“PULANG sekolah harus segera pulang.
Nggak boleh hujan-hujan nanti badanmu sakit. Jadi tiap hari kamu harus bawa
payung ke sekolah, biar nggak kehujanan.” Itulah sederet nasihat ibuku saat aku
duduk di bangku sekolah menengah pertama dulu. “Kalau
sakit, ibu juga nanti kan yang repot.” Tetep aja ibuku nggak berhenti
menasihatiku. Nah lo!
Tapi itulah ibuku dengan semua
peraturannya. Harus ditaati, karena kalau tidak, nanti aku bisa sakit beneran!
Walau sakit itu sih yang sebenarnya aku tunggu-tunggu, jadi aku punya
kesempatan untuk nggak sekolah! Hihihihi..... Maklum peraturan ibuku strict banget mengenai yang satu ini.
Tiap kali aku mengeluh sakit kepala
di pagi hari, berharap aku nggak harus sekolah hari itu, berkali-kali itu pula
ibu menolak. Ibuku adalah seorang mantan suster
rumah sakit. Sudah tentu beliau tahu ketika anaknya sakit beneran atau hanya
pura-pura. Ukurannya sederhana, ibu pasti akan memegang dahiku. Kalau memang
panas, aku diizinkan untuk tak masuk sekolah, dan sebaliknya.
Begitu pula hari itu. Ada ulangan
matematika di sekolah. Aduh, aku dah jiper
duluan dengernya. Dikerjain or nggak, tetep aja
nilainya
bakal jelek. Alhasil, muncul ide licik nan cemerlang untuk membohongi ibu.
“Bu, aku pusing, aku nggak berangkat
sekolah ya. Kepalaku sakit banget,” kataku. Ibu pun langsung mengeluarkan
“jurus andalan”, memegang dahiku. Dan tepat, dahiku nggak panas. “Nggak, kamu
harus berangkat sekolah,” tegas ibu.
Haduhhh, ibuku benar-benar tak bisa
dibohongi untuk urusan yang satu ini. Akhirnya dengan langkah gontai, aku
berangkat ke sekolah dan menghadapi ulangan matematika nan mengerikan bin
mematikan itu.
****
Jam sekolah hampir usai ketika
mendung menggelayut di langit. “Aduh, aku lupa bawa payung,” gumamku. Gara-gara
terlalu fokus membohongi ibu supaya tak berangkat sekolah, aku malah lupa
membawa payungku.
Apalagi
ibu tahu kalau aku tak punya kegiatan usai pulang sekolah. Jadi aku harus
langsung pulang ke rumah. No excuse at all.
Mmmmm...daripada diceramahi ibu panjang kali lebar kali tinggi, lebih baik aku
nekat pulang.
Dan benar saja, hujan turun deras ketika aku berada di dalam bis menuju ke rumah. Aduh, pasti hujan belum
berhenti pas aku sampai rumah. “Bahaya, nih,” kataku.
Padahal
aku masih harus berjalan kaki lumayan jauh dari halte bis menuju ke rumah. Bisa
ditebak, aku bakal basah kuyup sampai rumah. Bener-bener berabe!
Ibuku
memang bukan sosok ibu yang galak. Tapi kalau peraturannya dilanggar, aduh
bahaya deh pokoknya. Bahaya stadium 4! Bisa-bisa uang jajanku dipotong. Walah!
Namun,
tak ada satupun yang bisa kulakukan supaya aku tak basah kuyup ketika berjalan
kaki dari halte nanti. Tak ada pohon pisang atau pohon berkuping lebar lainnya yang
bisa aku gunakan. Intinya, aku bakal tetap basah kuyup. Titik.
Benar
saja. Ketika bis berhenti tepat di halte, hujan deras masih saja mengguyur
bumi. Nggak mau berhenti sebentar saja demi aku. Hiks!
Setelah
menunggu sebentar di halte, hujan tak juga reda. Nggak ada pilihan lain, aku
harus lari, meski dijamin bakalan basah kuyup. Haduh! Gaswaaaaattttt!!! Gaswat
daruraaatttt!!!
Aku
pun berlari sekencang mungkin menembus hujan. Rasanya rute pulang ke rumah yang
biasa aku tempuh dengan jalan kaki ini lebih panjang daripada biasanya. Mungkin
karena aku panik ya? Hihihihi.....
Aha!
Itu rumahku. Sudah dekat! Tapi, ketika aku hendak membuka pagar rumahku dengan
badan basah kuyup, tak sengaja mataku melihat sesuatu yang ganjil.
Di
lapangan voli yang terletak hanya beberapa meter dari rumahku, aku melihat
sebuah taksi terperosok di got. Salah satu rodanya masuk ke got yang membuat
taksi itu tak bisa berjalan.
Aku
menengok ke kanan-kiri. Tak ada orang. Tapi, kalau aku tak segera masuk rumah
dan malah menolong sopir taksi itu, badanku bakal makin basah kuyup. Dan
sebaliknya, kalau aku tak menolong sopir taksi itu, siapa yang bakal
menolongnya?
Ah,
sebuah keputusan sulit. Tapi nuraniku mengatakan kalau aku harus menolong sopir
taksi itu. Akhirnya kuurungkan niatku untuk masuk rumah, dan menolongnya.
Aku
pun kembali berlari. Berlari menuju ke sopir taksi itu. Dan kembali kehujanan
tentunya. Aku ketok pintunya dan sopir itu cepat-cepat membuka jendelanya.
“Tolong
saya dik, saya nggak bisa keluar
taksi ini. Pintu taksi kebentur got juga. Saya dari tadi bingung mau minta
tolong sama siapa. Siang-siang gini jalanan pasti sepi, apalagi hujan begini”
kata sopir itu memelas.
“Sebentar
ya pak, saya nggak mungkin ngangkat
taksi bapak sendirian. Saya minta bantuan dulu ya,” kataku.
Dengan
cepat aku menggedor satu persatu pintu rumah-rumah di sekitarku. Meski ada yang
keberatan karena hujan deras, tapi banyak juga bapak-bapak dan anak laki-lakinya
yang datang membantu.
Setelah
melewati usaha yang lumayan keras, akhirnya taksi itu terangkat juga dari got.
Aku hanya bisa melihat dari kejauhan, meski mencoba berlindung dari terpaan
hujan.
Tak
lama kemudian, sopir taksi yang ternyata bernama Pak Tomo itu pun
menghampiriku. “Terimakasih ya dik, saya nggak akan melupakan jasa adik. Berkat
pertolongannya, akhirnya taksi saya bisa diangkat dari got,” kata dia.
“Kalau
tadi nggak ada adik, entah berapa lama lagi saya akan terjebak di dalam taksi.
Padahal saya belum lama narik taksi ini, jadi masih banyak setoran yang harus
saya kejar. Kalau setoran tak mencukupi, anak-anak saya makan apa, dik,” Pak
Tomo terus saja menyerocos.
Beruntung,
dia segera sadar kalau aku kedinginan akibat badanku yang masih basah kuyup.
Tak lama setelahnya, dia pun berpamitan sambil terus mengucapkan terimakasihnya
kepadaku.
****
Oke, aku sudah melakukan satu perbuatan
baik buat Pak Tomo. Tapi, tapi, tapi, badanku benar-benar basah kuyup akibat
terus diterpa hujan. Mana aku harus ngadepin ibu lagi! Aduh, benar-benar nggak
kebayang, deh!
Dengan
langkah gontai, aku berjalan menuju ke rumah. Sudah terbayang wajah ibu yang
bakal berceramah di depanku.
Benar
saja, ketika pintu rumah terbuka, ibu sudah menunggu di sana. Aku tak berani
menatapnya, apalagi dengan badanku yang basah kuyup begini.
“Ibu,
maaf, aku lupa bawa payung. Aku bener-bener lupa gara-gara tadi mau ulangan
matematika. Maaf ya bu,” ujarku.
“Tadi
aku udah berusaha berlari kenceng banget ke rumah, tapi tetap aja basah bu,”
lanjutku.
“Terus?”
tanya ibu.
“Ya
udah, aku kehujanan. Aku salah bu karena nggak
bawa payung. Maaf ya bu,” kataku masih menunduk.
“Cuma
itu?” tanya ibu lagi.
“Iya.”
“Nggak
mau cerita sama ibu soal sopir taksi yang kau tolong?” ibu masih bertanya.
Heh?
Aku langsung menengadahkan kepala, ibu tahu dari mana ya? Aku pikir,
keputusanku untuk menolong Pak Tomo tak akan membenarkan kesalahanku yang tak
membawa payung sesuai peraturan ibu.
“Kok
ibu tahu? Tapi kan itu tak ada hubungannya dengan kesalahanku yang lupa membawa
payung?” tanyaku.
Ibu
tak menjawab, dia hanya langsung memelukku erat, tak peduli badannya ikut basah
kuyup gara-gara aku.
“Ibu
bangga kepadamu, nak. Kamu hebat.
Kamu sudah membuat keputusan penting. Kamu rela menempuh resiko bakal kena
marah ibu, karena kamu harus menolong sopir taksi itu. Kamu hebat, benar-benar
hebat, nak!” kata ibu.
“Tadi
ada tetangga cerita ke ibu, pas ibu ke depan untuk nungguin kamu pulang.
Ternyata anak ibu jadi pahlawan!” sambung ibu lagi.
Aku
bengong. Bayangan ibu bakal marah melihatku pulang kehujanan langsung sirna.
Hihihi....Ternyata ibu malah menganggapku hebat. Hebat karena aku sudah menolong
Pak Tomo. Senangnyaaaaaaaa!!!! Horeeeeeeeeee!!!!!
“Tapi
lain kali kamu nggak boleh lupa bawa
payung! Selalu taruh payung dalam tas! Kalau kamu sakit, nanti ibu juga yang
bakal repot!” Aduh, ibu mulai lagi dengan peraturan-peraturannya.
“Terus
jangan coba-coba untuk bohong sama ibu lagi. Standar ibu tetap sama, kalau dahi
dan badanmu tak panas, berarti kamu tak sakit. Kalau badanmu panas, berarti ada
infeksi di badanmu dan kamu boleh untuk tak berangkat sekolah,” cerocos ibu
tanpa henti setelah dia melepaskan pelukannya.
Mulai lagi deh. Tapi, betapapun ibuku punya seribu
peraturan yang harus kutaati, ternyata beliau masih bisa bersikap objektif
terhadap keputusan anak-anaknya. Terimakasih ibuku tercintaaaaaa!! I love u
full!!!(*)