanti
jalannya jauh nggak?”
Begitulah
kira-kira sederet pertanyaan dari teman-teman yang saya dapatkan sebelum dan
sesudah saya berkunjung ke Baduy, Lebak, Banten, beberapa waktu lalu. Sederet
pertanyaan yang saya sendiri bingung menjawabnya. Karena semua yang dibayangkan
oleh teman-teman saya itu sama sekali tak perlu dikhawatirkan, bahkan tak perlu
dipertanyakan, karena everything is fun
at Baduy!
Jujur,
pertama kali saya mendengar ada trip ke Baduy, memang ada sedikit kekhawatiran yang
muncul. Namun, kekhawatiran itu tak lama tergantikan dengan kegembiraan karena
saya akan mendapatkan pengalaman baru dengan berkunjung ke sana.
Maklum
latar belakang saya sebagai jurnalis sungguh membuat saya selalu ingin
melakukan traveling alias jalan-jalan
dan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru, berjumpa dengan orang-orang baru,
dan memperbanyak jaringan pertemanan saya. Karena saya kini menjadi pegawai kantoran, terpaksa
saya hanya bisa bepergian pada saat akhir pekan tiba. Well, apapun itu, yang penting saya bisa jalan-jalan ke Baduy!
Hari H
pun tiba. Saya menuju ke Stasiun Tanah Abang untuk bertemu dengan anggota
rombongan saya yang lain. Setelah semua berkumpul, kami naik Kereta Api Rangkas
Jaya hanya dengan ongkos lima ribu rupiah saja.
Setelah
menempuh perjalanan selama kurang lebih 1,5 jam, kami pun tiba di Stasiun
Rangkas Bitung. Menurut vendor
jalan-jalan yang kami gunakan, kami akan segera naik mobil ELF untuk menuju ke Cijahe yang berjarak sekitar tiga jam
perjalanan dari Stasiun Rangkas Bitung.
Ok.
Dalam hati saya membayangkan mobil ELF
yang bagus dan nyaman untuk dinaiki. Tapi ternyata, jreng-jreng, sebuah mobil ELF
butut terpampang di depan mata. Baiklah, saya pasti bisa. Saya pasti mampu.
Saya pernah naik mobil lebih butut dari ini. Pasti saya bisa.
Sayang,
keyakinan saya tak berbanding lurus dengan kondisi jalan raya menuju ke Cijahe,
yang merupakan titik terakhir sebelum berjalan kaki menuju ke Baduy Dalam.
Kondisi jalan menuju ke sana sungguh sangat buruk. Kami harus berulangkali
terguncang di dalam mobil karena banyak jalan berlubang.
Kondisi
itu terasa semakin menyesakkan, karena tak ada AC mobil dan membuat kami harus rela
menggunakan udara luar untuk mengurangi pengapnya mobil. Meski kami
terguncang-guncang, namun ada beberapa teman yang bisa tidur dengan nyenyak,
mungkin lelah karena mesti bangun terlalu pagi sebelum menuju ke stasiun tadi yaaaa….
JULI DAN IDONG
|
Saya bersama Juli dan Idong di ladang. Foto by: Ajun |
Setelah
kurang lebih tiga jam terguncang-guncang dalam mobil, kami pun sampai ke
Cijahe. Di sini kami langsung disambut dua anak suku Baduy Dalam, Juli dan Idong.
Mereka juga yang akan mengawal dan menjadi
porter
hingga menuju ke Baduy Dalam. Tas ransel yang lumayan berat dan kamera yang
harus saya tenteng pun membuat saya memilih menggunakan jasa Juli untuk
membawakan tas ransel saya.
Hehehehe….
Perjalanan
kami pun dimulai. Sebuah papan ucapan selamat datang di perbatasan Baduy pun
menyambut kedatangan rombongan kami di Cijahe. Setelah membeli bekal tambahan,
kami pun segera mulai berjalan kaki menuju ke Baduy Dalam.
Medan
yang tak terlalu mendaki membuat perjalanan ini tak terasa berat. Apalagi
melihat Juli dan Idong yang tak mengenakan alas kaki selama perjalanan dan
semangat menempuh perjalanan ini, membuat kami yang mengenakan sepatu semakin
bersemangat berjalan kaki.
Kami termasuk beruntung mendapatkan vendor yang mengetahui jalur terdekat menuju ke Baduy Dalam, sehingga kami hanya perlu berjalan kaki selama 45 menit. Menurut beberapa teman yang pernah berkunjung ke Baduy, mereka paling tidak harus berjalan kaki selama 5-6 jam guna menuju ke Baduy Dalam. Untuuuunggg......
Sepanjang
perjalanan kami habiskan dengan mengobrol satu sama lain, hingga akhirnya
perjalanan selama 45 menit itu tak terasa berat. Kami sempat mampir ke ladang
yang menjadi lokasi terakhir di mana kami boleh mengambil gambar. Ladang itu
sendiri berjarak sekitar 10 menit dari kampung Baduy Dalam.
Aturan
pelarangan memotret memang harus benar-benar kami taati. Jangan pernah
melanggar apa yang sudah menjadi larangan di Baduy Dalam, hormati kearifan
lokal, dan kita sebagai pendatang, pasti akan diterima dengan baik di sana.
Puas
mengambil gambar, kami pun tiba di rumah Ayah, salah satu warga asli Baduy
Dalam, yang rumahnya akan menjadi tempat kami menginap selama satu malam. Ayah,
istri, dan cucu perempuannya ramah menyambut kedatangan kami, yang tiba di sana
sekitar pukul 15.00 WIB. Setelah menyimpan bawaan dan sedikit beristirahat,
kami pun berjalan keliling kampung Baduy Dalam.
Di
kampung tersebut, keaslian masih sangat dijaga. Di sebuah lapangan tempat warga
biasa berkumpul bila ada acara, terdapat sebuah bambu panjang yang diletakkan
secara melintang. Ketika kami tanya apa fungsi bambu tersebut, Juli menjawab
jika bambu tersebut merupakan batas akhir wilayah rumah Pu’un atau kepala suku
Baduy Dalam.
Warga
biasa maupun pengunjung tidak boleh melewati pembatas tersebut jika tidak
memiliki kepentingan untuk bertemu Pu’un.
Bagi yang berkepentingan pun, harus menemui dua pejabat di bawah Pu’un untuk mengutarakan maksud dan
tujuan bertemu dengan Pu’un. Dua
pejabat itulah yang akan menentukan apakah warga atau pengunjung itu boleh
bertemu dengan Pu’un. Banyak
pertanyaan lain yang kami ajukan kepada Juli, beruntung pria berusia 18 tahun
itu selalu dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
JAGA KEASLIAN
Selesai
tur keliling kampung, kami pun kembali ke rumah Ayah. Hari sudah mulai gelap,
tapi listrik memang tak disambung ke kampung Baduy Dalam. Kampung ini masih
memilih menjaga keasliannya dengan menolak penggunaan listrik dan bahan-bahan
kimia di sungai tempat mereka mandi. Jadi kami sebagai pengunjung ya hanya
menggunakan air untuk mandi, pun dengan sikat gigi yang tanpa menggunakan pasta
gigi.
Selain
itu, warga Baduy Dalam juga dilarang menaiki kendaraan dan bersekolah. Seperti
Ralim misalnya. Pria berusia sekitar 50 tahun itu pernah diundang datang ke
studio Trans7 Jakarta untuk menjalani proses syuting di acara Hitam Putih yang dipandu Deddy
Corbuzier.
Karena
dilarang menaiki kendaraan, Ralim pun berjalan kaki menuju Jakarta. Perjalanan
yang ditempuh selama 3,5 hari itu dilalui melewati jalur kereta sehingga dia
tak tersesat. Sepanjang perjalanan, dia tidur di emperan rumah warga atau di
masjid. Makanan? Banyak orang sepanjang perjalanan yang senang hati memberinya
makanan, jika mengetahui dirinya yang berasal dari Baduy Dalam.
Unik
memang. Di tengah arus modernisasi saat ini, masih ada beberapa orang yang
menolak kecanggihan teknologi. Amanat Buyut yang diwariskan secara
turun-temurun, sangat dijaga kelestariannya oleh warga Baduy Dalam hingga saat
ini. Luar biasa.
Kembali
ke rumah Ayah. Saat malam menjelang, kami pun siap-siap menyantap makan malam
bersama. Sebelum berangkat menuju Baduy, masing-masing dari kami sudah diminta
untuk membawa satu liter beras, dua bungkus mi instan, dan satu butir telur.
Semua akan kami santap untuk makan malam dan sarapan. Jadi kedatangan kami sama
sekali tak memberatkan pemilik rumah.
Dan
percayalah, mi instan yang kami santap bersama di tengah temaramnya lampu
minyak di rumah Ayah itu menjadi mi instan paling nikmat seluruh dunia.
Sederhananya menu kami tak sesederhana pengalaman yang saya dapatkan dengan
makan bersama warga Baduy Dalam. Etika dan kesopanan sangat mereka junjung
tinggi setiap kali ada tamu berkunjung. Saat sesi makan bersama tiba, mereka
tidak akan mengambil makanan terlebih dulu sebelum memastikan seluruh tamu
sudah mengambil makanan. Keren bukan?
Setelah
makan malam bersama, kami pun kembali mengobrol dan kembali bertanya-tanya
kepada Juli, Idong, Ralim, dan Ayah, mengenai seluk-beluk kehidupan warga Baduy
Dalam. Mulai dari pertanyaan mengenai agama mereka, cara berpuasa, kehidupan
perkawinan, kelahiran anak, hingga kematian. Beruntung, mereka berempat dengan
sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
Setelah
puas mengobrol, kami pun segera mengambil posisi tidur. Di rumah ukuran sekitar lima
kali lima meter tersebut, kami bersepuluh tidur berdampingan. Meski hanya tidur
beralaskan tikar, namun kami tak merasakan dingin yang menyengat, dan bisa
tidur nyenyak sepanjang malam.
MENGABADIKAN SUNRISE
|
Sunrise di Baduy Dalam. foto by: Ruri |
Waktu
masih menunjukkan pukul 05.00 pagi ketika saya terbangun dan ingin segera pergi
ke ladang untuk memotret sunrise.
Saya pun segera membangunkan teman-teman saya untuk bersiap ke sana. Melihat
Juli dan Idong yang tak mengenakan alas kaki, saya pun memutuskan untuk
bertelanjang kaki guna menuju ke ladang.
Tapi
percayalah, berjalan tanpa mengenakan alas kaki bukanlah pekerjaan yang mudah.
Tanah yang basah akibat terpaan hujan di malam sebelumnya, membuat rute menuju
ke ladang begitu licin. Mengenakan sepatu tentu akan membuat segalanya lebih
mudah, namun saya sudah terlanjur berjalan tanpa alas kaki. Alhasil, saya harus
benar-benar berhati-hati sepanjang jalan. Juli dan Idong? Wah, mereka orang asli Baduy Dalam, jadi mereka cepat sekali
berjalan meski tanpa mengenakan alas kaki.
Setelah
puas memotret, kami segera antre untuk mandi di sungai. Para wanita bisa mandi
di sungai dekat rumah Ayah, sementara para pria harus berjalan kaki ke tempat
mandi pria yang letaknya agak jauh dari rumah Ayah.
Setelah
kami semua selesai mandi, kami pun segera bersiap untuk pulang. Waktu
menunjukkan pukul 09.00 pagi hari ketika kami berpamitan kepada Ayah dan
berjalan keluar dari Baduy Dalam menuju ke Baduy Luar. Waktu yang dibutuhkan
untuk berjalan kaki ke Baduy Luar sekitar satu jam. Namun di sepanjang
perjalanan kami disuguhi pemandangan alam yang indah, sehingga perjalanan itu
tak terlalu melelahkan.
Di
Baduy Luar, kami sempat berfoto-foto, karena di tempat ini tak ada larangan
untuk mengambil gambar. Namun kami tak menghabiskan banyak waktu di Baduy Luar
karena masih harus menempuh perjalanan selama tiga jam untuk mengejar
jadwal kereta pukul 15.00 WIB di Stasiun Rangkas Bitung guna kembali ke
Jakarta. Sebuah perjalanan yang sangat menyenangkan! Terlalu menyenangkan
malah, sehingga saya sampai ingin kembali ke sana suatu hari nanti. Semangat!!!(*)