SANG waktu tepat melangkah ke tempo dua bulan ketika saya harus
merelakan dua sahabat masa SMA saya pergi. Sungguh, berita itu bagai petir di
siang hari. Bagai hujan yang jatuh di bulan Juni. Tak terduga. Tak terprediksi.
Manusia memang tak bisa mengetahui
sampai kapan perjalanan hidupnya di dunia ini akan berakhir. Tak ada satupun
manusia yang mampu mengetahui kapan dia akan meninggalkan dunia fana ini. Apapun
itu, air mata pun tetap jatuh untuk dua sahabatku ini.
Titok,
atau Haryo Sapto Nugroho, meninggalkan dunia ini pada Jumat, 8 April 2016 lalu. Sejak
SMA saya lumayan dekat dengannya. Meski dia laki-laki, namun level cerewetnya
lebih dari saya. Tapi itu yang membuat kami akrab satu sama lain, selain karena kami berdua hobi bolos sekolah, hihihihihi....
Begitu pula ketika kami sudah
bekerja dan berkeluarga. Kantor kami yang berdekatan membuat kami ingin reuni
kecil-kecilan sekali-kali. Namun, membuat reuni di Jakarta, sekecil apapun,
bukanlah hal yang mudah dilakukan. Kami hanya pernah reunian sekali bertiga
dengan Astri, salah satu sahabat SMA saya yang kantornya juga berdekatan dengan
kami.
Seru. Itu sudah pasti. Meski
hanya bertiga, namun obrolan kami benar-benar menyenangkan. Kami mengobrol
sampai tak kenal waktu. Saking serunya, saya dan Astri pun berencana untuk ketemuan bertiga lagi. Namun belum
sempat rencana itu terwujud, takdir sudah berkata lain. Titok sudah dipanggil
menghadap-Nya. Penyakit tokso otak merenggutnya.
Belum lagi kekagetan ini sirna,
saya sudah harus menerima kabar buruk lain. Kali ini dari seorang yang
bersahabat dekat dengan saya, Fauzi Effendi. Dia harus dipanggil menghadap ke
hadirat-Nya pada Selasa, 7 Juni 2016. Penyakit kanker usus menyerangnya.
Saya ingat sekali sosok Fauzi
ini, atau kerap saya panggil Uzi. Dia sosok pekerja keras yang rela berjualan
kaos di Malioboro supaya bisa kuliah. Di saat saya dan rekan-rekan SMA saya
yang lain sudah duduk di bangku universitas, dia rela menunda kuliah selama
satu tahun supaya bisa mengumpulkan uang untuk biaya kuliah.
“Nggak papa, yang penting tahun depan bisa kuliah, Rur!” Begitu
semangat yang sering saya dengar setiap kali melihatmu harus berjualan di Malioboro
siang dan malam.
Letak kampus saya yang lumayan
dekat dengan Malioboro pun membuat saya kerap mampir ke lapaknya. Cukup dengan
memarkirkan motor di dekat lapak Fauzi, saya dan teman-teman lain kerap
menghabiskan waktu jeda kuliah dengan nongkrong
di lapaknya.
Di sana kami sering bercerita
satu sama lain. Mengenang masa-masa SMA yang penuh kenangan. Maklum, Fauzi
termasuk siswa andalan sekolah dalam urusan organisasi OSIS, sementara saya
masuk ke daftar anak bandel sekolah. Mungkin karena kami sekelas, jadi bisa
lebih kompak meski berasal dari kutub yang berbeda. Hahahahaha….!
Sayang, kita sempat lost contact setelah lulus kuliah dan
bekerja. Kabar terakhir saya dengar, dia sudah menjalani dua kali operasi
akibat penyakitnya. Awalnya saya tak terlalu serius menanggapi kabar tersebut,
karena saya pikir penyakitnya tak parah. Namun begitu membaca postingan salah satu teman di grup
WhatsApp SMA, yang mengabarkan Uzi meninggal dunia, saya langsung menyesal. Mengapa saya tak menghubungi Uzi begitu
saya dengar dia sakit?
Ingin rasanya terbang ke Jogja
saat Uzi dimakamkan. Karena ketika Titok meninggal dunia, kebetulan sekali saya
tengah berada di Jogja, jadi masih sempat bertemu dengan kakaknya untuk sekadar
mengucapkan turut berbelasungkawa. Tapi ini?
Ah, usia memang tak terprediksi. Uzi,
nanti kalau aku mudik ke Jogja, akan aku sempatkan untuk pergi ke pusaramu.
Sekadar mengucapkan selamat jalan. Paling tidak itu sudah mengurangi bebanku
yang tak serius menanggapi kabar saat kau sakit. Uzi dan Titok, kalian sudah
terbebas dari penyakit… Kalian sudah tenang di sana. Doakan kami yang masih
berkelana di dunia ini. Selamat jalan Uzi…. Selamat jalan Titok….. Selamat
jalan….. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar